Rasa Malu Bukan Lagi Bagian Perilaku
Minang
Yulizal Yunus Datuak Rajo Bagindo |
Tarian erotis yang diperagakan anak kamanakan orang
Minang beberapa waktu lalu, membuat buncah Ranah Bundo, selain ini ada pula
beradar video porno anak SMA. Menurut Yulizal Yunus, fenomena ini menunjukkan
salah satu sisi bahwa orang Minang yang menganut norma ABS-SBK itu perilakunya
sudah mengalami kritis.
“Peristiwa itu menciderai marwah ranah dan martabat
orang Minang ini karena berakar dari rasa malu tidak lagi menjadi budaya
(perilaku), dimungkinkan karena didera ekonomi dan kekecewaan rumah tangga di
samping sikap mental dan pribadi lemah iman,” kata Yulizal Yunus.
Yulizal Yunus menjelaskan, dalam syara’ (Islam)
malu itu bagian dari iman. Iman yang kuat akan menjadi benteng mempertahankan
rasa malu. Di dalam adat disebut, apalagi arang tacoriang di kaniang, “malu
tidak dapek diagiahkan” seperti juga “suku tak dapek diasak”.
Artinya rasa malu bagi orang Minang bagian dari
identitas. Praktik yang memalukan dicontohkan dua wanita yang terjebak profesi
striptis (batanlanjang gegek) itu, tidak saja memalukan dirinya, tetapi juga
semua kaum (anak kamanakan, mamak dan penghulu suku) dalam sukunya di
Minangkabau.
Berikut petikan wawancara Nasrul Azwar dengan
Yulizal Yunus Datuak Rajo Bagindo, Dosen IAIN Imam Bonjol dan Ketua V LKAAM
Sumatera Barat, dan Ketua Limbago Adat dan Syara’ Nagari Taluk Batang Kapas
Pesisir Selatan.
Apa
komentar Anda terhadap terjaringnya penari telanjang di sebauh kafe di Kota
Padang, yang katanya membuat malu masyarakat Minang?
Tertangkapnya dua orang wanita yang
terjebak dalam profesi penari striptis di tempat hiburan malam Fellas Café
Padang oleh Polisi Pamong Praja, Senin malam (27 September 2011 lalu,
menciderai marwah ranah dan martabat masyarakat subkultur Minangkabau yang
mempunyai filosofi adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah (ABS-SBK).
Fenomena ini menunjukkan salah satu sisi bahwa orang Minang yang menganut norma
ABS-SBK itu perilakunya sudah mengalami kritis. Cideranya marwah ranah dan
martabat orang Minang ini berakar dari rasa malu tidak lagi menjadi budaya
(perilaku), dimungkinkan karena didera ekonomi dan kekecewaan rumah tangga di
samping sikap mental dan pribadi lemah iman. Dalam syara’ (Islam) malu itu
bagian dari iman. Iman yang kuat akan menjadi benteng mempertahankan rasa malu.
Di dalam adat disebut–apalagi arang tacoriang di kaniang–“malu tidak dapek
diagiahkan” seperti juga “suku tak dapek diasak”. Artinya rasa malu bagi orang
Minang bagian dari identitas. Praktik yang memalukan dicontohkan dua wanita
yang terjebak profesi striptis (batanlanjang gegek) itu, tidak saja memalukan
dirinya, tetapi juga semua kaum (anak kamanakan, mamak dan penghulu suku) dalam
sukunya di Minangkabau.
Ketika
bicara tentang filosofi dan pandangan hidup Minangkabau, apakah ini menjadi
indikasi gagalnya ABS-SBK menjadi pedoman hidup masyarakat Minangkabau?
Tidak, tidak, ABSSBK tidak pernah gagal,
normanya (norma adat, Islam, Kitabullan) tidak akan pernah berubah. Yang
berubah dan gagal itu adalah behavior/perilaku, yang ditunjukan sebagian orang
di Minang. Sebenarnya, “ketika” orang di Minang terjebak dalam perilaku seperti
dua wanita ala “Madonna” itu, ia tidak orang Minang. Aliran seninya tidak lagi
bernuansa Islami (penuh mau’izhah, hikmah dan irsyadah/ guidance ke jalan yang
benar), tetapi dimungkinkan budaya seni “l’art for l’art” (seni untuk seni),
seni yang tak tersentuh Islam dan adat. Syarat seni Islam itu di antaranya 3ka,
yakni estetika (keindahan), erotika dikontrol etika. Ketika erotika (nuansa
erotis) tidak dikontrol etika (akhlak karimah) maka dipastikna akan masuk ke
proses pembusukan dalam bentuk prilaku pronografi dan melawan hukum positif,
hukum Islam dan hukum adat.
Lalu, jika
kita perlu menggugat lembaga ninik mamak, pangulu, dan datuak-datuak, apakah
ini juga sebagai faktor tak berfungsinya peran itu?
Perbuatan memalukan yang dilakukan
kamanakan dalam hal kasus ini kamakan perempuan (kalau sudah pernah
bersuami/janda seharusnya sudah dapat menjadi bundo kandung), mau tak mau
limbago adat pasti tergugat. Tetapi limbago adat dimaksud bukan di depan: KAN
(Kerapatan Adat Nagari) dan atau LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam
Minangkabau), namun yang tergugat pertama itu adalah (1) limbago paruik yang
mempunyai tunganai (mamak paruik/lelaki tertua di paruiknya) atau (2) limbago
jurai (mamak di jurainya/beberapa paruik), (3) limbago suku (mamak suku beserta
ninik mamak yang diketuai penghulu/datuknya). Jangankan perbuatan ini sampai
perkaranya ke (4) limbago nagari (KAN) apalagi ke (5) lembaga adat kecamatan,
kabupaten, provinsi (LKAAM), dilimpahkan ke limbago kampung (mamak kampung)
saja (basis suku), itu sudah berarti “mambao busuak ka langau/kaum awak juo nan
kamalu”, “manapiak ayia di dulang/dado kaum awak juo nan kabasah”. Artinya
menyelesaikan perkara memalukan sepanjang adat dan syara’ ini di Minangkabau
bertingkat. Eksekusinya pado mamak paruik dan atau jurai dan atau suku dan atau
l;imbago kampung, yang undang dan hukum adatnya sudah ada, tinggal
menerapkannya saja oleh mamak yang bersangkutan. Persoalannya, kaum (kamanakan,
mamak, ninik yang dipimpin penghulu/datuk) apakah berdaya untuk melakukan itu
atau tidak, masalah ini tidak berdiri sendiri. Kita dan pemerintah selalu
berharap ninik mamak (semua lelaki Minang yang dewasa diketuai penghulu/datuk),
tetapi dirasakan sekarang, tidak berdaya.
Jika
ditelusuri lebih jauh, peristiwa memalukan itu lebih dekat pada soal sosial dan
masalah ekonomi karena beban hidup yang berat. Lalu, bagaimana sebenarnya
fungsi perkauman itu? Bukankah soal itu terkait dengan juga dengan berkurang
harta warisan bagi anak kemanakan?
Seperti tadi saya katakan tekanan
sosial-ekonomi dan masalah rumah tangga, bisa menjebak kamanakan kepada
perbuatan memalukan. Saran dan usul sering didengar dan memang banyak, misalnya
“kalau penanggulangan kemiskinan berbasis rumah tangga (limbago paruik)
dikoordinasikan mamak kaum dimungkinkan lebih efektif”. Tetapi di sini pula
persoalannya masih banyak kasus ninik mamak kaum tidak berdaya, baik potensi
ekonomi maupun kecerdasan pengamalan Islam dengan adat. Dahulu karena ekonomi
kaum itu kuat, harta syarikat kuat (seperti sasiah sawah yang dibuat kamanakan
dan psuaka tinggi lainnya), efektif membantu meringankan beban ekonomi anak
kamanakan. Kini sawah dan pusaka tinggi sudah banyak yang terjual, dan
kamanakan tidak pula bisa dihukum dengan pusaka dengan tidak memberinya sawah,
karena gaji kamanakan lebih tinggi dari pendapatan mamak, menambah lemah dan
turunnya wibawa dan peran mamak. Karena itu stoplah menjual pusaka/harta
syarikat. Harap pula kepada pemerintah, jangan goda/dipasilitasi anak kamanakan
dan mamak menjual harta pusaka tinggi dengan alasan investor masuk, tetapi ajak
mereka menjadikan pusaka tinggi itu modal/investasi anak nagari dalam kaumnya
di-sharing-kan dengan modal/investasi yang akan masuk dari luar itu, dan
hasilnya berbagi antara investor dan pemilik lahan kaum, insya Allah tidak akan
miskin anak kamanakan yang dapat menjebaknya berbuat malu dan memalukan orang
Minang.
Apakah
yang harus dilakukan pemerintah agar maksiat tak tumbuh di ranah Minang ini?
Supaya pemerintah berperan dalam
memberantas maksiat sebagai bagian dari pekat, ada tiga persyaratan dari
perspektif sosiologi, yakni (1) status/ kedudukan kelembagaan yang difungsikan
harus kuat dan jelas, (2) aktif melakukan kegiatan pemberantasan dan mengontrol
pekat, (3) kharisma aparat pemerintah (bersih dan berwibawa). Terpenuhi tiga
syarat ini secara sosiologis, amat efektif membuat pemda berperan memberantas
pekat.
Apakah
hukum yang tak jalan, atau sanksi tak ada, misalnya dua penari dilepas saja
oleh satpol pp. Sementara polisi memburunya? Mengapa menjadi tumpang tindih?
Kebijakan dan hukum sudah ada, disebut
jalan, sudah jalan, tetapi berjalan belum lurus dan belum bisa hukum menjadi
imam seperti janji reformasi. Ketidaklurusan itu ditandai (1) belum terlihat
gerak pemberantasan terpadu (bukan topang tindih) dari semua lembaga penegak
hukum formal (polisi, kejaksaan, pengadilan) apalagi dengan lembaga hukum non
formal (hukum adat belum diberi kepercayaan, kalau tegak hukum adat, lembaga
hukum formal tidak rumit), masih ada fenomena bahwa satu lembaga penegak hukum
asyik sendiri, belum terkoordinasi satu sama lain., (2) masih terkesan hukum
tawar menawar bagaikan komoditi laris manis, hukum belum dipercayai masyarakat,
masih ada rahasia umum ada janji-janji dan kepentingan sesaat antara tersangka
dan yang “menyangka”, artinya masih jauh dari keadilan, terbukti masyarakat
masih menjerit mencari keadilan, (3) masih terkesan substansi hukum belum menegakan
kebenaran dan memberi keadilan tetapi baru ada target mendapatkan kasus, dan
mendapatkan lebih banyakan kasus, lembaganya dianggap kinerjanya baik dan
berprestasi, tak pusing kasus itu benar atau tidak, dll.
Kita tak
bisa tutup mata, sepanjang pantai Padang, taksi-taksi yang beroperasi malam
hari, serta ada juga menggunakan mobil rental, sepanjang malam penuh dengan
maksiat. Bagaimana ini Anda melihatanya?
Fenomena itu sudah rahasia umum tentang
pekat di pantai itu, hanya minta ketegasan lembaga hukum, meningkatkan
aktivitas pemberatasan (terus runtuhkan warung kelambu, tangkap taksi yang
berpraktik hidung belang di waktu malam) serta beri sanksi
pemilik/pengusahanya, diikuti hal yang meyakinkan bahwa aparat penegak hukum
punya karisma (bersih dan berwibawa). Perlu perbaikan sistem razia, kearah
sistem berlapis, dimulai dengan mata-mata, tetapi tak boleh bermain mata, dan
jangan seperti sistem pemadam kebakaran, ada terdengar kasus, lalu ramai-ramai
mendobraknya, kadang-kadang mendapatkan balai langang, yang dirazia sudah
kabur, karena rencana bocor, dan mungkin permain para pihak di belakang layar.
Akhirnya, ingin saya katakan, cegahlah
berbuat yang menciderai marwah ranah dan martabat orang Minang yang adatnya
melaksanakan Islam, seperti diungkapkan “Syarak Mangato Adat Mamakai”, “Alam
Takmbang Jadi Guru”. Bacalah tanda-tanda alam dengan arif, yang salah terbaca
untuk ditinggalkan dan yang benar terbaca untuk diteruskan.