Menjadi Tanggung Jawab Pemimpin Masyarakat
Saafroedin Bahar Soetan Madjolelo |
Hampir tidak ada perempuan yang terperosok ke dalam dunia hitam tersebut
yang melakukannya secara suka rela. Bermacam-macam faktor yang bisa menjadi
penyebab, seperti dicerai suami, ditinggalkan pacar, atau tidak adanya
keterampilan untuk berusaha sendiri.
“Kenyataan bahwa kedua penari telanjang yang tertangkap tersebut menutup
mukanya menunjukkan bahwa mereka masih mempunyai rasa malu,” kata Saafroedin
Bahar, Ketua Dewan Pakar di Sekretariat Nasional Masyarakat-Hukum Adat ini.
Ia sendiri mengaku kurang tahu apakah para tokoh-tokoh kepemimpinan
masyarakat Sumatera Barat–bersama pemerintah daerah dan kalangan
cendekiawan–pernah, bisa, atau mau, duduk bersama untuk membahas masalah
perubahan sosial ini secara mendasar, untuk kemudian merumuskan langkah
kebijakan bersama yang akan dianut dan dilaksanakan. Oleh karena gejala
ini bukan merupakan gejala sesaat, akan lebih baik lagi kalau kegiatan ‘duduk
bersama’ tersebut dilakukan secara berkala dan berkesinambungan. Berikut
petikan wawancara dengan Nasrul Azwar.
Apa komentar Anda tentang peristiwa tarian telanjang dan peredaran video
porno di Padang yang dinilai telah mencoreng kening Minangkabau itu?
Sudah barang tentu kita semua kaget, bahkan hampir tak percaya bahwa di Padang– dan
mungkin juga ada di kota lainnya di Sumbar – sudah ada penari striptis.
Ketika bicara tentang filosofi dan pandangan hidup Minangkabau, ABSSBK,
apakah ini menjadi indikasi gagalnya ABSSBK menjadi pedoman hidup masyarakat
Minangkabau?
ABS SBK adalah suatu ajaran tentang hubungan antara adat
Minangkabau dengan agama Islam di Minangkabau, yang kita sepakati untuk dinyatakan sebagai identitas cultural
dan jati diri Minangkabau. Sifatnya masih normatif, masih harus
ditindaklanjuti. ABS SBK tidak mungkin terlaksana sendiri.
Namun ada masalah, yaitu apakah lembaga—atau lembaga-lembaga—serta bagaimana
tata cara untuk mewujudkannya ke dalam kenyataan, pada umumnya masih harus
dibahas lagi lebih dalam. Oleh karena kedua orang penari striptis tersebut
adalah perempuan Minang, paling tidak di lingkungan keluarga serta kaumnya sendiri norma tersebut kelihatannya sudah agak
melonggar. Bagaimana keadaannya untuk
seluruh Sumatera Barat, saya lebih cenderung mengusulkan untuk diadakan minimal
suatu survei yang komprehensif. Lebih baik lagi kalau ada penelitian yang lebih
mendasar, tentang apa faktor atau faktor-faktor penyebabnya, seberapa luas
cakupan kerusakan etika dan moral ini, serta kebijakan apa yang akan dianut
untuk menanganinya.
Saya memperoleh kesan bahwa di beberapa daerah tertentu
norma ABSSBK ini bukan saja masih dihormati, tetapi juga masih diwujudkan dalam
kehidupan sehari-hari. Tantangan yang kita hadapi adalah bagaimana caranya
memelihara pengamalan ABSSBK yang sudah baik, dan bagaimana memulihkan kembali
pengalaman ABSSBK di daerah-daerah dimana norma-norma tersebut telah melonggar.
Jika telusuri lebih jauh, peristiwa memalukan itu lebih dekat pada soal
sosial dan masalah ekonomi karena beban hidup yang berat. Lalu, bagaimana
sebenarnya fungsi perkauman itu? Bukankah soal itu terkait dengan juga dengan
berkurang harta warisan bagi anak kemanakan?
Setahu saya, sudah banyak penelitian yang telah dilakukan oleh
para aktivis perempuan terhadap terjerumusnya perempuan ke dalam ‘dunia hitam’
ini, beberapa di antara kesimpulannya dapat saya sampaikan di sini. Pertama, hampir tidak ada perempuan yang
terperosok ke dalam dunia hitam tersebut yang melakukannya secara suka rela. Bermacam-macam
faktor yang bisa menjadi penyebab, seperti dicerai suami, ditinggalkan pacar, atau
tidak adanya ketrampilan untuk berusaha sendiri. Kenyataan bahwa kedua penari
telanjang yang tertangkap tersebut menutup mukanya menunjukkan bahwa mereka masih
mempunyai rasa malu. Kedua, kelihatannya
faktor yang paling mengemuka yang mendorong perempuan ke dalam dunia hitam
tersebut adalah faktor ekonomi, sedangkan penghasilan uang mereka
dalam waktu singkat demikian menggiurkan. Ketiga,
setelah terjerembab ke dunia hitam tersebut, hampir tidak mungkin ada jalan
keluar, kecuali kalau mereka sudah tua dan tidak ‘laku’ lagi.
Bersama dengan teman-teman di Gebu Minang, saya mendorong
disegarkan dan diefektifkannya kembali kehidupan berkaum, bersuku, dan
bernagari, yang bagaimanapun secara umum
terkesan sudah amat melemah di Sumatera
Barat. Untuk itu jajaran Gebu Minang menyarankan diadakannya rangkaian
pembekalan bagi setiap fungsionaris kaum, sukum atau nagari.
Peran lembaga pendidikan, atau lembaga nonformal, tampaknya belum begitu
kuat dan terlihat berhasil, dan ini terbukti dengan munculnya video porno dari
pelajar SMA di Kota Padang?
Saya kira memang demikian, bukan hanya di Kota Padang,
tetapi–mungkin–juga di kota-kota lainnya di Sumatera Barat. Lagi pula, gejala
ini juga terlihat di kota-kota lain di Indonesia.
Banyak yang mengatakan, ditemukannya penari dan video porno, serta pesta
seks di Solok, hanya puncak gunung es. Sebenarnya banyak yang lebih dahsyat
dari ini, mengapa hal ini seperti dibungkus?
Secara pribadi saya setuju dengan pernyataan tersebut di atas. Di dalam media massa Sumbar demikian
banyak berita dan ulasan tentang betapa merosotnya etika dan moral dalam
masyarakat Sumatera Barat, baik disebabkan oleh faktor dari luar maupun—atau
apalagi—oleh karena faktor dari dalam sendiri. Keseluruhan gejala tersebut itu
bisa dibaca sebagai merapuhnya norma
serta insititusi sosial yang selama ini cukup berperan untuk mencegah,
menghambat, atau mengendalikan hal-hal negatif seperti itu.
Saya tidak yakin bahwa hal-hal tersebut ‘dibungkus’ dengan
sengaja. Seperti saya tulis di atas,
media massa di Sumatera Barat cukup terbuka memberitakan hal-hal tersebut.
Menurut penglihatan saya, fakta yang lebih menyolok adalah tidak jelasnya
dimana letak tanggung jawab untuk mencegah, menangkal, atau menanggulanginya.
Apakah pada pemerintah atau pada kepemimpinan masyarakat Sumatera Barat
sendiri?
Dengan tetap menekankan pentingnya peranan pemerintah,
saya lebih cenderung mendorong kepemimpinan masyarakat Sumatera Barat sendiri
untuk memikul tanggung jawab utama.
Saya kurang tahu apakah para tokoh-tokoh kepemimpinan
masyarakat Sumatera Barat–bersama pemerintah daerah dan kalangan
cendekiawan–pernah, bisa, atau mau, duduk bersama untuk membahas masalah
perubahan sosial ini secara mendasar, untuk kemudian merumuskan langkah
kebijakan bersama yang akan dianut dan dilaksanakan. Oleh karena gejala ini bukan merupakan gejala
sesaat, akan lebih baik lagi kalau kegiatan ‘duduk bersama’ tersebut dilakukan secara berkala dan
berkesinambungan.
Pihak Pemerintah sepertinya memberi izin berdirinya café-café dan
hotel-hotel kecil dan berbintang, sementara kita tak menutup mata, dari sinilah
sebenarnya maksiat itu dimulai. Apa komentar Anda?
Saya tidak percaya bahwa kemaksiatan tersebut dimulai pada diizinkannya café-café atau
hotel-hotel. Oleh karena kemaksiatan yang terjadi di luar café dan hotel juga
tidak jarang memprihatinkan, dan terjadi dalam waktu bersamaan, bahkan mungkin
lebih dahulu. seperti diberitakan oleh media massa Sumatera Barat sendiri.
Apakah yang harus dilakukan pemerintah agar maksiat tak tumbuh di ranah
Minang ini?
Tentu saja tugas pokok pemerintah akan terbatas pada
penegakan hukum dan penyediaan fasilitas untuk kesejahteraan Rakyat. Sepanjang
ada aspek pelanggaran hukum dalam kemaksiatan itu, Pemerintah bisa turun
tangan. Masalahnya adalah pada kemaksiatan yang belum diatur secara rinci oleh
hukum, baik hukum materil maupun hukum formil. Jika hal tersebut terjadi, jika
masalahnya dibawa ke pengadilan, hakim harus membebaskan mereka demi hukum.
Oleh karena itu secara pribadi saya berpendapat tetap
lebih baik jika masalah penanaman moral serta pemberantasan kemaksiatan ini
tetap ditangani oleh kepemimpinan masyarakat sendiri.