Mari Kembali ke Keluarga Inti dan Kaum
Puti Reno Raudha Thaib |
Pemerintah harus memiliki keberanian untuk membersihkan
maksiat. Untuk mengembangkan ABSSBK, pemerintah harus memilih: Apakah hanya
untuk keuntungan profit yang dipikirkan atau pemeliharaan adat dan budaya?
“Ada ambiguitas di sini. Peraturan telah disusun
berdasarkan adat dan agama, namun pelaksanaannya tidak ada,” kata Puti Reno
Raudha Thaib, Ketua Umum Bundo Kanduang Sumatera Barat, sembari mengajak agar
masyarakat Minang, kembali ke ketahanan keluarga inti dan kaum.
Puti Reno Raudha Thaib juga mengeritik program Asmaul
Husna dan pembacaan ayat kursi yang getol dilakukan Pemko Padang. “Jangan hanya
menjadi hafalan tapi diamalkan. Untuk anak-anak madrasah pertamanya adalah
keluarga, dan ibu adalah guru pertama bagi anak. Jika ini kuat maka keluarnya
juga akan kuat. Masih ada harapan dengan sistem kaum , apakah kita sepakat
kembali ke sistem tersebut.” Berikut petikan
wawancara Meidella Syahni dengan Puti
Reno Raudha Thaib.
Apa komentar Anda terhadap terjaringnya penari telanjang di sebauh kafe di Kota Padang beberapa waktu lalu, yang katanya membuat malu masyarakat Minang?
Kalau dilihat dari
tatanan latar belakang adat Minangkabau, bisa dikatakan saat ini rumah gadang
katirisan. Artinya rumah gadang sudah mendapatkan malu. Kalau dulu ada sesuatu kejadian yang
memalukan dalam suatu kaum, rumah gadang kaum tersebut akan ditandai.
Ditelungkupkan pariuak balango di gonjong rumah gadang. Hal ini
bertujuan untuk memberi tahu masyarakat bahwa telah terjadi sesuatu di rumah gadang
tersebut. Dengan kata lain, kejadian ini telah
malimau kapalo rumah gadang dan urang Minang. Saya melihat ini
sebagai salah satu indikator pengamalan ABSSBK masih belum dilaksanakan
sepenuhnya. ABSSBK baru sebatas wacana.
Apakah Ibu
melihat ada unsur eksploitasi perempuan di dalam kasus tarian telanjang itu?
Bisa jadi. Pertama tentu
saja kita melihat indikasi adanya eksploitasi perempuan. Namun hal ini terjadi
juga karena perempuannya mau melakukan itu karena alasan ekonomi. Saya tidak
percaya jika alasannya hanya alasan ekonomi. Banyak yang bisa kita lihat,
misalnya, perempuan di Pasar Raya yang mau bekerja di pasar, mangutia lado
manggiliang lado untuk manyambung hidupnya. Kalau hanya untuk makan, tidak
perlu segitu bayarannya.
Ada dua hal yang menjadi
dasar hal ini bisa terjadi yaitu dasar agama dan dasar adat, tidak ada. Saat
ini kita melihat adanya kecenderungan exhibionisme
yaitu orang yang suka mempertontonkan diri kepada orang lain. Sayangnya,
bagaimana kita akan meneliti kasus ini lebih jauh karena baik penari dan
penontonnnya kini sudah dilepaskan.
Ketika diperiksa
lelaki yang berasal dari Satpol PP itu, apakah ini gambaran sebagai pelecehan
terhadap perempuan?
Dari dulu yang menjadi
persoalan, kalau ada kasus asusila selalu perempuan yang menjadi ujung tombak,
yang selalu disalahkan. Sementara pihak laki-lakinya lepas begitu saja. Khusus
kasus seperti ini seharusnya ada perempuan dalam Satpol PP. Seharusnya ada yang
melindungi terlebih dahulu para pelaku ini baru difoto atau diwawancara. Ada
dilema terkait hal ini. Di satu sisi kita ingin memelihara kaum perempuan, tapi
di sisi lain perempuan tidak menjaga dirinya sendiri. Akibatnya semua perempuan
merasa tersinggung karena yang diperlakukan tidak sesuai nilai agama dan
budaya. Tidak ada satupun agama dan budaya yang membenarkan hal ini.
Mengapa yang
dipermasalahkan perempuan yang bugil itu, sementara lelaki penikmat dan pemesan
pertunjukan erotis itu, tak dipermasalahkan. Bagaimana komentar Uni?
Dulu, ada hukum
masyarakat melalui lembaga kontrol sosial masyarakat. Mereka diarak keliling
kampung dan semua orang keluar. Itu hukum masyarakat. Kini, tidak ada lagi
hukum adat. Ketika diserahkan ke hukum negara , mereka malah dilepaskan begitu
saja. Hingga saat ini menjadi tanda tanya besar mengapa penonton penari itu
bisa tidak tertangkap? Siapa sebenarnya penontonnya. Hal ini harus dijelaskan
Satpol PP.
Dalam sistem ekonomi ada
pembeli dan penjual. Pertanyannya kini siapakah penonton yang melarikan diri
tersebut? Apakah mereka tokoh masyarakat sehingga ditutupi seperti ini? Ini
aneh dan tidak logis menurut saya. Mengapa penari tertangkap sementara yang
menonton tidak? Penanganan seperti ini perlu dipertanyakan. Tidak mungkin
perempuan mau kalau laki-laki tidak ada. Hal ini harus dijelaskan oleh Satpol
PP. Harusnya didata identitas perempuan tersebut siapa orangtuanya, kampung
dimana, anggota kaum mana dia.
Lalu, jika kita
perlu menggugat lembaga ninik mamak, pangulu, dan datuak-datuak, dan Bundo
Kanduang apakah ini juga sebagai factor tak berfungsinya peran itu?
Dalam kasus seperti ini
selalu dipojokkan ninik mamak karena dianggap tidak berfungsi. Coba tanya dulu
pernahkah ada penguatan untuk ninik mamak di masyarakat saat ini. Perlu
dipahami bahwa LKAAM, Bundo Kanduang adalah organisasi. Sementara ninik mamak, alim
ulama, cadiak pandai itu adanya di dalam kaum. Organisasi itu tidak berhubungan
langsung dengan masyarakat. Jika
masing-masing ninik mamak, cadiak pandai ini berperan dalam kaum, tidak akan ada
anak gadis yang lepas apalagi menjadi penari telanjang.
Jika
telusuri lebih jauh, peristiwa memalukan itu lebih dekat pada soal sosial dan
masalah ekonomi karena beban hidup yang berat. Lalu, bagaimana sebenarnya
fungsi perkauman itu? Bukankah soal itu terkait dengan juga dengan berkurang
harta warisan bagi anak kemanakan?
Itu
adalah alasan yang dicari-cari. Semiskinnya urang
Minang mereka tidak mungkin tidak punya tanah warisan. Jika mereka hidup di
kampung mereka tidak mungkin tidak makan, jika fungsi kaum berjalan dengan
baik. Untuk makan, paling 20 ribu rupiah sehari, jika sejuta perjam ini bukan
untuk makan lagi, tapi untuk gaya hidup.
Peran
lembaga pendidikan, atau lembaga nonformal, tampaknya belum begitu kuat dan
terlihat berhasil, dan ini terbukti dengan munculnya video porno dari pelajar
SMA di Kota Padang?
Lembaga pendidikan
harusnya juga menjadi lembaga kontrol. Guru harusnya mendidik bukan hanya
mengajar. Harus ada integritas guru untuk mendidik anak. Namun, saat ini dalam
dunia pendidikan tidak lagi jalan system control dan sangsi. Guru tidak lagi
langsung menegur anak yang bermesraan di muka umum. Selain itu guru ini juga
tidak lagi menjadi panutan bagi anak.
Banyak yang
mengatakan, ditemukannya penari dan video porno, serta pesta seks di Solok,
hanya puncak gunung es. Sebenarnya banyak yang lebih dahsyat dari ini, mengapa
hal ini seperti dibungkus?
Hal ini tentu saja
dibungkus oleh kepentingan bisnis. Kalau
dilihat akarnya kita bisa melihat budaya populer di sini. Era globalisasi yang
membiaskan antara yang benar dan salah. Budaya populer hanya melihat bungkus
tidak esensinya. Di belakang ini semua tentu saja ada kaum kapitalis yang sama
sekali tidak mementingkan agama, namun hanya memikirkan keuntungan. Tidak ada
pengawasan. Kalaupun ada pengawasannya tebang pilih dan bisa dibayar.
Pihak Pemerintah
sepertinya memberi izin berdirinya café-café dan hotel-hotel kecil dan
berbintang, sementara kita tak menutup mata, dari sinilah sebenarnya maksiat
itu dimulai. Apa komentar Anda?
Pemerintah harus
memiliki keberanian untuk membersihkan maksiat. Untuk mengembangkan ABSSBK
pemerintah harus memilih. Apakah hanya keuntungan profit yang dipikirkan atau
pemeliharaan adat dan budaya. Ada ambiguitas di sini. Peraturan telah disusun
berdasarkan adat dan agama, namun pelaksanaannya tidak ada. Soal izin dan
pendapatan pemerintah harus memilih. Memang banyak pemasukan dari kafe, namun
pintu maksiat juga terbuka lebar melalui ini. Idealnya, mari kembali ke kaum.
Kembali ke ketahanan
keluarga inti dan kaum. Asmaul husna dan ayat kursi jangan hanya menjadi
hafalan tapi diamalkan. Untuk anak-anak madrasah pertamanya adalah keluarga,
dan ibu adalah guru pertama bagi anak. Jika ini kuat maka keluarnya juga akan
kuat. Masih ada harapan dengan sistem kaum, apakah kita sepakat kembali ke sistem
tersebut?