Jangan Menutup Mata Terhadap Realitas
Free Hearty |
Terjaringnya perempuan yang melakukan porno aksi sebagai
penari striptis di depan sekelompok lelaki memang sangat mengejutkan dan
menampar wajah Minangkabau. Karena selama ini, Walikota Padang Fauzi Bahar
dengan gencarnya menyosialisasikan berpakaian muslim dan Asmaul Husna.
“Yang mengejutkan tentu bukan kebijakan yang diterapkan
itu, tetapi bagaimana pemaknaan dan implementasi dari semua kebijakan itu.
Apakah hanya sampai pada tataran seremonial saja, hanya dipermukaan saja dan
tidak menyentuh yang esensi dari kebjakan tersebut. Sehingga Asmaul Husna hanya
sebagai hafalan saja, dan jilbab hanya menjadi “fashion” saja. Ironis kan?
Sebaiknya mulai dipikirkan ajaran dan pendidikan yang
mampu memasuki pemikiran, perasaan dalam pemahaman spiritual masyarakat
dengan baik,” kata Dr Free Hearty, yang kini mengajar di Al Azhar Jakarta
dan baru saja menyelesaikan buku “Keadilan Gender, Perspektif Feminis Muslim”
ini. Berikut petikan wawancara dengan Nasrul
Azwar dengan mantan dosen di UBH ini.
Apa komentar Anda tentang
tarian telanjang dan beredarnya video porno yang diperagakan anak SMA beberapa
waktu yang mencoreng kening Minangkabau itu?
Sangat mengejutkan! Mengingat betapa gencarnya Walikota
Padang selama ini menyosialisasikan berpakaian muslim (menutup aurat dan mengharuskan
menggunakan jilbab) yang sempat menjadi polemik juga hingga beliau sempat
beradu argumenrasi dengan beberapa tokoh di tivi nasional.
Apalagi beliau juga sangat gencar menyosialisasikan
penghafalan Asmaul Husna. Yang mengejutkan tentu bukan kebijakan yang
diterapkan itu, tetapi bagaimana pemaknaan dan implementasi dari semua
kebijakan itu. Apakah hanya sampai pada tataran seremonial saja, hanya
dipermukaan saja dan tidak menyentuh yang esensi dari kebjakan tersebut. Sehingga
Asmaul Husna hanya sebagai hafalan saja, dan jilbab hanya menjadi “fashion”
saja. Ironis kan? Sebaiknya mulai dipikirkan ajaran dan pendidikan yang mampu
memasuki pemikiran, perasaan dalam pemahaman spiritual masyarakat dengan baik.
Apakah Uni melihat
ada unsur eksplorasi perempuan di dalam kasus tarian telanjang itu?
Bukan eksplorasi, tetapi jelas ada unsur eksploitasi
perempuan di sini. Mengingat usia mereka yang baru 21 tahun tetapi telah
menjadi janda, ini adalah kondisi perempuan yang rentan untuk dieksploitasi.
Perempuan yang dieksploitasi tentu perempuan yang masih terkungkung oleh pola
pikir sederhana, bahwa tubuh merekalah yang bisa dijadikan komoditas. Karena pemikiran
seperti inilah yang dikonstruksi selama ini kan? Mereka belum atau tidak
disadarkan atau mungkin tidak diedukasi bahwa bukan kecantikan atau tubuh yang
harus dijual, tetapi isi kepala atau keahlian yang lain. Perempuan harus
disadarkan bahwa mereka mempunyai potensi untuk mandiri tanpa harus menjual diri.
Perempuan kan dijejali dogma-dogma tentang pengabdian
tanpa pamrih kepada suami, kepada lelaki tanpa pernah menyadarkan akan adanya
kemungkinan bahwa tidak semua lelaki seperti harapan dan mimpi. Lalu apa yang
terjadi ketika nasib buruk menimpa dan siperempuan mendapat suami yang tidak
bertanggung jawab, siapakah yang peduli? Keterbatasan berpikir dan kebuntuan
menghadapi keadaan, ini yang biasanya membuat perempuan terjerumus kedalam
begitu banyak tipuan dan rentan untuk dieksplouitasi serta dimanipulasi.
Jangan melihat hanya kepada ke dua perempuan itu saja,
seakan mereka pelaku tunggal. Bisa jadi merekalah korban sebenarnya. Korban
dari keadaan yang semakin chaos. Bagaimana
dengan lelaki yang membayar mereka? Bagaimana dengan café yang menyediakan tempat?
Bagaimana dengan sebagian kita yang mengetahui tetapi mencari jalan aman dengan
mengaminkan saja banyak hal? Lalu ketika mencuat cerita begini ke permukaan,
semua menunjuk hidung yang lain, menjadi gusar, marah, memaki dan menyelamatkan
diri sendiri.
Ini harus menjadi tanggung jawab kita bersama. Bangunlah!
Buka mata selebarnya, jangan hidup dengan ilusi dan kebesaran masa lalu tentang
adat dan istiadat saja. Tetapi mari lihat kondisi sebenarnya yang ada di depan
mata. Jangan menutup mata dari realitas yang ada, dan mari bersama kita
mempelajari bagaimana mengembalikan nilai-nilai luhur nenek moyang kita.
Nilai-nilai yang membuat kita berbeda, yang membuat kita bangga menjadi orang
Minangkabau. Jangan saling menyalahkan lagi.
Ketika bicara
tentang filosofi dan pandangan hidup Minangkabau, ABSSBK apakah ini menjadi
indikasi gagalnya ABS-SBK menjadi pedoman hidup masyarakat Minangkabau?
ABS-SBK tetap
menjadi pedoman hidup masyarrakat Minangkabau kan? Saya tidak mau mengatakan
ini sebuah kegagalan. Tetapi ada indikasi ketidakpedulian dan ketidakpahaman
sebagian (besar?) masyarakat Minangkabau tentang nilai-nilai yang dikandung
dalam falsafah ini. Barangkali yang perlu dipikirkan bagaimana
menyosialisasikan nilai-nilai ini sehingga menjadi nafas dan jiwa masyarakat
Minangkabau yang tercermin dalam pola pikir dan perilaku sehari-hari
masyarakat, dan tidak hanya sekedar buah bibir yang diucapkan tiap sebentar
dalam seremonial setiap upacara dan peristiwa. Jangan jadikan falsafah luhur
ini hanya sebatas wacana dan propaganda saja.
Lalu, jika kita
perlu menggugat lembaga ninik mamak, pangulu, dan datuak-datuak, dan Bundo
Kanduang apakah ini juga sebagai factor tak berfungsinya peran itu?
Kita tidak perlu menggugat dan memang tidak ada yang
perlu digugat. Tetapi mari mempertanyakan, bagaimana peran dan fungsi
masing-masing mereka dalam lembaga itu. Masihkah mereka mempunyai makna,
wibawa, kearifan dan kecerdasan seperti yang dimiliki oleh lembaga dalam tiga tungku sajarangan zaman dahulu?
Tanggung jawab tidak bisa diletakkan kepada satu lembaga saja. Kaum agama, cerdik pandai dari akademisi dan
ninik mamak, bisakah duduk bersama dan menyatukan langkah membicarakan Nagari
kita yang “terganggu” oleh banyak hal ini? Sudahkah masing-masing kita berperan
dengan sungguh-sunguh, ikhlas dan tulus?
Jika telusuri
lebih jauh, peristiwa memalukan itu lebih dekat pada soal sosial dan masalah
ekonomi karena beban hidup yang berat. Lalu, bagaimana sebenarnya fungsi
perkauman itu? Bukankah soal itu terkait dengan juga dengan berkurang harta
warisan bagi anak kemanakan?
Kita kembali berputar dengan masalah ini. Masalah ekonomi
tentu saja menjadi dominan untuk dipersalahkan saat membicarakan banyak hal.
Tetapi pola hiduplah yang sering menjadi masalah. Ketika Anda belum memiliki
ada keinginan-keinginan luhur untuk membantu bila sudah mermiliki. Tetapi saat
telah memiliki, gaya hidup hedonislah yang sering terjadi. Seandainya, yah
seandainya saja, semua kaum muslim bersatu padu dan dengan benar memberikan
zakat mal, yakinlah kemiskinan kan mudah dicarikan solusinya. Lalu seandainya,
seandainya juga sih, pajak di negeri ini tersalurkan dengan baik dan benar,
alangkah makmurnya bangsa kita.
Lalu kita bicara tentang harta warisan, tidak bisa juga
dielakkan, perubahan budaya dimana fungsi dan peran bapak menjadi dominan dalam
keluarga. Maka fungsi mamak menjadi berkurang. Dahulu para suami pulang ke
rumah istri hanya diwaktu tertentu saja. Hubungan para lelaki lebih dekat
dengan keluarganya dibanding dengan istri dan anak-anaknya. Komunikasi yang
terjadi dengan sendirinya lebih lancar pula dengan keluarganya sendiri. Kini
terjadi perubahan. Lelaki yang beristri lebih dekat dengan keluarga intinya
sendiri. Perubahan tidak bisa dielakkan. Masalahnya adalah bagaimana menghadapi
perubahan ini tanpa harus kehilangan nilai-nilai inti dan luhur itu, Bukankah
pepatah kita mengatakan “Sakali aie gadang, sakali titian barubah”. Artinya
kita semua harus siap menghadapi perubahan dengan tetap mempertahankan
nilai-nilai murni dan nilai inti kebudayaan kita ini,
Kita tak bisa
tutup mata, sepanjang pantai Padang, taksi-taksi yang beroperasi malam hari,
serta ada juga menggunakan mobil rental, sepanjang malam penuh dengan maksiat.
Bagaimana ini Anda melihatanya?
Kalau tadi saya mengatakan bahwa berita itu mengejutkan
mengingat kebijakan yang telah diterapkan Bapak Walikota. Di sisi lain
sebenarnya saya tidak begitu terkejut amat dengan adanya kejadian penari
telanjang tersebut. Saya pernah menulis di harian ini tentang betapa bangga nya
saya dengan perempuan Minangkabau yang semakin cerdas dan bergairah
meningkatkan potensi dan kualitas diri. Betapa besarnya harapan saya bahwa
tokoh_tokoh perempuan Minangkabau akan mampu berkiprah di arena nasional
ataupun internasional.
Namun saya kaget ketika dalam sebuah pertemuan beberapa
perempuan Minang yang baru datang dari Padang, mereka memarahi saya berkaitan
dengan tulisan yang memuji perempuan Minang tersebut, dan menanyakan sudah
berapa lama saya tidak pulang kampung? Belum begitu lama sebenarnya karena saya
selalu menyempatkan diri pulang kampung tiap sebentar. Karena saya mempunyai
kelompok-kelompok kecil perempuan pinggiran yang bisa saya bantu semampu saya,
maka saya berusaha bertemu mereka secara periodik.
Lalu teman ini mengajak saya pulang. Mengajak saya
menyusuri Pantai Padang tempat saya pernah tinggal puluhan tahun lamanya.
Sampai ke ujung jalan arah ke UBH tempat
saya mengabdikan diri juga puluhan tahun lamanya. Saya tak mampu bicara lidah
saya kelu menonton Kota Padang Tercinta dijadikan tempat membuang-buang cinta
dalam prahara nafsu seenaknya. Saya tak berkutik dimarahin habis-habisan,
seakan itu tanggung jawab saya.
Dalam sebuah acara saya bertemu walikota, dan beliau
tentu tidak pernah kenal saya meski berkali-kali dalam beberapa acara selalu
juga dikenalkan kepada saya. Maka pembicaraan saya tentulah menjadi percuma.
Tetapi saya seperti merasa ada suatu peristiwa yang akan mencuat. Dan dering
telepon seorang teman menceritakan kisah ini kepada saya sebelum wawancara ini
disampaikan. Saya termenung, terganggu dan tergugu. Saya hanya bisa menulis,
tetapi tulisan tetaplah tulisan ketika maknanya sudah tidak lagi memekakkan
telinga para penguasa kota. Apakah ini terjadi karena kemiskinan, atau memang
peluang diciptakan oleh pemerintah?