Ini
Memang Masalah Sosial, Bukan Moralitas
Darman Moenir |
Tidak adil juga memberi beban terlalu
berat kepada pemerintah untuk “mengurus” Ranah Minang. Sumatera Barat tidak
sama dengan Ranah Minang. Namun, selagi pemerintah (Provinsi Sumbar, kota, kabupaten)
ambivalen, setengah hati, memberantas makasit, maka perbuatan maksiat itu akan
tetap eksis.
“Saya tidak mau masuk ke frasa moralis
“peristiwa memalukan itu” tetapi ini memang masalah sosial, masalah ekonomi dan
masalah seksual,” kata Darman Moenir, sastrawan kelahiran Sawah Tangah,
Batusangkar, 27 Juli 1952 yang baru saja menerbitkan novelnya Andika Cahaya ini. Berikut petikan
wawancaranya dengan Nasrul Azwar.
Apa komentar Anda tentang tarian telanjang dan beredarnya
video porno yang diperagakan anak SMA beberapa waktu yang mencoreng kening
Minangkabau itu?
Tidak
mudah memberi komentar, sungguh-sungguh! Menjadi pertanyaan serius, mencoreng
kening Minangkabau? Dan mengapa kening? Minangkabau mana? Bukankah pertanyaan
terlalu elaboratif? Masih relevan dan kontekstualkah pertanyaan, sebagai akibat
nila setitik, rusak susu sebelanga? Apa mungkin, jumpa seorang perempuan
Filipina cantik lalu diambil kesimpulan semua perempuan Filipina cantik? Apakah
bisa berasumsi, bila di Sumatera Barat ditemukan orang yang diduga teroris,
lantas diambil hipotesis, di Sumatera Barat banyak orang diduga teroris. Ya,
apakah mungkin cuma sebagai akibat dua perempuan muda ditangkap menari
telanjang gegek, lalu Minangkabau
jadi rusak? Jadi, tidak mudah memberi komentar.
Ketika bicara tentang filosofi dan pandangan hidup
Minangkabau, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, apakah ini menjadi
indikasi gagalnya ABSSBK menjadi pedoman hidup masyarakat Minangkabau?
Ini
masalah lain. Bukankah ABSSBK itu bagai berada di lapis langit ke tujuh, dan
kita berada di bumi kenyataan? Pemikir dan penyair Minangkabau masa lalu yang anonymous itu sangat pintar menyusun
retorika: abssbk (dengan huruf besar
atau kecil). Tidakkah ungkapan puitik itu hanya jadi permainan kata belaka?
Adakah ABSSBK itu benar-benar menjadi filosofi dan pandangan hidup? Siapa yang pernah
bersungguh-sungguh melaksanakan? Pemerintah atau pemangku agama, pemangku adat,
rakyat banyak? Persoalan terletak bukan pada gagal atau tidak gagal tetapi pada
eksis atau tidak eksis ABSSBK itu? Betapa lagi ABSSBK itu belakangan juga ditaniahkan
kepada bukan orang Minangkabau, bukan pula orang Islam.
Lalu, jika perlu menggugat lembaga ninik mamak, pangulu, dan
datuak-datuak, apakah ini juga sebagai faktor tak berfungsinya peran itu?
Mengapa
niniak-mamak, pangulu, datuak-datuak perlu
digugat? Peran apa atau peran siapa? Dan sesungguhnya adakah niniak-mamak,
pangulu, datuak-datuak, berperan menjalankan ABSSBK? Pertanyaan ini diajukan
tanpa harus meminta maaf.
Jika telusuri lebih jauh, peristiwa memalukan itu lebih dekat
pada soal sosial dan masalah ekonomi karena beban hidup yang berat. Lalu,
bagaimana sebenarnya fungsi perkauman itu? Bukankah soal itu terkait dengan
juga berkurangnya harta warisan bagi anak kemenakan?
Pertanyaan
ini relevan, menarik didiskusikan. Saya tidak mau masuk ke frasa moralis “peristiwa
memalukan itu” tetapi ini memang masalah sosial, masalah ekonomi dan masalah
seksual. Beban hidup anak bangsa di Indonesia, di Sumatera Barat, berat, dan
selalu berat. Mendapatkan uang lima puluh ribu rupiah dalam sehari tidak
gampang dan selalu tidak gampang. (Tolong jangan dibanding dengan Gayus, Nazaruddin.) Perilaku koruptif sebagian
pengelola negara, juga di Provinsi Sumatera Barat, belum memungkinkan sebagian besar
rakyat, juga kaum perempuan, mendapatkan penghasilan secara wajar. Ukuran wajar
relatif. Beralasan sekali ada satu-dua, tiga-empat, gadis menjual diri, dan
menari telanjang untuk mendapatkan fulus.
Mereka oleh karena itu tidak tahu, paling tidak, tak mau tahu dengan nilai
agama, nilai adat, nilai yang universal. Boleh dan bisa saja banyak pihak
menghujat dan menghina mereka, para penari telanjang itu, tetapi adakah di
antara para penghujat yang mampu memberi jaminan sosial secara wajar? Tidak
mudah menali-temalikan kasus seksual seperti itu dengan harta warisan. Apalagi
dengan mengimbuhkan kata kemenakan atau kamanakan?
Adakah mamak atau paman masa kini
yang masih mengurus kemenakan?
Peran lembaga pendidikan, atau lembaga nonformal, tampaknya
belum begitu kuat dan terlihat berhasil, dan ini terbukti dengan munculnya
video porno dari pelajar SMA di Kota Padang?
Kasus tindak
video porno pelajar SMA di Kota Padang, masih menyangkut risalah seksual
bebas-merdeka, tidak sama dengan kasus tari telanjang. Video porno sebagai kata
benda atau kata kerja ini benar-benar merupakan dampak negatif teknologi
mutakhir. Tentu perkembangan dan kemajuan teknologi perlu dirayakan. Tetapi berlaku
seperti Ariel dan Luna memang jadi masalah pelik! Orang-tua, guru-guru, perlu
malah wajib bersikap jelas, tegas dan bahkan keras terhadap ketergodaan duniawi
remaja di masa-masa puber itu. Sejak lama, sebelum teknologi modern ujud,
kelakuan remaja bermain-main dengan seks sudah ada. Karya sastra antara lain menunjukkan
itu. Lembaga pendidikan juga tidak bijak dinilai tidak berhasil, apalagi disalahkan.
Dunia sekitar, kini, sangat maju, sangat-sangat maju. Simak dan tontonlah televisi:
bukankah sajian mereka sangat “mendidik” (di antara tanda petik)? Juga hape dan
berbagai jenis telepon seluler.
Pihak Pemerintah sepertinya memberi izin berdirinya café-café
dan hotel-hotel kecil dan berbintang, sementara kita tak menutup mata, dari
sinilah sebenarnya maksiat itu dimulai. Apa komentar Anda?
Persis,
tidak saja dari sana, dari kafe-kafe dan hotel-hotel itu. Bahkan pemerintah dengan
riang-gembira mengalokasikan dana besar untuk kegiatan yang tidak pernah
diajarkan agama Islam dan tidak tertera sekata pun dalam Kitab Tambo: memilih uda-uni. Di sana-sini
gubernur, walikota, bupati, di pelbagai mimbar, berkering mulut memfatwakan,
agar ABSSBK dilaksanakan. Di saat sama gubernur, walikota dan bupati
mengalokasikan dana besar untuk kegiatan pemilhan uda-uni itu. Tidakkah
selangkah lagi pemilihan uda-uni identik dengan pemilihan ratu sejagad? Aneh
bin ajaib, di negeri yang beradat tidak lekang oleh panas, tidak lapuk oleh
hujan ini, pemilihan uda-uni seolah (diulangi: seolah) direstui MUI, LKAAM,
Bundo Kanduang. Kalau tidak setuju, lembaga-lembaga hebat ini tentu saja sudah
sejak lama menolak secara jelas dan tegas. Aneh binti ajaib, saya tahu, bahkan
juri pemilihan uda-uni itu ada yang guru besar bergelar haji, dan juga datuk!
Apakah yang harus dilakukan pemerintah agar maksiat tak
tumbuh di Ranah Minang?
Tidak
adil juga memberi beban terlalu berat kepada pemerintah untuk “mengurus” Ranah
Minang. Sumatera Barat tidak sama dengan Ranah Minang. Namun, selagi pemerintah
(Provinsi Sumbar, kota, kabupaten) ambivalen, setengah hati, memberantas
makasit, maka perbuatan maksiat itu akan tetap eksis. Contoh konkret, ya,
penyediaan dana besar untuk pemilihan uda-uni. Selagi pemerintah ambivalen,
maksiat tetapi ada. Jujur, perbuatan maksiat bukan “barang” baru. Sejak
abad-abad lampau, sejak tahun-tahun lalu, perbuatan maksiat sudah ada. Selama
40 tahun lebih domisili di Kota Padang, setiap tahun saya “mendengar” bahkan
“menyaksikan” perbuatan maksiat.
Apakah hukum yang tak jalan, atau sanksi tak ada, misalnya
dua penari dilepas saja oleh Satpol PP. Sementara polisi memburunya? Mengapa
menjadi tumpang tindih?
Secara
khusus untuk masalah ini, saya menulis pesan pendek (30/09/2011), kepada
Walikota Padang. Begini: Pak Wako Dr. H. Fauzi Bahar, M.Si., UU Pornografi,
khusus No. 44/2008, berlaku untuk siapapun yang berbuat porno (di Kota Padang,
atau di mana pun di Indonesia!) Termasuk penari telanjang, poyok, dan semua
pelaku porno. Jadi, Satpol PP perlu pelajari UU Pornografi itu dan terapkan.
Siapa yang tertangkap tak perlu dilepas (juga tidak dikirim ke Sukarami) sampai
mereka disidang dan dihukum sesuai undang-undang. Efek jera mungkin lebih
efektif. Salam takzim. (DM) Jawaban Fauzi Bahar sesaat kemudian (30/09/2011):
Betul Da Darman. Ambo akan siapkan tim untuk semuanya itu agar mereka kita
jerat.
Kita tak bisa tutup mata, sepanjang Pantai Padang,
taksi-taksi yang beroperasi malam hari, serta ada juga menggunakan mobil
rental, sepanjang malam penuh dengan maksiat. Bagaimana Anda melihatanya?
Sepanjang
Pantai Padang, sepanjang Jalan Diponegoro (depan Taman Budaya dan Museum
Nagari), di Jalan Hayam Wuruk, sampai ke Jembatan Siti Nurbaya, Jalan Chairil
Anwar, Jalan Bundo Kanduang, Jalan Gereja, bahkan juga di Jalan Rasuna Said,
sampai ke beberapa tempat di sepanjang Jalan By Pass, Jalan Layang BIM, selalu
ada tindak maksiat (dengan sejumlah bencong lagi). Ya, itulah fenomena sosial.
Para moralis mengutuk, tetapi pelaku maksiat (penjual dan pembeli, andai
bersifat transaksional) memerlukan uang dan seks. Sumpah-serapah, caci-maki dan
penangkapan-penangkapan tidak menyelesaikan masalah, maksiat takkan berhenti.
Saya teringat, Malaysia punya Genting High Land. Saya akan langsung dicap
sekuler atau “tidak tahu adat” bila menanyakan, Sumatera Barat atau Kota Padang
punya apa?
Setiap razia digelar, pasti ada pasangan yang tak bisa
menunjukkan identitasnya sebagai suami istri, ditangkap aparat?
Sebagai
ilustrasi atau perbandingan, saya berpengalaman mengikuti dan membentang
makalah di Hari Sastra di Ipoh, Malaysia, 1980. Saya ke sana bersama istri.
Masuk ke hotel berbintang, disediakan panitia, bersama istri, saya diminta resepsionis
menunjukkan surat/buku nikah. Celaka, kami tidak membawa. Dan petugas hotel
tidak mengizinkan kami menginap di hotel itu. Melalui bantuan A.A. Navis dan
pangerusi, Prof. Dr. Ismail Hussein, baru kami diizinkan menginap. Tanpa
melibatkan aparat, mungkinkah pengurus hotel melakukan hal yang sama di daerah
ini?