OLEH Sudarmoko
Sudarmoko |
Sepanjang
sejarahnya, Sumatra Barat menjadi bagian yang penting dari sedikit daerah di
Indonesia yang dalam segi jumlah memberikan pengaruh penting dalam
kesusastraan. Hingga tahun 1977, kehidupan sastra Indonesia modern di Sumatra Barat dicatat dengan baik oleh Nigel Phillips
dalam artikelnya di Indonesia and the Malay World (Vol. 5(12): 26-32),”Notes on
Modern Literature in West Sumatra”. Dalam catatan yang dibuat di sela-sela
penelitiannya tentang sastra lisan, terutama Si Jobang yang sudah diterbitkan,
ia mencatat sejumlah pencapaian dan sastrawan Sumatra Barat.
Mereka
yang sudah aktif dalam dunia sastra di Sumatra Barat ketika itu adalah AA
Navis, Rusli Marzuki Saria, Abrar Yusra, Chairul Harun, Leon Agusta, Hamid
Jabbar, Zaidin Bakry, Wisran Hadi, Darman Moenir, Joesfik Helmy, Makmur
Hendrik, Upita Agustin. Selain itu juga terdapat nama-nama seperti A. Damhoeri,
Nurdin Jacub, Rivai Marlaut, dan juga yang khusus karena menulis cerita dalam
bahasa Minangkabau, Nasrul Siddik.
Pilihan
untuk menggunakan medium Bahasa Indonesia dibandingkan dengan Bahasa
Minangkabau dibicarakan dengan singkat dalam artikel itu. Bahasa Indonesia
lebih digemari sebagai pilihan bahasa karena cakupan pembaca yang lebih luas.
Di samping itu, ada alasan bahwa Bahasa Minangkabau pada tingkat tuturan untuk
pidato informal, dan sejumlah karya sastra yang lahir sebelumnya. Bahasa
Minangkabau tulisan sendiri mulai diajarkan di sekolah-sekolah pada tahun
1930an. Tentu saja, Bahasa Minangkabau telah banyak digunakan bagi karya-karya
sastra yang lahir sebelum dekade tersebut.
Pada
tahun yang sama, 1977, Alberta Joy Freidus menerbitkan tesisnya di Universitas
Hawaii berjudul Sumatran Contributions to
the Development of Indonesian Literature; 1920-1942. Freidus memberikan
konteks sosial tentang kelahiran dan peran yang diberikan oleh para intelektual
dan pengarang dari Sumatra, terutama Sumatra Bagian Barat, yang menurut
catatannya menjadi bagian penting dari pertumbuhan sastra Indonesia, dengan
kira-kira 85-90%, dari jumlah pengarang yang bergiat pada dekade bahasan
bukunya.
Dari
dua sumber di atas, terlihat bagaimana keberlangsungan sastra yang berkembang
di daerah ini. Dalam pendekatan sosiologis yang dilakukan dalam melihat
bagaimana sastrawan dan karya sastra muncul, penting untuk memperhatikan
bagaimana berbagai unsur mempengaruhinya. Karya sastra memang tidak muncul
dengan sendirinya, namun dipengaruhi oleh banyak hal, seperti ekonomi,
pendidikan, politik, budaya, dan juga pengaruh yang lebih spesifik dan
berlingkup kecil.
Sumbangsih
Media Massa
Media
massa salah satu bagian yang dibicarakan oleh Nigel Phillips dalam artikelnya
itu. Kehadiran media massa sangat berarti bagi penyebarluasan dan penjaga
pertumbuhan sastrawan dan karya sastra. Selain ruang-ruang untuk cerpen, puisi,
dan artikel dan esai, cerita bersambung menjadi bagian yang banyak mendapat
perhatian. Sejumlah media massa yang pernah dan terus menjadi bagian penting
dalam pertumbuhan sastra di Sumatra Barat setelah masa kemerdekaan Indonesia
adalah Haluan, Singgalang, Semangat,
Padang Ekspres. Sejumlah media massa lain juga memberikan sumbangan
berarti, meski berumur tidak begitu lama, seperti Mimbar Minang, Target, Padang Pos, Bukittinggi Pos, dan lainnya.
Hingga kini pun, media massa ini masih memegang peran penting dalam
kesusastraan kita, menjadi media publikasi dan apresiasi yang lebih besar dan
luas ketimbang buku. Inilah juga yang harus dipertimbangkan dalam pembicaraan
sastra. Tidak ada perbedaan mendasar antara karya sastra yang berbentuk buku
atau yang diterbitkan media massa, dilihat dari segi kualitas. Apalagi ditinjau
dari segi finansial yang diterima oleh penulis, media massa lebih menjanjikan.
Bagi
sastra Indonesia modern yang tumbuh dan berkembang di Sumatra Barat, beberapa
informasi di atas memperlihatkan bagian yang penting dalam perjalanannya.
Sejumlah perkembangan yang terjadi setelah catatan Nigel Phillips dan Freidus
tersebut, tentulah banyak informasi dan data lainnya yang muncul belakangan.
Bahkan, dari sejumlah nama yang disebut itu, telah lahir sejumlah karya penting
yang diakui oleh kalangan sastra di Indonesia dan di tingkat regional serta
internasional. Capaian ini tentu saja patut untuk dipikirkan dan dianalisis,
guna mendapatkan sebuah gambaran mengenai keterusberlangsungan sastra di Sumatra
Barat.
Bahkan,
pada perkembangan terkini, sudah semakin banyak capaian dan hasil karya sastra,
baik yang sudah dibicarakan dan dianalisis maupun yang belum sempat dibahas
dalam berbagai media pembicaraan karya sastra.
Untuk
kasus yang lebih awal, dari dua tulisan yang disebut di atas, kita bisa membaca
sejarah kesusastraan ini dalam buku saya, Roman
Pergaoelan, dan juga tulisan Suryadi tentang Roman Indonesia, yang harus
dikaji lebih dalam. Menyambung sejarahnya, patut untuk kemudian diletakkan
tulisan Nigel Phillip dan Freidus di atas. Data-data yang disajikan dalam
tulisan-tulisan itu cukup untuk membantu kita melihat dan membayangkan
bagaimana Sumatra Barat tidak henti-henti melahirkan penulis, memberikan ruang
eksplorasi penulisan, suasana kepenulisan, dan juga pemikiran dalam sastra
Indonesia.
Sastra Indonesia di Sumatra Barat Kini
Betulkah
dunia sastra Sumatra Barat sekarang, dan sejak dua atau tiga dekade ini,
berhenti pada Gus tf Sakai? Apa ukuran yang dilekatkan untuk mengucapkan klaim
seperti itu? Inilah tampaknya yang dibenarkan oleh Darman Moenir dalam
tulisannya di Haluan, Minggu (23/1/2011).
Dua paragaraf terakhir menunjukkan alasan tulisan itu dibuat, yang merujuk pada
ucapan kepala Balai Bahasa Padang yang pernah dilansir media massa besar di
Jakarta dan mendapatkan tanggapan beragam dalam media jejaring sosial.
Sebenarnya saya berharap Darman Moenir dapat memberikan latar belakang klaim
isi tulisannya, dengan memberikan gambaran seperti apa kesusastraan Indonesia
di Sumatra Barat belakangan ini, sehingga menuntunnya untuk memberikan
penilaian bahwa tidak ada novel yang bermutu, selain dengan penyebutan sedikit
karya yang dianggapnya bermutu.
Jika
tulisan itu berangkat dari serangkaian pembacaan dan analisis terhadap
karya-karya sastra yang lahir, tentu akan memberikan sumbangan yang berarti
bagi wacana sastra Indonesia di Sumatra Barat. Tetapi sayangnya kedua klaim
yang dimunculkan itu terkesan hanya ungkapan sambil lalu, dan bahkan mengundang
pertanyaan akan kredibilitas kesastrawanan penulisnya dan juga posisi peneliti
di Balai Bahasa yang dikutipnya. Sepanjang tulisan yang dihadirkan oleh Darman
Moenir, hanya enam paragraf terakhir yang ditulisnya. Bagian sebelumnya hanya
kopi paste yang tidak disebutkan sumbernya, yang patut untuk disayangkan karena
dilakukan oleh seorang penulis yang sudah dikenal dengan novel Bako tersebut.
Selama
30 tahun terakhir ini, tidak sedikit karya sastra yang muncul dari Sumatra
Barat. Baik dari tangan penulis yang masih berdomisili di Sumatra Barat maupun
penulis-penulis asal Sumatra Barat yang berproses di luar. Jika mutu yang
dipertanyakan, diperlukan kajian yang betul-betul mendalam untuk kemudian
keluar pernyataan apakah karya-karya itu bermutu atau tidak. Jika hanya
komentar dan klaim tanpa kajian yang dikeluarkan, saya khawatir kasusnya akan
sama dengan komentar Kepala Balai Bahasa Padang yang disiarkan di media massa
besar itu, yang juga disinggung Darman Moenir, bahwa tidak ada karya sastra
bermutu di Sumatra Barat.
Selain
kajian-kajian yang mendalam, pengakuan-pengakuan atas prestasi para penulis Sumatra
Barat juga dapat mendukung kita untuk kemudian dapat dijadikan bahan dalam
membuat penilaian. Penilaian ini dapat dilihat bukan hanya dari segi sayembara,
hadiah, tetapi juga dalam pembicaraan, diskusi, pemuatan karya,
artikel-artikel, dan sebagainya. Keutuhan sudut melihat pertumbuhan karya
sastra dan juga penulisnya akan membantu kita untuk menilai dan mendalami
kondisi literer.
Tindakan Estetik dan Realistik
Satu
hal yang mungkin perlu dilanjutkan adalah terus memperbincangkan dan mendalami
isi estetika dan literer karya-karya yang muncul. Selain itu juga menjaga
kondisi lingkungan yang memungkinkan pertumbuhan sastra kita secara umum terus
subur. Ini yang mungkin terlupakan dalam mengeluarkan pernyataan-pernyataan dan
penilaian selama ini. Apresiasi yang muncul tidak hanya berpengaruh positif,
namun kadang kala bernilai negatif dan mematikan. Kesadaran seperti ini
diperlukan untuk setidaknya membuka kemungkinan yang lebih luas dalam
mengembangkan potensi sastra kita.
Jaringan
kanonik sastra yang ditengarai oleh Devy Kurnia Alamsyah (Haluan, 30/1/2011), misalnya, harus diperlebar dengan tindakan
nyata membuka ruang kreatif bagi penulis dan pembaca, siswa dan mahasiswa,
penerbit maupun media massa, dan juga lembaga-lembaga, untuk mendukungnya. Di
tengah kelesuan penerbitan buku, termasuk karya sastra, apalagi karya sastra
penulis Indonesia karena karya terjemahan menjadi lebih disenangi penerbit,
mendapatkan novel atau karya sastra penulis Indonesia saja akan sangat
membahagiakan. Di tengah-tengah koleksi dan bacaan karya terjemahan, tentu akan
sangat menyenangkan bila ada karya-karya penulis Indonesia yang berada di rak
buku kita, menjadi bacaan kita.
Dalam
sejarah penerbitan Sumatra Barat, misalnya, dikenal penerbit-penerbit Penjiaran
Ilmoe, Tsamaratul Ichwan, Nusantara, Limbago dan sebagainya. Selain hadir pada
masa sulit ekonomi, mereka memberikan sumbangan yang penting bagi dunia
pendidikan dan melek huruf di Sumatra Barat dan Indonesia. Mereka memberikan
tindakan nyata dalam membangun kelangsungan kepenulisan dan sumbangan karya,
tidak sekadar mengonsumsi karya. Elan vital ini masih terasa, pada sejumlah
penulis dan lembaga di Sumatra Barat. Tidak hanya mengeluh dan berkoar, tetapi
sedikit berkarya. Jika dibalik, tentu akan lebih menarik.
Harian
Haluan, Minggu 6 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar