OLEH Elly Delfia
Dosen Fakultas Sastra
Universitas Andalas Padang
Elly Delfia |
Perkembangan kesusasteraan di Sumatra Barat tentu tak
bisa dilepaskan dari perkembangan bahasa. Bahasa merupakan medium yang
menentukan kesuksesan sebuah karya sastra. Pengunaan bahasa yang baik dan
pemilihan diksi yang tepat menjadi ukuran penilaian sukses tidaknya sebuah
karya sastra.
Demikian juga dengan penilaian dewan juri terhadap Sayembara
Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang digelar pada tahun 2010 lalu.
Penggunaan bahasa dengan kekompleksitasannya nan mengagumkan sebagai buah
kreativitas pengarang menjadi penilaian dewan juri untuk menentukan bermutu
atau tidaknya sebuah karya sastra, dalam hal ini novel. Kemudian, dalam dunia
kepenulisan, bahasa melabeli penciptanya dengan sebutan pengarang.
Dengan bahasa pula, Darman Moenir dan Devy Kurnia
Alamsyah menulis artikel yang cukup menggugah hati. Artikel yang memperdebatkan
novel-novel yang ditulis oleh para pengarang yang berasal dari Sumatra
Barat. Artikel
Darman Moenir dengan judul, “30 tahun Terakhir Tak Ada Novel Bermutu dari Sumatra
Barat (Harian Haluan, Minggu,
23 Januari 2011) dan disahuti dengan artikel berikutnya oleh Devy
Kurnia Alamsyah dengan judul, “Arogansi Sastra Kanon” (Harian Haluan, Minggu, 30 Januari 2011).
Dua tulisan yang mencoba mempolemikkan persoalan keaslian
(kanon) dan ketidakaslian karya, bermutu dan tidak bermutunya novel-novel karya
penulis dari Sumatra Barat dalam 30 tahun terakhir. Siapa yang paling pantas
memberikan penilaian terhadap novel-novel Sumatra Barat 30 tahun terakhir?
Tentunya hanya masyarakat pembaca, bukan individu (persona) penulis
sendiri, seperti yang dilakukan Darman Moenir sebagai seorang penulis novel.
Bahasa menjadi penanda (signifie) bagi keberadaan sebuah
petanda (signifier). Petanda di sini merujuk kepada pengarang sebagai
pencipta karya sastra. Menurut Rolland Barthes, ahli semiotika (ahli tanda)
berkebangsaan Swiss, kedua konsep tersebut ada untuk saling melengkapi. Dalam
dunia kepenulisan, penanda ini merujuk kepada gaya bahasa atau gaya kepenulisan
pengarang atau yang lebih populer dengan style (gaya kepenulisan). Style
seorang pengarang tentunya bukan bagaimana mereka berdandan dan mengenakan
pakaian terbaik dalam sebuah acara namun
style pengarang adalah bagaimana mereka menggunakan kata-kata terbaik
dan bahasa terbaik dalam bertutur dalam mengisahkan sebuah peristiwa sehingga
menggugah dan memperoleh pembelajaran hidup dari karya-karyanya. Dengan
demikian, fungsi sastra “memanusiakan manusia “ bisa tersampaikan.
Upaya memanusiakan manusia dalam karya sastra ini,
misalnya bagaimana seorang Darman Moenir mengemas konflik dengan apik mengenai
hubungan kekerabatan dalam novel Bako dengan tidak melupakan nilai-nilai
adat istiadat Minangkabau, juga bagaimana Wisran Hadi berkisah tentang
Empon yang menyedihkankan dalam Orang-Orang Blanti, lalu bagaimana style
Khairul Jasmi dengan dialek Indonesia-Minang-nya berkisah tentang perilaku
‘sang jenderal’ yang satire dalam Ketika Jenderal Pulang, dan juga
Yusrizal KW dalam cerpen-cerpen realis nan menggugah dalam Kembali ke
Pangkal Jalan. Kemudian A. Fuadi, putra Agam yang sukses dengan novel trilogi
Negeri 5 Menara dan 3 Ranah,
serta Rinai Kabut Singgalang dari Muhamad Subhan. Selalu dengan bahasa,
para pengarang tersebut mendirikan ‘rumah’ dalam karya sastra. Rumah yang
mewakili masyarakat sebagai cermin kehidupan sosial pengarang. Yang mesti
diingat bahwa pengarang adalah orang-orang yang berhasil menaklukkan bahasa dan
membuat bahasa menjadi bernilai. Oleh sebab itu, menyambung artikel Darman
Moenir dan artikel Devy Kurnia Alamsyah, alangkah baiknya para penulis novel Sumatra
Barat saling memberi apresiasi terhadap karya masing-masing karena masing-masing
novel tentu tak lepas dari kekurangan dan kelebihan.
Yang mesti diingat, novel
yang baik adalah novel yang dibaca untuk penyempurnaan diri. Novel yang baik
adalah novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya. Novel yang mempunyai
fungsi sosial dan novel yang dapat membina masyarakat menjadi lebih baik.
Alangkah naifnya, jika penyakit orang Minang yang amat pelit untuk memuji juga
mewabahi para penulis novel dengan saling merendahkan dan meragukan kebermutuan
karya sesama. Tentunya kurang baik menampakkan polemik yang itu-itu saja dari
mingggu ke minggu di halaman koran yang luas ini. Karena pembaca kritik sastra
semacam ini tidak hanya ‘orang-orang dewasa’ yang terbiasa dengan polemik saja,
tetapi juga para pelajar sekolah menengah dan sekolah dasar. Mereka akan
bingung dan bertanya kepada guru tentang yang mana sebenarnya novel yang baik
untuk dibaca.