OLEH
Devy Kurnia Alamsyah
Bukan Sastrawan
Devy Kurnia Alamsyah |
APA jadinya jika
Dewan Juri memilih memenangkan Hendri Teja ketimbang Wisran Hadi? Sudah tentu
ia akan bereaksi akan itu. Novel Hendri Teja yang berjudul “Memoar Alang-alang” ini diilhami oleh
tokoh faktual Tan Malaka dengan latar belakang pergerakan nasionalisme di era
pemerintahan kolonial Belanda.
Tumbuh kembangnya
dunia kesusastraan di Indonesia tak bisa lepas dari institusi-institusi yang
menaungi dunia kesustraan itu sendiri. Bahkan, ketika Indonesia belum berdiri,
di era Hindia Belanda peran Balai Pustaka sangat mengambil peran—terutama dalam
menentukan karya sastra. Kenapa ini menarik, karya-karya di luar Balai Pustaka
dinilai sebagai karya liar dan ketika karya itu diterima oleh khalayak luas
maka akan muncul cap roman picisan terhadap karya liar tersebut.
Ini menjadi
tonggak dasar labelisasi karya sastra bermutu dan tidak. Salah satu karya yang
disebut roman picisan itu adalah Pacar
Merah Indonesia yang ditulis oleh Matu Mona (nama samaran Hasbullah
Parindurie).
Buku yang diterbitkan oleh Centrale-Courant en Boekhandel, Medan, pada Maret 1938 ini menceritakan sepak terjang tokoh kemerdekaan paling legendaris kelahiran Sumatra Barat—Tan Malaka di berbagai negara. Satu hal yang menarik adalah bagaimana karya picisan ini lebih banyak mengurai semangat antikolonialisme dibanding dengan karya kanon Balai Pustaka. Yang terjawab kemudian adalah, kanonisasi sastra di era itu adalah pengejewantahan karya-karya yang pro pemerintah kolonial Belanda.
Buku yang diterbitkan oleh Centrale-Courant en Boekhandel, Medan, pada Maret 1938 ini menceritakan sepak terjang tokoh kemerdekaan paling legendaris kelahiran Sumatra Barat—Tan Malaka di berbagai negara. Satu hal yang menarik adalah bagaimana karya picisan ini lebih banyak mengurai semangat antikolonialisme dibanding dengan karya kanon Balai Pustaka. Yang terjawab kemudian adalah, kanonisasi sastra di era itu adalah pengejewantahan karya-karya yang pro pemerintah kolonial Belanda.
Ketika kritik sastra
Indonesia modern mulai berkembang di tanah air, ada satu kajian bernama
poskolonialisme sastra yang kemudian turut berkembang di tanah air, sebagai
imbas dari munculnya postrukturalisme di Eropa, yang menyerang produk sastra
kanon. Negara-negara yang pernah merasakan berbagai bentuk penjajahan mulai
membicarakan (dan mempertentangkan) aspek-aspek kolonialisme yang mempengaruhi
setiap sendi sosial, budaya, politik hingga ekonomi. Itu semua dilihat dalam
perspektif kesusastraan. Beragam karya kemudian dikritik sedemikian rupa. Satu
hal yang belum dipetakan jelas hingga hari ini, benarkah poskolonialisme sastra
sudah dimulai di negeri ini?
Ketika Edward Said
membicarakan Orientalisme sebagai
bentuk kritiknya mengenai cara pandang Barat terhadap Timur melalui perspektif
Barat mulai terdengar, maka mulailah kemudian muncul Oksidentalisme sebagai oposisi binernya. Lalu mulailah bermunculan
istilah-istilah subaltern, mimikri,
krisis identitas, politik representasi, pascamerdeka dan lain-lain dalam
perbincangan akademik kesustraan tanah air. Permasalahannya semua itu muncul
dari negara-negara bekas jajahan Inggris. Tak satupun pemikiran otentik
mengenai poskolonialisme muncul dari negara-negara bekas jajahan Belanda—yang
jelas-jelas tak sama sistem imperialismenya dengan Inggris—yang mampu sejajar
dalam membicarakan poskolonialisme itu sendiri. Bandingkanlah dengan
Malaysia—bekas jajahan Inggris—yang sudah mempunyai jurusan tersendiri terkait
dengan poskolonialisme. Di Indonesia, poskolonialisme sastra hanya satu bagian
kecil yang dibahas di satu mata kuliah tertentu. Itu pun tak dibahas mendalam.
Lalu seperti apa masa depan (kritik) sastra Indonesia? Masihkah kita terjebak
dalam kanonisasi sastra?
Kanon Sastra
Lembaga-lembaga
seperti dunia akademik dan lembaga kebudayaan mengambil peran penting di sini
dalam melegitimasi seperti apa karya sastra kanon itu sendiri. Menarik untuk
disimak tulisan Darman Moenir di Haluan
(Minggu 23/1/2011) yang berjudul “30 Tahun Terakhir Tak Ada Novel Bermutu dari Sumatra
Barat”. Di dalam tulisannya terlihat keprihatinan mendalam akan tumbuh kembang
dunia sastrawan Indonesia yang kemudian ia kerucutkan menjadi Sumatra Barat.
Sayembara “Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010” dipertanyakan
olehnya karena tak menampilkan nama pemenang. Hanya ada empat karya unggulan di
mana satu karya ditulis oleh Wisran Hadi—seorang senior sastra Sumatra Barat.
Tim doxa sebagai penentu karya kanon,
yang terdiri dari Anton Kurnia, A.S. Laksana, dan Sapardi Djoko Damono,
tampaknya enggan (atau gamang) untuk memilih Ramalda Akmal, Arafat Nur atau
Hendri Teja dengan Wisran Hadi sebagai pemenang. Kesemua nama itu disejajarkan
saja oleh mereka dan hadiah kemudian dipukul rata saja kepada setiap novelis
unggulan. Yang menarik adalah kalimat “kemenangan
dan kehadiran Persiden (judul novel Wisran Hadi) seyogianya jadi cemeti bagi calon-calon sastrawan yang berasal dari Sumatra
Barat pada kurun sekarang ini.” Ia mengambil rentang waktu cukup panjang—30
tahun—untuk memperlihatkan ketidakmunculan novel-novel berkualitas (sesuai
standar DKJ dan dirinya) yang ditulis oleh orang Sumatra Barat. Dengan cerdik,
ia menarik ulur waktu yang dimulai dengan kehadiran novelnya sendiri sebagai
penutup era novel-novel berkualitas 30 tahun lalu. Calon-calon sastrawan Sumatra
Barat mana yang dimaksud oleh Darman Moenir sesungguhnya?
Hendri Teja, yang
menghabiskan perkuliahannya di Universitas Negeri Padang, dianggap tak masuk
dalam jajaran standar pribadi Darman Moenir sementara DKJ sendiri
menyejajarkannya dengan Wisran Hadi—orang yang sangat ia jagokan untuk menang
tahun ini. Apa jadinya jika Dewan Juri memilih memenangkan Hendri Teja
ketimbang Wisran Hadi? Sudah tentu ia akan bereaksi akan itu. Novel Hendri Teja
yang berjudul “Memoar Alang-alang”
ini diilhami oleh tokoh faktual Tan Malaka dengan latar belakang pergerakan
nasionalisme di era pemerintahan kolonial Belanda. Setelah Gunawan Muhammad
menerbitkan naskah “Opera Tan Malaka”
dan memainkannnya tahun lalu di Salihara, kini giliran Hendri Teja untuk
mengulangi apa yang sudah dilakukan Matu Mona 73 tahun lalu. Jika sebelumnya Pacar Merah Indonesia tak pernah masuk
dalam jajaran sastra kanon tanah air maka apakah kini “Memoar Alang-alang” yang lolos seleksi DKJ itu akan menjadi salah
satu calon sastra kanon Indonesia—yang tentu sangat diidam-idamkan Darman
Moenir? Jawabannya tidak bisa ditentukan, sama seperti ES Ito dan A. Fuadi yang
bukan produk kanonisasi sastra DKJ—sehingga dua nama anak Sumatra Barat itu tak
terlalu terperhatikan Darman Moenir.
Masih Pentingkah Kanonisasi Sastra?
Sebelum pertanyaan
itu terjawab, mari kita membahas seperti apa distribusi sastra di negeri ini.
Gramedia dan kelompoknya, selaku pemegang otonomi perbukuan tanah air, tentu
memiliki cara pandangnya sendiri mengenai itu. Lihatlah bagaimana rak “sastra” yang
tersuruk dibedakan dengan rak “novel” yang dibiarkan lega. Sejak kapan sastra
dan novel menjadi dua hal yang berbeda? Jika rak sastra itu berisi karya-karya
kanon sastra Indonesia maka siapakah yang hendak membaca karya tersebut? Bahkan
betapa menyedihkannya Gramedia Kota Padang yang tak terlalu memberikan ruang
kepada rak “sastra” itu sendiri. Lalu ada berapa toko bukukah yang beredar di Sumatra
Barat yang memberikan ruang bebas kepada kesusasteraan? Ada berapa penerbitan
bermutukah di Sumatra Barat ini yang mampu menampung keresahan anak-anak muda Sumatra
Barat sehingga mereka tak lagi mengirimkan naskah mereka ke penerbit-penerbit
yang ada di Jawa? Seluar biasa apakah dunia pendidikan Sumatra Barat
memperlakukan sastra dalam ranah akademik dari sekolah paling dasar hingga ke
perguruan tinggi? Apa pula peran lembaga kebudayaan Sumatra Barat untuk
menaikkan kesusasteraan ini?
Banyak pertanyaan yang
tentu tak bisa dijawab di tulisan ini. Namun nostalgia penuh asa seperti yang
dilantunkan Darman Moenir tentu bisa menjadi satu perdebatan panjang jika
diteruskan. Alih-alih membahas kebangkitan penulis Sumatra Barat dan standar
mutu karya, kita kemudian hanya terjebak dalam pelanggengan arogansi sastra
kanon itu sendiri. Kanonisasi sastra yang muncul melalui lembaga akademik,
lembaga kebudayaan, distributor sastra dan sastrawan itu sendiri tentu tak
terlepas dari dua hal; iklim kepenulisan dan iklim kepembacaan yang terjadi di
negeri ini. Ada semangat jaman yang berbeda, tentu saja.
Jika di zaman Matu
Mona karya sastra dipakai sebagai bagian penyadaran masyarakat akan praktik
kolonialisme, maka di jaman ini karya sastra adalah produk dari satu moda produksi
besar yang terseleksi dan terdistribusi secara masif. Masyarakat pembaca
ditetapkan oleh label yang terletak di cover
depan setiap produk sastra. Sayangnya, karya yang dicap kanon seringkali
menjadi karya yang kemudian tak terbeli. Teronggok di gudang kemudian di akhir
tahun diobral lebih dari separuh harga aslinya. Beginilah kondisi sastra di
negeri ini. Kanon bukan jaminan untuk menjadi best-seller—sesuatu yang tentunya sangat diidamkan oleh penerbit.
Jika sudah begini, untuk apa arogansi itu? Siapa pula yang akan membaca “Bako” selain si penulisnya sendiri?
Harian Haluan,
Minggu, 30 Januari 2011