OLEH Yusriwal
Minangkabau merupakan suku bangsa yang unik
karena sampai saat ini masyarakatnya masih menganut sistem kekerabatan
matrilineal. Di Nusantara ini, Minangkabau memang bukan satu-satunya suku
bangsa yang menganut sistem ini, namun yang membedakan dengan suku bangsa yang
menganut sistem matrilineal lainnya adalah pada kekhasan sistemnya:
keseimbangan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan.
Walaupun sistem matrilineal tersebut dapat diselaraskan dengan
Islam yang patrilineal, akan tetapi bukannya tidak menimbulkan dampak. Hal itu
terlihat pada beberapa kecenderungan psikologis orang Minangkabau.
Pertama, kecenderungan untuk
beristri lebih dari satu. Hal itu adalah salah satu kebanggaan orang
Minangkabau, seorang istri pun akan merasa bangga jika suami diingini oleh
wanita lain. Mamangan Minangkabau menyatakan lapuak dek baju salai. Artinya
jangan puas dengan seorang istri. Mamang di atas juga menyiratkan bahwa bagi
orang Minangkabau istri dianggap sama dengan pakaian (baju).
Kedua, laki-laki
Minangkabau cenderung memilih istri yang mempunyai sifat dan tingkah laku yang
mirip dengan ibunya (wawancara dengan Motinggo Busye dalam Jurnal KABA, No 6, 20 November-Desember 1995).
Ketiga, kecenderungan
laki-laki Minangkabau yang takut terhadap istrinya. Ketakutan tersebut seperti
rasa takut soerang anak kepada ibunya.
Ketiga kecenderungan di atas dapat diidentifikasi sebagai gejala
oedipus kompleks, suatu gejala kejiwaan yang mengakibatkan laki-laki mempunyai
kecenderungan untuk mengawini ibunya dan perempuan mengawini ayahnya. Hasrat
untuk mengawini ibu bagi laki-laki Minangkabau tidak akan pernah terjadi
seperti dalam legenda Sangkuriang atau trilogi Antigon karya Sophocles, karena
selalu dibatasi oleh ajaran Islam yang mereka anut.
Pembatasan agama itulah yang menyebabkan kecenderungan psikilogis
itu hanya termanifestasi lewat ketiga gejala di atas. Selain itu, gejala
oedipus kompleks itu disebabkan oleh sistem budaya, bukan libido seksual
seperti yang dikemukakan Freud dalam memperkenalkan psikoanalisa.
Individu dalam Sistem Matrilineal Minangkabau
Dalam sistem kekerabatan Minangkabau yang matrilineal, seseorang
termasuk keluarga ibunya, bukan keluarga ayahnya. Seorang ayah berada di luar
keluarga anak dan istrinya. Seorang suami dalam keluarga Minangkabau dianggap
keluarga lain dari keluarga istri dan anaknya. Sama halnya dengan seorang anak
dari seorang laki-laki akan dianggap keluarga lain dari pihak keluarga ayahnya.
Karena itu, seorang laki-laki setelah menikah, hanya menumpang tinggal di rumah
istrinya. Dia hanya berkunjung pada waktu malam saja. Sepanjang siang, dia
bekerja dan mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan keluarga matrilinealnya.
Oleh sebab itu, rumah gadang hanya ditempati oleh perempuan, anak
laki-laki yang masih balita, dan suami pada waktu malam. Laki-laki yang belum
beristri dari laki-laki tua yang tidak beristri akan tinggal di surau. Mereka
hanya akan ke rumah gadang pada waktu makan dan mengambil pakaian. Laki-laki
tua hanya akan ke rumah jika ada persoalan dalam keluarga yang meminta campur
tangannya, sedangkan makannya akan diantar ke surau.
Kehidupan laki-laki Minangkabau berawal dari surau dan berakhir
pula di sana. Sejak umur lima tahun anak laki-laki sudah mulai mengaji dan
tidur di surau. Pengertian mengaji di sini tidak hanya belajar membaca Alquran
tetapi juga belajar budi pekerti, adat, dan pencak silat. Guru mereka adalah
laki-laki tua yang tinggal di surau karena tidak beristri. Biasanya, guru
tersebut masih mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat dengan anak-anak yang
diajarnya: biasanya mamak atau mamak dari ibu mereka yang dipanggil datuak atau
inyiak.
Meningkat remaja, walaupun tidak mengaji lagi, mereka tetap tidur
di surau karena kakak perempuan mereka telah bersuami, umpamanya. Merupakan aib
bagi laki-laki Minangkabau tidur seatap dengan sumando (suami dari saudara
perempuan). Jika ini
terjadi, mereka akan diolok-olok oleh teman-teman mereka
dan menjadi topik pergunjingan bagi orang sekampung.
Karena tidak lagi mengaji, sebelum berangkat ke surau anak
laki-laki akan berkumpul sesama besar atau bergabung dengan angkatan yang lebih
tua yang biasa duduk di lapau (warung tempat minum). Pergaulan di lapau secara
tidak langsung juga memberikan pelajaran kepada mereka: mereka dapat mengamati
bagaimana orang di lapau mengemukakan dan mempertahankan pendapat, serta yang
paling penting adalah belajar “bersilat lidah”.
Akibat kerinduan terhadap figur ibu, laki-laki Minangkabau
akan mencari figur ibu pada setiap wanita yang ditemuinya, mungkin kekasih atau
istri. Kekasih atau istri tetap bertindak
sesuai dengan perannya, akibatnya kerinduan laki-laki terhadap figur ibu juga tidak
terpuaskan. Wanita seperti itu akan ditinggalkan oleh laki-laki Minangkabau dan mereka akan mencari wanita lain sampai
figur ibu tersebut dijumpainya. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika ada
laki-laki Minangkabau yang beristri lebih dari
satu.
Ketika masa remaja berakhir dan anak laki-laki Minangkabau mulai
menginjak masa dewasa, mereka pergi merantau meninggalkan Minangkabau,
sekurangnya pergi dari kampung. Merantau menyebabkan mereka terlepas sama
sekali dari kehidupan keluarga dan kampung. Bagi masyarakat Minagkabau,
merantau merupakan suatu "kewajiban", seperti terungkap dalam mamang
berikut:
Karatau madang di hulu
Babuah babungo balun
Marantau bujang dahulu
Di kampuang baguno balun
Maksud mamang di atas adalah menyuruh pemuda Minangkabau pergi
merantau karena belum mampu memberikan sumbangan yang berarti bagi keluarga dan
kampungnya. Dengan kata lain mereka belum punya arti bagi keluarga dan kampung
bila belum merantau.
Ukuran kedewasaan seseorang ditentukan oleh menikah atau belum.
Seorang laki-Iaki biasanya menikah-hampir selalu dengan wanita
sekampung-setelah pulang dari rantau. Pada saat menikah pulalah seorang
laki-laki Minangkabau diberi gelar, misalnya Sutan Bandaro, Sutan Sati, Kari
Marajo, dan lain sebagainya. Pemberian gelar tersebut berkaitan dengan
kedewasaan tadi karena ada ungkapan ketek banamo, gadang bagala atau ketek
disabuik namo, gadang diimbau gala. Artinya, seorang laki-Iaki belum
dianggap dewasa jika belum mempunyai gelar (gala).
Dampak Psikologis
Keadaan di atas menimbulkan dampak psikologis terhadap anak Minangkabau,
baik-laki-laki maupun perempuan. Bagi anak laki-laki yang hampir seluruh
hidupnya dihabiskan di luar rumah, mereka tidak sempat mengenal ayah dan ibu
dalam arti yang sesungguhnya. Mereka kehilangan figur ayah dan ibu. Namun,
karena laki-laki tidur di surau, besar di lapau, dan pergi merantau, kerinduan
terhadap figur ayah mungkin dapat terpenuhi dalam pergaulan sehar-hari. Hal itu
dimungkinkan karena mereka mendapatkan dari kakak-kakak dan mamak yang
sama-sama tidur di surau. Kerinduan terhadap figur ibu tetap tidak terpenuhi.
Akibat keriduan terhadap figur ibu, laki-laki Minangkabau akan
mencari figur ibu pada setiap wanita yang ditemuinya, mungkin kekasih atau
istri. Kekasih atau istri tetap bertindak sesuai dengan perannya, akibatnya
kerinduan laki-laki terhadap figur ibu juga tidak terpuaskan. Wanita seperti
itu akan ditinggalkan oleh laki-laki Minangkabau dan mereka akan mencari wanita
lain sampai figur ibu tersebut dijumpainya. Oleh sebab itu, tidaklah
mengherankan jika ada laki-laki Minangkabau yang beristri lebih dari satu.
Pada kasus di atas, wanita yang tidak dapat memberikan kepuasan
terhadap laki-laki yang mencari figur ibu, kesalahan tidak sepenuhnya pada
pihak wanita. Selain sulit untuk berperan sebagai ibu, pada saat yang sama
wanita Minangkabau juga mencari figur ayah pada laki-laki yang mereka temui.
Wanita Minangkabau juga mencari figur ayah karena tidak mengenal ayah dalam
pengertian yang sebenarnya. Seorang ayah hanya datang pada malam hari saat anak
wanita sudah tidur dan sebelum mereka bangun sang ayah sudah tidak ada karena
sudah pergi ke keluarga matrilinealnya. Wanita Minangkabau juga sering kecewa
pada suami yang tidak mampu menghadirkan sosok seorang ayah bagi dirinya.
Dampak seperti di atas secara umum lebih banyak berpengaruh
terhadap laki-laki. Hal itu mungkin disebabkan seorang wanita dapat menemukan
figur ayah dalam dalam diri mamak atau anak laki-lakinya, sementara laki-laki
tidak dapat berbuat hal yang sama terhadap anak perempuannya.
Selain anak termasuk keluarga ibunya, adat Minangkabau memberikan
keluwesan kepada ibu untuk dekat dengan anak-anaknya yang tidak dimiliki oleh
seorang ayah. Bagi seorang ayah, selain anak berada di luar keluarganya, adat
Minangkabau tidak memberikan ruang seorang ayah untuk lebih dekat dengan anak
perempuannya.
Situasi di atas membuat kebanyakan wanita Minangkabau menyadari
perannya yang pada akhirnya dapat bertindak sebagai “ibu” bagi suaminya. Jika
laki-laki pencari “ibu” bertemu dengan wanita seperti itu, mereka akan
menghentikan pencarian. Celakanya, bukannya persoalan menjadi selesai,
melainkan muncul gejala psikologis yang lain. Suami, karena menganggap istri
sebagai perwujudan figur ibunya, mereka cenderung takut istri.
Rasa takut tersebut bukan disebabkan karena merasa rendah diri
atau takut ditinggalkan, tetapi ketakutan seorang anak yang kedapatan melakukan
kesalahan di depan ibunya. Sebagai contoh, misalnya seorang penderita jantung
kronis yang tidak boleh minum kopi, jika istrinya tidak di rumah mau diajak
minum kopi sambil ngobrol sampai pagi.
Kecenderungan tingkah laku orang Minangkabau yang diakibatkan oleh
oleh sistem kekerabatan matrilineal tersebut dapat diidentifikasi sebagai
gejala oedipus kompleks. Pada gejala di atas, tidak ditemukan adanya
kecemburuan anak laki-laki pada ayah atau kecemburuan anak perempuan kepada
ibu, seperti yang diungkapkan Freud. Perbedaan tersebut dapat terjadi karena
penyebab yang tidak sama pula. Pada Freud penyebabnya adalah libido seksual,
sedangkan pada masyarakat Minangkabau disebabkan oleh sistem kekerabatan.*
Sumber: Harian Padang Ekspres, Sabtu, 26 Mei 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar