Semua Pihak Harus Introspeksi
Akhir September 2011
lalu,
mungkin terasa sangat berat bagi warga Minang, terutama yang berada di ranah
ini. Ada noktah yang merusak, dan itu dinilai sangat memalukan. Rentetan
peristiwa maksiat mengguncang Ranah Minang. Di satu sisi, warga Sumatera Barat juga
mengenang dua tahun gempa dahsyat, 30 September 2011.
Mengapa tidak? Filosofi
adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah yang menjadi perdoman masyarakat
Minang selama ini, seperti mendapat ujian berat. Dipengujung bulan itu, paling
tidak ada tiga peristiwa yang membuat kaget semua orang yang berhasil diekspos
media cetak.
Pertama berita dua penari telanjang yang digerebek petugas Satpol PP Kota Padang di Fellas Cafe di Jalan Hayam Wuruk Padang pada Senin 26 September 2011 malam. Kedua, pada Kamis tengah malam 29 September 2011 Satpol PP Kota Solok bersama POM TNI dan Provost Polresta Solok juga menangkap delapan janda dan ibu rumah tangga sama-sama bertelanjang dengan tiga lelaki pekerja tambang dari Dharmasraya di Wisma Melati, Jalan Jenderal Sudirman Kota Solok. Kecuali seorang dari Lampung, tujuh wanita itu juga pribumi Sumatera Barat.
Pertama berita dua penari telanjang yang digerebek petugas Satpol PP Kota Padang di Fellas Cafe di Jalan Hayam Wuruk Padang pada Senin 26 September 2011 malam. Kedua, pada Kamis tengah malam 29 September 2011 Satpol PP Kota Solok bersama POM TNI dan Provost Polresta Solok juga menangkap delapan janda dan ibu rumah tangga sama-sama bertelanjang dengan tiga lelaki pekerja tambang dari Dharmasraya di Wisma Melati, Jalan Jenderal Sudirman Kota Solok. Kecuali seorang dari Lampung, tujuh wanita itu juga pribumi Sumatera Barat.
Satuan Polisi Pamong
Praja (Satpol PP) Kota Padang, Senin malam (27/9/2011) mengamankan dua orang
wanita. Keduanya berprofesi sebagai penari striptis di salah satu tempat
hiburan malam, yakni Cafe Fellas di Jalan Hayam Wuruk. Mereka diamankan sekitar
pukul 22.15 WIB.
Kedua penari tersebut
yakni, Silvi (21) asal Batusangkar dan Novera (21) asal Bukittinggi. Mereka ini
tinggal di Kota Padang di Tanah Broyo, Kecamatan Padang Barat. Kemudian di antara
mereka ternyata sudah menyandang status janda tiga tahun, yaitu Novera.
Kasat Pol PP Kota Padang
Yadrison mengatakan, dalam razia tempat hiburan malam itu petugas berhasil
mengamankan dua penari striptis di ruangan karaoke Fellas. Mereka tertangkap
tangan, saat menari tanpa mengenakan sehelai baju pun di depan tiga tamu
laki-laki.
Dijelaskan, pihaknya
sudah mengamati dan menyelidiki beberapa tempat karaoke di Kota Padang, yang
menyediakan penari striptis. Makanya akhir-akhir ini, petugas menyelidikinya,
dan pihaknya pun sudah banyak mendapatkan laporan adanya indikasi penari
striptis di cafe.
Kemudian petugas
menemukan salah satu cefe di Jalan Hayam Wuruk, yakni di Fellas. Berdasarkan
informasi yang telah dikumpulkan, petugas Satpol PP Padang bergerak ke lokasi
tersebut.
“Di sana kami langsung
menemukan dua wanita, dalam keadaan bugil tengah menari dihadapan tamu pria,
sementara tamu tersebut berhasil melarikan diri dari kepungan petugas,” kata
Yadrison.
Dengan terungkapnya
kegitan di cafe tersebut, pihaknya berjanji akan lebih mengitensifkan melakukan
razia tempat hiburan malam. “Kita akan intensifkan razia dan bagi kedua penari
yang tertangkap malam ini akan kita tunggu pihak keluarga. Sedangkan untuk cafe
akan kita serahkan pada KP2T yang membidangi perizinan, untuk diminta segera
dicabut izinya,” ungkapnya.
Sementara pengakuan
Silvia di ruang penyidik Pol PP Padang, dia sudah bekerja sebagai penari
striptis ini selama tujuh bulan di Kota Padang, yaitu di cafe Fellas dan Happy
Family.
Dijelaskannya, setiap
kali melakukan atraksi menari telanjang tersebut, dia mengaku mendapat bayaran
dari tamunya sebesar Rp500 ribu hingga Rp1 juta.
Hal senada juga diakui
Novera yang baru terjun dua bulan dan sudah berpisah dengan suaminya ini
menyebutkan, jika tamu langsung menghubungi dirinya maka tidak ada persenan
bagi pemilik cafe. Tapi jika yang menyediakan pihak cafe, maka dirinya harus
memberikan tips sebesar Rp50 ribu setiap satu jamnya.
Izin
Cafe Fellas Ditutup
Di tempat terpisah,
Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KP2T) Kota Padang Muji Susilawati
mengatakan, semua tempat hiburan malam yang terbukti menyediakan wanita
penghibur, ataupun penari striptis dan menyalahi Surat Izin Tempat Usaha (SITU)
yang sudah diterbitkan KP2T.
“Hari ini kami akan
menyelesaikan surat-surat penutupan terhadap Cafe Fellas, yang telah
menyediakan penari striptis, dimana selanjutnya tidak akan akan ada lagi izin
bagi tempat tersebut,” kata Muji.
Dijelaskannya,
berdasarkan data yang ada di KP2T Padang, yakni Cafe Fellas mengurus izin untuk
tiga tahun. Di mana berlaku sejak 2008 hingga akhir 2011, namun sebelum pihak
cafe memperpanjang izinya. Justru yang terungkap tempat itu praktek striptis.
Untuk itu, cafe bersangkutan tidak diizinkan diperpanjang.
“Belajar dari kejadian
tersebut, kita akan memperketat pemberian izin tempat hiburan malam di kota
ini, namun kita juga berharap Satpol PP sebagai penegak perda untuk selalu
rutin melakukan razia, agar kita juga bisa memberikan surat penutupan bagi setiap
tempat hiburan malam yang melanggar aturan, karena untuk pencabutan SITU harus
ada bukti,” ungkap Muji.
Dunia
Pendidikan Tercoreng
Selanjutnya, dunia
pendidikan juga tercoreng malu karena beredarnya vedeo mesum siswa SMA 8 Padang
dan seorang siswa SMK. Siswi berusia 18 tahun itu Rabu 21 September lalu
dikeluarkan dari sekolahnya dan siswa SMK itu diproses secara hukum oleh
kepolisian.
Menurut Hawari Siddik,
tokoh masyarakat dan juga mantan Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Sumatera
Barat, satu hal tak terbantahkan: Minangkabau hanya merupakan konsumsi seminar,
diskusi, omongan, retorika atau ota
semata. “Saya tidak melihat satupun lembaga yang benar-benar menaruh perhatian
terhadap Minangkabau, juga tidak LKAAM,” kata Hawari Siddik kepada Nasrul Azwar,
Kamis, (6/10/2011).
Dijelaskannya, kondisi
demikian tak sulit dipahami. Minangkabau sebagai sebuah konsep tatanan budaya,
sejak dulunya, tidak memiliki otoritas dan legalitas untuk mengatur dirinya
sendiri.
“Saya lihat, tuntutan
meminangkabau telah memudarkan konsep "adat salingka nagari".
Artinya, nagari sebagai basis Minangkabau, kehilangan fungsinya. Berbagai
dialog dan kebijakan pemda yang berkaitan dengan Minangkabau ternyata tidak
membuat keadaan sebagai yang diharapkan,” terang putra Kurai ini.
Maka apa yang hari ini
terjadi, striptis, video porno pelajar atau yang semacam itu adalah realitas
sosial yang terperkirakan, seyogyanya tidak usah dikaitkan dengan budaya lokal.
“Kita, termasuk pemda, sudah cukup lama tak lagi peduli atau paham tentang itu.
Namun bila keadaan seperti ini dibiarkan berlanjut, saya tidak kaget bila hal
yang lebih pahit akan terjadi.”
Sangat diragukan apakah
Pemda Sumbar telah menempatkan kultur Minangkabau sebagai basis kebijakannya.
Lihat saja misalnya, pelaksanaan Pekan Budaya, yang dulunya merupakan kerja
serius pemda bersama budayawan, selalu diitunggu-tunggu masyarakat, kini tak
lebih dari sebuah pasar malam, yang notabene gagal pula.
“Maka, tentang striptis
dan perilaku asusila lainnya di daerah ini, janganlah dikait-kaitkan dengan
budaya dan adat Minangkabau. Semua perilaku buruk "modernisasi" harus
menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Jangan dilempar kepada lembaga tradisi
yang justru terpinggirkan oleh berbagai kebijakan pemda,” tegasnya.
Tidak ada kata lain,
berkembangnya perilaku maksiat, asusila atau apapun namanya di daerah ini, itu
adalah gambaran kegagalan negara (baca pemerintah daerah) yang memiliki hak,
kewenangan, kewajiban dan tanggungjawab untuk mengatur. Namun gagal
mengaturnya.
“Beban masyarakat sudah
terlalu berat. Janga ditambah lagi dengan mengurus urusan yang telah menjadi
tanggungjawab negara. Kalau striptis itu kriminal, hukumlah sesuai
undang-undang,” ucap Hawari Siddik.
Tamparan
Keras
Bagi Gubernur Sumatera
Barat, peristiwa itu menjadi pelajaran berharga sekaligus tamparan bagi semua
masyarakat Minang.
“Peristiwa itu memang
tamparan bagi tamparan bagi masyarakat Sumbar. Karena itu, seluruh institusi,
baik pemerintah maupun kemasyarakatan, hendaknya mengintrospeksi diri. Program
keagamaan dan kegiatan sosial kemasyarakatan jangan sekadar digembar-gemborkan.
Tetapi harus mampu memperlihatkan hasil nyata, out put dari program tersebut,” kata Irwan Prayitno, Gubernur Sumatera
Barat kepada Devi Diani, Jumat (7/10/2011).
Menurutnya, masyarakat
daerah ini sudah memiliki falsalah hidup yaitu adat basandi syarak, syarak basandi
Kitabullah (ABS SBK) yang telah menyatu dengan karakter masyarakatnya. Hanya
saja yang menjadi masalah adalah pelaksanaan dan pengamalannya.
“Karena tidak semua orang
menerapkannya, terutama anak kemenakan yang menetap dan dibesarkan di
perantauan atau kota besar lainnya,” terang Gubernur yang juga seorang ninik mamak
ini.
Sesuai hukumnya,
penyimpangan itu akan selalu ada walau persentasenya sangat kecil. Seperti
dalam sebuah kelas, seorang guru memberikan materi pelajaran yang sama, dengan
waktu yang sama pula, tetapi ketika dilaksanakan ujian maka hasilnya tidak akan
memuaskan semuanya. Sebab di antara anak-anak itu ada yang tidak mampu menjawab
pertanyaan.
“Ditemukannya penari
telanjang itu merupakan penyimpangan. Dan setelah ditelusuri, ternyata memang
pelaku tidak dibesarkan dan tidak mengenyam pendidikan di kampung halamannya.
Artinya pendidikan keagamaan maupun pengetahuan tentang adat istiadat kampungnya
tidak lagi melekat dalam jiwanya,” jelasnya.
Falsafah ABSSBK sudah
sesuai dengan karakter masyarakat. Hanya saja, sesuai hukum alam maka
penyimpangan itu akan selalu ada. Pelaku yang berasal dari Tanah Datar itu
ternyata tidak pernah bersekolah di daerah itu dan mereka dibesarkan di Batam, tambahnya.
Dan bagi aparat penegak
hukum, Irwan menilai, mereka kecolongan. Pengawasan dari institusi ini sangat
lemah, tidak mampu mengendus adanya aroma asusila yang sangat meresahkan
masyarakat ini. Intel kepolisian seharusnya mampu bekerja lebih prima lagi dan
meningkatkan kinerjanya.
“Dalam kasus ini, aparat kepolisian telah kecolongan.
Pengawasan institusi ini sangat lemah, sehingga tak mampu mencium adanya aktivitas
pornografi di Kota Padang,” katanya.
Sementara lembaga ninik
mamak, pengulu dan datuak-datuak dalam membimbing akan kemenakannya, sudah
memainkan perannya dengan baik menjaga dan membimbing anak kemenakannya. Apalagi
ninik mamak yang tinggal dan menetap di kampung, sangat ketat terhadap menjagai
tingkah anak kemenakannya yang akan mencoreng nama baik keluarga besarnya.
Namun diakuinya, para
ninik mamak ini tak kan mampu menjangkau anak kemenakannya yang telah merantau.
Ditambah pula tidak terjalinnya komunikasi yang harmonis antara orang di
kampung dengan kerabat yang merantau. Banyak sebabnya, salah satu adalah
masalah ekonomi.
Mereka yang sukses di
rantau, biasanya komunikasi dengan kerabat di kampung cukup lancar. Berbeda
dengan mereka yang kurang beruntung. Biasanya mereka sibuk dengan perasaiannya
sehingga keberadaannya tak diketahui lagi, bagai hilang ditelan bumi.
Begitu pula lembaga
pendidikan formal. Menurut Irwan, materi pendidikan di bidang keagamaan dan
moral sudah cukup. Tetapi memang kualitas guru yang mengajar harus
ditingkatkan. Guru harus bisa menjadi contoh dan model bagi siswanya, baik soal
kepintarannya maupun perilakunya. Jadi guru tak sebatas untuk mengajar saja,
tetapi juga membentuk karakter anak didiknya menjadi anak didik yang Islami.
Dan yang tak kalah
pentingnya yang turut mempengaruhi praktek asusila ini adalah kemajuan
teknologi yang tak terbendung. Setiap orang saat ini dapat larut dalam dunia
maya, mengakses berbagai situs. Tetapi bila pemanfaatan teknologi informasi itu
sesuai dengan tujuannya maka tentunya ilmu yang akan diperoleh.
“Kita tidak bisa
membatasi perkembangan teknologi informasi ini. Setiap anak bahkan yang masih
kelas II SD saja, kini sudah mengenal internet. Tinggal peran orang tua dengan
bimbingan keagamaan yang cukup sebagai bentengnya. Sehingga kemajuan teknologi
itu bermanfaat bagi sang anak,” katanya.
Sebaliknya, jika dunia
maya itu digunakan untuk maksud tertentu lain yang tidak produktif, seperti
mengakses situs porno, maka kebejatan dan kemungkaran yang akan terjadi. (Laporan Devi
Diani, Nasrul Azwar)
Laporan terkait baca juga:
Wawancara dengan Darman Moenir, Free Hearty, Saafroedin Bahar, Raudha Thaib,
dan Yulizal Yunus