OLEH Anas Nafis
Makam Datuak Parpatiah Nan Sabatang |
“Itu Siti
Manggopoh” ujar Wahdi. Saya mengangguk-angguk sembari mengayuh sepeda
melanjutkan perjalanan.
Kembali dari
Lubuk Basung saya singgah di pondok tersebut bersama Sersan Mayor Mukhtar BODM
Pakandangan. Sedangkan Wahdi telah lebih dulu kembali ke Gasan Gadang. Ketika
itu kami berbicara keras-keras dengan Ibu Siti, karena pendengaran beliau sudah
mundur. Itu cerita
tahun 1959.
Batu Nisan Siti Manggopoh
Pertengahan bulan Maret 1990 saya berkeliling Sumatera Barat selama sepuluh
hari. Maksud berkeliling itu ialah hendak melihat dan merekam berbagai objek
sejarah maupun wisata, seperti rumah gadang, mesjid tua, makam-makam tua dan
lain-lain sebagainya.
Ketika
melewati desa Gasan Kaciak, saya teringat Ibu Siti yang pada tahun 1959 dulu
sedang duduk santai di pelupuh pondoknya. Ingatan mana
menimbulkan
rasa ingin tahu saya berkunjung ke makam para syuhada Perang Manggopoh pada
tahun 1908 di halaman mesjid kawasan itu.
Ketika
sedang melihat-lihat batu nisan para syuhada di komplek pemakaman tersebut,
saya terheran-heran melihat sebuah nisan dengan nama SITTI. Nisan itu saya
jepret.
Setahu saya
Ibu Sitti meninggal bulan Agustus 1965 di desa Gasan Gadang dalam usia lebih 80
tahun dan dimakamkan dengan upacara militer di Taman Makam Pahlawan Kusuma
Negara Lolong Padang. Rasanya tidak mungkin makam Srikandi Manggopoh itu
dipindahkan dari Lolong kemari, yaitu ke Manggopoh. Juga mustahil ada dua orang
srikandi yang bernama Sitti Manggopoh.
Setelah dua
hari berkeliling ke berbagai kawasan, menjelang senja sampailah kami di daerah
Solok. Di kota Solok ini saya melihat sebuah patung pahlawan yang terletak di
tengah pertigaan jalan. Patung itu menggambarkan seorang pejuang 1945 memegang
bambu runcing yang diacungkan ke depan. Di ujung bambu runcing itu digantungkan
pula sebuah lampu penerangan jalan.
“Kok lampu
digantungkan di situ” kata saya pada sopir. Kami berhenti sejenak dan patung
itu saya jepret.”
Datuk Parpatiah Nan Sabatang
Sampai di
Nagari Selayo, Kabupaten Solok, yang pertama-tama saya cari ialah kepala
desanya. Dengan menyodorkan surat sdr. Soewardi Idris, segeralah kami menjadi
akrab. Ternyata Pak Kades ini seorang calon pemangku adat bernama Fajri Hamzah
gelar Datuk Rajo Sampono.
Dengan tidak
mengenal lelah ia membantu kami ke berbagai nagari di kawasan itu seperti
Talang, Koto Anau, Muaro Paneh, Sumani, Saningbaka, Panyinggahan dan lain-lain.
Dua hari lamanya kami di daerah tersebut. Pada hari kedua Datuk Rajo Sampono
menawarkan pergi melihat makam Datuk Perpatih Nan Sabatang, tokoh legendaris
Adat Minangkabau.
“Hah… Datuk
Perpatih Nan Sabatang?” kata saya heran sembari mengerinyikkan kening. Lalu
saya teringat pada sebuah makam lain yang pernah saya kunjungi ketika membuat
sinetron TVRI pada tahun 1980 di desa Magek Agam yang juga bergelar Datuk
Perpatih Nan Sabatang. Beliau ini gugur ketika terjadi perlawaan rakyat di
kawasan itu pada tahun 1908 gara-gara pemerintah Belanda menjalankan belasting.
Datuk ini sangat berani. Dalam perang tahun 1908 itu ia menikam mati Tuanku
Laras Raden Mas Warido dan melukai dua marsose Belanda. Raden Mas Warido adalah
kakek Pak Eni Karim mantan Menteri Pertanian.
“Datuk
Perpatih yang mana?” tanya saya bergurau.
“Kata orang
tua-tua kami, Datuk itu meninggal di Selayo ini dan dimakamkan di sini. Itu, di
bukit tak jauh dari sini, bisa masuk mobil” kata Pak Kades meyakinkan kami.
Karena
merasa didesak dan menenggang ia telah berpayah-payah pula menemani, kami pergi
juga.
Selagi
mengobrol dalam mobil, Pak Datuk menunjuk ke arah sebatang pohon di seberang
jalan di hadapan kami.
“Pohon itu
berasal dari tongkat Datuk Perpatih. Itu tuh yang di tepi bandar. Pohon “Jao” namanya.
Dulu pohon itu tumbuh di sebelah kemari bandar, lalu mati. Tahu-tahu tumbuh
kembali di seberang bandar sebelah situ”.
Belum lagi
sempat mengamati pohon tersebut dengan cermat, sudah diberondong lagi dengan
mengatakan:
“Di munggu
itu, di situ dikatakan dikuburkan jenazah Datuk Perpatih. Lalu tatkala orang
Batu Sangkar datang hendak mengambil jasat almarhum, ternyata isi kubur itu
batang pisang. Pulanglah mereka kembali ke Tanah Datar dengan tangan hampa.
Padahal jenazah beliau disembunyikan orang Selayo dan dimakamkan di bukit itu”
katanya lagi sambil menunjuk pula ke satu arah.
Tak lama
kemudian kami tiba di kaki sebuah bukit kecil seperti yang dikatakan tadi.
Setelah mendaki sesaat, sampailah kami di sebuah komplek pemakaman. Selagi
berkeliling melihat-lihat, Pak Kades meminta agar makam-makam itu difoto. Maka
saya jepretlah makam-makam tersebut. Ternyata
makam itu
sudah dipermak seperti kuburan Islam biasa. Sudah ditembok, tetapi batu
nisannya batu alam besar-besar yang tersembul di tanah dan tingginya sekitar 75 sentimeter. Pada batu
nisan itu tidak ada tanda-tanda seperti tulisan, ukiran mau pun gambar.
“Sia nan manembok kuburan ko (Siapa yang menembok kuburan ini)?
“Dulu ada
orang kulit putih ke mari. Ia yang menyuruh agar makam-makam ini dipelihara dan
diberinya uang dua puluh ribu” kata Pak Kades.
Sewaktu
meninggalkan daerah Solok kembali ke Padang, saya berkata pada si Lisuik anak
Guguak Randah IV Koto yang jadi sopir kami:
“Ruok Pak Datuk tu nyo. Masak di siko kuburan Datuk Perpatih tu. Kalau bana
…., Datuk Perpatih na ka bara tu….” (Bualan
Pak Datuk saja itu. Mana mungkin di sini kuburan Datuk Perpatih itu. Jika benar
… . Datuk Perpatih yang ke berapa itu).
Si Lisuik
manggut-manggut mengiakan.
Tak lama
kemudian sampailah kami di daerah Ladang Padi. Lalu kami makan di sebuah
warung. Semenjak itu saya tidak pernah lagi memikirkan kuburan Datuk Perpatih
nan Sabatang yang diriwayatkan Pak Datuk Rajo Sampono Kepala Desa Selayo Atas.
Menghimpun
Manuskrip
Bulan Juni 1990 saya
mulai menghimpun naskah-naskah lama Minangkabau untuk dibuatkan mikrofilm di
Perpustakaan Nasional Jakarta. Satu per satu naskah itu saya lihat. Ada yang bertulisan Latin dan banyak pula yang
bertulisan Arab. Tentu saja waktu meneliti tersebut yang paling menarik dibaca
ialah yang bertulisan Latin, karena huruf itulah yang setiap hari kita
pergunakan. Ternyata tulisan Latin dalam naskah-naskah yang ditulis pertengahan
abad lalu itu, sulit pula dibaca. Barulah saya ingat, bahwa waktu itu belum ada
aturan cara menuliskan bahasa Minangkabau dengan huruf Latin. Bahasa dan
tulisan dalam beberapa naskah ada yang sangat dipengaruhi oleh “gaya” orang
Belanda atau serdadunya menuliskan bahasa Melayu.
Naskah yang
bertulisan Arab demikian pula, sering terdapat cara penulisan kata yang tidak
tetap. Jadi mesti mempunyai kiat tertentu dalam membacanya.
Ketika
membaca sebuah naskah bertulisan Latin, saya terperangah, karena di situ
disebutkan bahwa Datuk Parpatih Nan
Sabatang pindah ke Selayo dan wafat di nagari itu. Kontan saya teringat ruok
(bualan) sdr. Fajri Hamzah Datuk Rajo Sampono Kepala Desa Selayo Atas.
Pada halaman 60 naskah Undang-Undang Minangkabau kode MI. 717 tebal 141
halaman, tertulis:
“ … Sebab
orang poelou pertja ini Labi Pandjang di poenja Akal dari pada kita dan Dalam
Beberapa Hari di Balkang itoe dan Datoe Katoemangoengan Poen pindah di Kotta
Hanau dan Datoe Perpatih Sabatang Lagi pindah di Solok in Salaijo en Negrijen
Soemmanja Soeda ada Tjoepa Gantang en adat Limbaga toeroet toeladan dan tempo
Datoe Perpatih Sabatang Hampir matie di Panggil Sammanja Kapala Pangoeloe
mistie DiDanger Hambo poenja Pangejer adala Dalapan perkataan…………”.
(Sebab orang pulau Perca ini lebih panjang dia punya akal dari pada kita.
Dan dalam berapa hari di belakang itu dan Datuk Ketumanggungan pun pindah di
Koto Hanau dan Datuk Perpatih Nan Sabatang lagi pindah di Solok Selayo dan
negeri semuanya sudah ada cupak gantang dan adat lembaga turut teladan. Dan
tempo Datuk Perpatih hampir mati dipanggil semua kepala-kepala nagari dalam
Laras Chaniago. Kata Datuk Perpatih Nan Sabatang kepada Penghulu mesti didengar
hamba punya pengajaran adalah delapan perkataan).
Pada halaman terakhir (halaman 141) terdapat tulisan:
“Telah Soedah die Salin Boek ini die Tanah Solok Pada 4 arie dari Boelan
Djanuarij ijaar 1847. Saija ijang
menjalin Genaamd chatib Maharadjo Soetan”.
(Telah sudah
disalin buku ini di tanah Solok pada 4 hari dari bulan Januari tahun 1847. Saya
yang menyalin bernama Khatib Maharajo Sutan).
“Yaa...naskah
dari Solok … Terang saja orang Solok tahu cerita ini,”pikir saya.
Dalam naskah
Tambo Minangkabau kode MI. 489 yang tebal 117 halaman yang juga bertulisan
Latin, pada halaman 44 tertulis:
“Patsal pada menjatahkan
lama poela antaranja, adalah ampat lima tahoen, maka Datoe Katoemangoengan poen
poelang ka loehak Tanah Datar, Datoe Perpatih nan Sabatang poen poelang ka
Solok Silajo, berboeak roemah di bawah kajoe bodi di tepi ajer. Maka sekalian
isi nagari loehak nan tigo soedah manaroeh tjoepa’ gantang dan barkelakoean
tiap2
nagari pakajan jang madjelis sapaninggal Datoe’ Perpatih Sabatang ninik Datoe’
Perpatih Sabatang tinggal di Solok Silajo di tepi ajer adanja ………..”.
(Pasal pada
menyatakan lama pula antaranya, adalah empat lima tahun, maka Datuk
Ketumanggunan pun pulang Ke Luhak Tanah Datar. Datuk Perpatih Nan Sabatang pun
pulang ke Solok Selayo, berbuat rumah di bawah kayu bodi di tepi air. Maka
sekalian isi nagari Luhak Nan Tigo sudah menaruh cupak gantang dan berkelakuan
tiap-tiap nagari pakaian yang mejelis sepeninggal Datuk Perpatih Nan Sebatang
ninik Datuk Perpatih Sabatang tinggal di Solok di tepi air adanya …. ).
Pada halaman
48 dan 49 tertulis pula:
“Patsal pada manjatakan sebagai lagi oemanat
hamba, hai segala isi alam ikoetlah angkau beriman kepada Allah taala,
senantiasa tagak djalan lamah engkau mengerdjakan dia itoelah kasoedahan ilmoe
adat. Djika berat menanti ringan, djika sempit menanti lapang, sebab itoelah,
maka di toemboehkan poela pikiran lanakaranadjoe’ 1 kali bermoela pikiran
itoelah pelita hati. Adapoen pandang hati teroes katoedjoeh pitalo langit dan
toedjoeh pitalo boemi sebab itoelah nan lebih pada oerang ahli akal pada isi
alam atau pada isi nagari. Adapoen dalil sampit lapang toeroen peramalallah
taala dalam koeran (tulisan/bahasa Arab) selagi ada kamoe mampoenjai kasoekaran, maka
menanti oelihmoe kapada kamoerahan itoelah halnja jang mendjagakan kata ini.
Maka lama poela antaranja, maka mati ninik Perpatih Sabatang bertempat di Solok
Silajo. Itoelah pitaroehnja kepada Bodi Tjaniago selama-lamanja terpakai oleh
alam adanja …”
(Pasal pada
menyatakan sebagai lagi amanat hamba, hai segala isi alam ikutlah engkau
beriman kepada Allah Taala. Senantiasa tegak jalan lemah engkau mengerjakan dia
itulah kesudahan ilmu adat. Jika berat menjadi ringan, jika sempit menjadi
lapang, sebab itulah maka ditambahkan pula pikiran lanakaranaju’ 1 kali bermula
pikiran itulah pelita hati.
Adapun
pandang hati terus ketujuh petala langit dan tujuh petala bumi. Sebab itulah
yang lebih pada orang ahli akal pada isi alam atau pada isi negeri. Adapun
dalil sempit lapang turun paramllalah taala (Firman Allah) dalam Kuran
(tulisan/bahasa Arab) selagi ada kamu mempunyai kesukaran maka menanti olehmu
kepada kemurahan itulah halanya yang menjagakan kata ini. Maka lama pula
antaranya, maka mati ninik Perpatih Nan Sabatang bertempat di Solok Selayo,
itulah petaruh kepada Budi Chaniago selama-lamanya terpakai oleh alam adanya).
Kemudian
saya baca pula naskah Tambo Minangkabau nomor kode 436 yang tebalnya 55
halaman. Pada halaman 43 tertulis :
“… Setelah barapo lamo antara njo, mangko Dt.
Katoemangoengan barapindah ke Koto Hanau, dan Dt. Perpartih Sabatang,
barapindah ka Solok Salajau, mangko sagalo isi nagari samoehanjo Loehak nan
Tigo, soedah menoeroet tjoepak, Adat Limbago, betoel balako samoehanjo, tiap2 nagari
mangko bakato Dt. Parapatih Sabatang kapado tiap2 Panghoeloe pegangkan pitaroeh
hambo oelih sagalo jang babitjaro, akan sapatah, Paratamo kasih kapado nagari,
Kadoewa kasih kapado isi nagari, Katigo kasih kapado oerang kajo, Kaampek kasih
kapado oerang toewo, Kalimo kasih kapado oerang Malin, artinjo oerang bailmoe,
Kaanam kasih kapado oerang gadang, Katoedjoeh kasih kapado Panghoeloe jang
bana, Kasalapan kasih kapado oerang mampoenjoi bitjaro …”.
(Setelah
beberapa lama antaranya, maka Dt. Ketumanggungan pindah ke Kota Hanau, dan Datuk Perpatih Sebatang pindah ke Solok Salayau, maka segala isi nagari
semuanya Luhak Nan Tiga, sudah menurut cupak, adat lembaga, betul belaka
semuanya tiap-tiap nagari, maka berkata Dt. Perpatih Sebatang kepada tiap-tiap
penghulu, pegangkan petaruh hamba oleh segala yang berbicara, akan sepatah,
pertama kepada nagari, kedua kepada isi nagari, ketiga kasih kepada orang kaya,
kasih kepada orang tua, kelima kasih kepada orang
malin, artinya orang berilmu, keenam kasih kepada orang besar, ketujuh
kasih kepada penghulu yang benar, kedelapan kasih kepada orang mempunyai
bicara).
Pada halaman
48 tertulis:
“Dan ado kamoe mampoenjai kasoesahan, mangko
nanti oelihmoe pada kamoerahan, itoelah kato jang sabananjo, satalah barapolah
lamonjo, mangko barapoelang Dt. Perpatih Sabatang, Kaalarat Allah Taala,
batampat di nagari Solok Salajau, ninik Parapatih na Sabatang, mangko
tarasaboet parakataan Dt. Katoemangoengan tatakalo ijo hampi akan mati batanjo
sagalo Radjo2 dan sagalo Panghoeloe2 dan oerang basa2 kapado Dt. Itoe, mangko
sekalijan jang baratanjo itoe……………”
(Dan ada kamu mempunyai kesusahan, maka nanti olehmu pada kemurahan,
itulah kata yang sebenarnya. Setelah berapalah lamanya maka berpulang Dt.
Perpatih Sabatang ke alarat Allah Taala, bertempat di nagari Solok Salayau,
ninik Parpatih Nan sabatang. Maka tersebut perkataan Dt. Ketumanggungan tatkala
ia hampir akan mati, bertanya segala Raja-Raja dan segala Penghulu-Penghulu dan
orang besar-besar kepada Dt. Itu, maka sekalian yang bertanya itu ... ).
Tiga naskah
bertuliskan Latin sudah kita lihat. Ketiganya menyebutkan bahwa Datuk Perpatih
nan Sabatang pindah ke Selayo Solok dan wafat di kawasan itu.
Naskah
Undang-undang Minangkabau Nomor kode 717, jelas ditulis di Solok oleh Chatib Maharajo
Sutan pada tahun 1847. Datuk Perpatih nan Sabatang seperti diceritakan dalam
naskah itu, dapat saja kita tuding Datuk Perpatihnja “urang Solok”.
Naskah Tambo
Minangkabau Nomor Kode 489 tidak jelas berasal dari Luhak mana. Namun demikian
dalam naskah itu beberapa kali ditemukan kata “djan” seperti yang lajim dipakai
orang di berbagai kawasan di daerah itu. Mari kita simak kutipan naskah
tersebut seperti berikut ini:
“Pasal pada menjatakan,
pada koetika itoelah maka laloe anggang dari laoetan mendapat di goenoeng
Barapi akan dirinja hendak mentjari makanan. Maka di tembak oleh Datoe’ nan
bertiga ijalah Datoe’ Katoemanggoengan djan
Datoe’ Perpatih Sabatang serta Datoe’ Sari Maharadja. Naik selatoes
boeninja bedil terkedjoet banting dalam rimba menjembar ikan di laoetan,
berpesona haloean besar menjanak laloe kedaratan, marengeh koeda samboerani
badaring boeni gantonja kilat-goemilat pelananja, membebe kambing dalam rimba,
menjalak andjing dalam goea, mendangoes boeni harimau, maka terkedjoet moesoeh
semoenja, didalam boemi Allah tahoe semoenja nan dikoeliling goenoeng Berapi.
Maka segala Datoe’2 Maka orang besar2 dalam negari Priangan Padang Pandjang
poen heran pada koetika itoe beloem panah dilihat beloem panah di dengar
selamanja nagari batoenggoei. Maka anggang itoe djatoeh teloernja dan berkata
setengah biopari akalnja marika itoe didalam nagari.
Adapoen teloer bathinnja baik, dhahirnja kuda samboerani akan turun kanagari
Priangan Padang Pandjang kapada roemah Datoe’ Sari Maharadjo ijalah berpalano
amas sendirinja, gantonja amas sendirinja, kakangnja amas sendirinja tali
rantainja haloes soeaso sendirinja, ijalah nan mahirik anak dewa dari atas
goenoeng itoe……” (halaman 27).
(Pasal pada
menyatakan, pada ketika itulah maka lalu enggang dari lautan, menempat di
Gunung Marapi akan dirinya hendak mencari makanan. Maka ditembak oleh Datuk
yang bertiga, ialah Datuk Ketumanggungan jen (dengan) Datuk Perpatih Sebatang
serta Datuk Sari Maharajo.
Naik seletus
bunyi bedil, terkejut banting dalam rimba, menyambar ikan di lautan, berpesong (memutar) haluan besar, menyanak (mendesak) lalu ke daratan,
meringgis kuda sembrani, berdering bunyi gentanya, kilat gumilat pelananya,
mengembik kambing
dalam rimba,
menyalak anjing dalam gua, mendengus bunyi harimau, maka terkejut musuh
semuanya yang di keliling Gunung Marapi.
Maka segala
Datuk-Datuk, orang besar-besar dalam negeri Pariangan Padang Panjang pun heran
pada ketika itu. Belum pernah dilihat, belum pernah didengar, selamanya negeri
ditunggui.
Maka enggang
itu jatuh telurnya dan berkata setengah biaperi akalnya mereka itu di dalam
negeri.
Adapun telur bathinnya baik, dhahirnya
kuda sembrani akan turun ke negeri Pariangan Padang Panjang kepada rumah Datuk
Sari Maharajo. Ialah berpelana emas sendirinya, gentanya emas sendirinya,
kekangnya emas sendirinya, tali rantainya halus suasa sendirinya, ialah yang
menarik anak dewa dari atas gunung itu).
Naskah Tambo
Minangkabau Nomor Kode 436, juga tidak tahu asalnya dari luhak mana dan ditulis
tahun berapa. Didalamnya banyak terdapat kata-kata seperti barapindah, barapoelang, tarasaboet, baratanjo dan lain-lain. Saya
yakin ahli-ahli bahasa Minangkabau dapat menentukan dari kawasan mana naskah
ini berasal.
Saya belum
membaca naskah tulisan Arab dengan cermat, namun demikian diduga akan ditemukan
pula hal serupa.
Naskah tua
lainnya yang diperoleh tercatat tahun 1818 berjudul “Silsilah Raja-Raja
Pagarruyung” yang merupakan segulungan kertas yang panjangnya dua meter empat
puluh cm, lebar kertas sekitar 40 cm. Dalam manuskrip ini tidak ada menyebutkan
nama kedua Datuk bertuah tersebut.
Bila benar
Datuk Perpatih pindah ke kawasan Solok, tentu ada sebabnya. Singkat kata, semua
yang disampaikan di atas terpulang pada “ahli“ nya. Tugas saya sebagai
penghimpun ialah menginformasikan.
Keterangan Tambahan
Dalam “Kitab
Tjoerai Paparan Adat Lembaga Alam Minangkabau” karangan Datuk Sanggoeno Diradjo–1919 halaman 86, 87
dan 88 tertulis sbb:
Fasal 75
Amanat Datuak Parpatiah Nan
Sabatang
Adapun tatkala Datuk Perpatih Nan Sebatang akan hampir mati,
maka berpesanlah beliau kepada segala Penghulu-Penghulu yang berempat-empat dan
yang berlima-lima sekota, serta orang-orang cerdik-pandai dan orang-orang
bertuah dalam selaras Budi Chaniago. Setelah berhimpun sekaliannya maka
berkatalah ninik Perpatih Nan Sebatang kepada segala Penghulu-Penghulu dan
orang-orang cerdik-pandai itu.
Kata beliau:
“Adapun hamba sudah akan hampir mati dan hamba akan pergi
ke Solok Selayo, entah kembali
entah tidak. Sebab itu hendaklah pegang petaruh hamba oleh segala Penghulu-Penghulu
dan orang-orang cerdik pandai semuanya.
Pertama - Hendaklah kasih engkau kepada negeri,
Kedua – Hendaklah kasih engkau kepada isi negeri;
Ketiga – Hendaklah kasih engkau kepada orang kaya;
Keempat – Hendaklah Engkau kasih kepada orang bertuah,
Kelima – Hendaklah engkau kasih kepada orang Alim Ulama,
Keenam – Hendaklah engkau kasih kepada orang tukang.
Ketujuh – Hendaklah engkau kasih kepada segala Penghulu
benar,
Kedelapan – Hendaklah engkau kasih kepada oang yang
mempunyai bicara, meski ia kanak-kanak sekalipun, apabila ia mempunyai bicara
ikut olehmu, karena ia itulah tangkai negeri dan tangkai alam.
Sekali-kali jangan engkau ubahi sepeninggal hamba supaya
selamat apa-apa pekerjaan engkau selama-lamanya”.
Maka menangislah segala Penghulu-Penghulu dan orang
cerdik-pandai mendengar petaruh beliau itu … dst.-
Pernah dimuat di Harian Singgalang, 1 September 1991