Rabu, 18 September 2013

Dari Jazz, Jazzy, hingga Dunia Magis



OLEH Asril Muchtar
Dosen ISI Padangpanjang
Pakem jazz dengan musik tradisi Minang (foto Asril M)
Sejak dua bulan terakhir ini para komposer dan praktisi musik di ISI Padangpanjang lebih gandrung bermusik pada “wilayah” jazz,  jazzy hingga musik yang berbau mistik. Sebut saja misalnya, Andra Nova (Andre) dan Cholis--yang muda pun turut terimbas. Komposisi musik mereka diramu dari unsur tradisi, pop, dan jazz. Sementara yang berbau magis pun tak luput pula dari pengaruh musik yang bercita rasa pop.
Awal November 2010 lalu, Andre unjuk rasa dalam event “Bandung World Jazz Music.” Andre mengkolaborasikan pakem jazz dengan musik tradisi Minang, misalnya sijobang, rabab pasisia, dan gandang tasa. Meskipun Andre masih belum  terlalu intens memadukan musik tradisi Minang dengan jazz. Andre tampaknya sedang mencari-mencari format yang tepat untuk mengawinkan  budaya yang berbeda karakter ini.
Cholis juga menyiapkan satu paket pertunjukan jazz-ethnic untuk event “Sawahlunto International Music Festival (SIMFes)”, pada tanggal 3-5 Desember 2010. Cholis menggarap musik tradisi indang piaman dan dendang Singgalang Jaya dalam gaya jazz. Cholis melihat ada beberapa kekuatan musikal indang piaman, misalnya dari aspek struktur musiknya dan perjalanan nada-nada dalam melodi indang piaman yang sangat unik dibandingkan dengan dendang-dendang Minang dan musik tradisi Minang lainnya. Keunikan inilah yang dibidik oleh Cholis.
Di Indonesia juga muncul pemikiran tentang musik jazz. Seperti apa sih musik jazz Indonesia? Apakah musik jazz Indonesia itu yang membawakan lagu-lagu Indonesia dalam gaya musik jazz? Ada lagi yang memunculkan istilah jazz-ethnic, yakni mengawinkan beberapa genre musik tradisi dengan instrumen musik yang umum dipakai dalam musik jazz, kemudian dimainkan dalam gaya jazz. Salah satu yang perlu dicatat misalnya, yang dilakukan oleh grup Karakatau yang mengawinkan musik jazz dengan musik Sunda. 
Satu event yang patut pula diinformasikan adalah pertunjukan komposisi musik oleh anak-anak muda jurusan karawitan ISI Padangpanjang selasa malam (30/11) di gedung Pertunjukan Hoerijah Adam ISI Padangpanjang. Ada empat komposer muda: Andi, Ramdanus, Remi, dan Rizki. Dua di antara komposer itu mencoba memasukkan unsur jazz dan ada yang sekedar “menyerempet” pada rasa musikal jazz.
Andi menggarap komposisi jazz-ethnic dengan tajuk, “Jazzytaku”. Andi dengan background musik tradisi Minang mengangkat musik talempong gondang oguang yang terdapat di nagari Sialang kabupaten Lima Puluh Kota. Salah satu repertoar talempong gondang oguang yang digarap Andi adalah lagu “Tataku”. Ensambel yang hanya memiliki enam nada (heksatonic) ini dijadikan sebagai titik awal berangkatnya wilayah eksplorasi melodi. Andi sengaja memfleksibelkan nada-nada gondang oguang mendekati frekuensi yang sama dengan nada-nada diatonik. Misalnya, nada-nada bes - cis – d – f – g - a untuk memudahkan pelarasan dengan instrumen musik barat. Untuk memvariasikan timbre instrumen melodi, Andi menghadirkan pula beberapa ganto, canang, dan botol yang sudah dilaras dengan nada heksatonik Sialang. Kemudian untuk pengikat wilayah suara low, dihadirkan tiga buah aguang yang juga berfungsi sebagai suara pembentuk harmoni, serta dua pasang gandang unggan untuk membangun nuansa musik tradisi Sialang. Instrumen di atas mewakili sosok musik etnik. Sementara instrumen barat yang digunakan antara lain, brass (saxophone, trombone, trompet), gitar bass, akordeon, dan set drum.
Karya yang berdurasi 22 menit ini, disusun atas beberapa suasana musikal. Pemunculan awal dilakukan dengan sepenggal melodi lagu Tataku dengan talempong dan canang, kemudian dimainkan secara unisono oleh semua instrumen melodi. Secara silih berganti, karya ini mencoba menghadirkan sosok musik etnik melalui instrumen musik tradisi dengan musik barat, terutama brass. Adakalanya dimainkan secara bersama.  Meskipun Andi agaknya belum mampu menghadirkan “dialog instrumen” tradisi dengan barat secara lebih tajam dan kontras. Brass baru hanya difungsikan sebagai penguat aksen melodi lagu Tataku.
Andi juga sangat memahami akan keterbatasannya pada musik jazz, sehingga ia hanya memasuki wilayah ini pada nuansa jazz yang disebut jazzy. Untuk mendukung cita rasa jazzy, komposisi ini diperkuat oleh dua musisi jazz yaitu, Doni pada bass dan Yayan pada drum. Namun secara keseluruhan karya ini sangat solid, mampu memunculkan cita rasa jazz-ethnic dengan lebih banyak memunculkan rasa musikal dan instrumen musik etnik.
Sementara Remi dengan karyanya “Sentak Irama Kemenangan”, terinspirasi dari ritus menjara atau beruji dol dari upacara tabot Bengkulu. Beruji dol merupakan perlombaan memainkan ensambel dol oleh dua kelompok pendukung tabot, yakni kelompok tabot bangsal dengan kelompok tabot berkas. Seluruh luapan emosional yang bersifat “heroik” sebagai representasi dari perang Karbala ditumpahkan dalam upacara ini. Remi menghadirkan tiga buah dol (perkusi), tam-tam, dol kreasi sebagai tasa, keyboard, cello, kontra bass, akordeon, gitar, dan biola.
Sebagai landasan titik tolak karya, lagu Sweri dengan meter (sukatan) tujuh (ganjil), dijadikan basis utama yang dikembangkan ke dalam berbagai melodi-melodi pendek dan dimainkan dengan instrumen melodi. Sementara dol digunakan untuk memperkuat citra tradisi musik tabot. Prinsip beruji atau bertanding dol memang tidak muncul dalam karya ini. Remi tidak mampu mempertimbangkan karakter suara instrumen musik yang bersifat feminin dan mana yang maskulin. Untuk membangun suasana tegas, keras, sebagai pelampiasan emosional “heroik”, mestinya dilahirkan dengan instrumen yang bersifat maskulin, seperti dol. Betapapun bagus pola melodi yang dihadirkan, jika dimainkan dengan instrumen yang bersifat feminin seperti alat gesek, petik, dan plug-aerophone (akordeon), tidak akan mampu mengangkat suasana “heroik”.  Justru malah Remi kadang-kadang “menyerempet’ ke nuansa jazzy.
Matinya “Biso” Sirompak
Sajian komposisi “Play Setan” yang digarap oleh Rizki menghadirkan kontra magis dari aktivitas magis sirompak. Rizki mencoba memutarbalikkan “keganasan” sirompak menjadi segar dalam kemasan kocak, teatrikal, dan menghibur. Rizki menginterpretasi beberapa aktivitas sirompak secara gamblang. Misalnya, dalam tradisi sirompak seorang gadis yang menolak cinta seorang laki-laki, karena sebab tertentu, maka aktivitas magis sirompak akan dilakukan untuk merompak hati sang gadis, melalui pawang, tukang soga, dan peniup saluang. Justru Rizki menghadirkan dalam dunia nyata kekinian, ia bertindak sebagai laki-laki yang merayu gadis (Feny, vokalis), hingga Feny berpura-pura tidak suka kepadanya. Cara-cara ia merayu pun memakai bahasa gaul, lepas tanpa beban, sehingga mengundang tawa penonton yang memadati gedung pertunjukan Hoerijah Adam.
Beberapa teks “mantra” yang biasa didendangkan pada aktivitas magis sirompak diplesetkan.  Seperti /kakak denai si uwi balik/ daulu angkau nan tuo/ diganti dengan, “kakak denai, kakak urang, kakak-kakak”.  Ada pula yang dibuat baru, misalnya, /kakak denai diracun/bilo-bilo/patang-patang/. Meskipun dari aspek melodi dendang sirompak Rizki sebenarnya tidak banyak melakukan pengolahan, kecuali pada iringannya. Misalnya menghadirkan kontra bass, gendang dua (tifa), kulanter, gandang tambua, simbal, rabab, ukulele, hasapi, saluang, dan musik busur Brazil. Bahkan memainkan beberapa melodi dengan beat dangdutan, sambil bergoyang.
Namun Rizki cukup cerdik mengakali pertunjukannya. Untuk membangun citra magis dan mistik, ia menghadirkan dua warna kontras hitam dan putih. Beberapa pemain musik (kontra bass, saluang, rabab, tukang soga) memakai kostum warna hitam, sebagai presentasi jin Simambang Hitam. Sementara pemusik yang lain memakai kain putih yang diberi percikan warna merah, sengaja dirobek dan dililitkan ke tubuh pemusik. Ada yang ditutup secara keseluruhan seperti “pocong”, dan ada yang diperban beberapa bagian tubuhnya, sebagai jelmaan jin Simambang Putiah.
Interpretasi yang cukup segar ditampilkan Rizki sebagai sajian penutup, yakni ketika tukang soga (Shofwan) yang berperan sebagai orang yang mengekspresikan gadis yang dituju dengan gerakan-gerakan, menggapai dinding dan lain sebagainya ketika teks “mantra”, manggalobanglah kau lantai satantang adaiak den tidua, justru diganti dengan gerak tarian seudati, tari piring, kecak, dan silat. Sajian bagian ini kembali mengundang tawa para penonton. Rizki benar-benar ingin mematikan “biso” sirompak dan mentransformasikannya ke pertunjukan yang segar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...