OLEH Asril Muchtar
Dosen ISI Padangpanjang
Pakem jazz dengan musik tradisi Minang (foto Asril M) |
Awal
November 2010 lalu, Andre unjuk rasa dalam event
“Bandung World Jazz Music.” Andre mengkolaborasikan pakem jazz dengan musik
tradisi Minang, misalnya sijobang, rabab
pasisia, dan gandang tasa. Meskipun
Andre masih belum terlalu intens memadukan musik tradisi Minang
dengan jazz. Andre tampaknya sedang mencari-mencari format yang tepat untuk
mengawinkan budaya yang berbeda karakter
ini.
Cholis
juga menyiapkan satu paket pertunjukan jazz-ethnic
untuk event “Sawahlunto International
Music Festival (SIMFes)”, pada tanggal 3-5 Desember 2010. Cholis menggarap
musik tradisi indang piaman dan
dendang Singgalang Jaya dalam gaya
jazz. Cholis melihat ada beberapa kekuatan musikal indang piaman, misalnya dari aspek struktur musiknya dan perjalanan
nada-nada dalam melodi indang piaman yang
sangat unik dibandingkan dengan dendang-dendang Minang dan musik tradisi Minang
lainnya. Keunikan inilah yang dibidik oleh Cholis.
Di
Indonesia juga muncul pemikiran tentang musik jazz. Seperti apa sih musik jazz
Indonesia? Apakah musik jazz Indonesia itu yang membawakan lagu-lagu Indonesia
dalam gaya musik jazz? Ada lagi yang memunculkan istilah jazz-ethnic, yakni mengawinkan beberapa genre musik tradisi dengan
instrumen musik yang umum dipakai dalam musik jazz, kemudian dimainkan dalam gaya
jazz. Salah satu yang perlu dicatat misalnya, yang dilakukan oleh grup
Karakatau yang mengawinkan musik jazz dengan musik Sunda.
Satu
event yang patut pula diinformasikan
adalah pertunjukan komposisi musik oleh anak-anak muda jurusan karawitan ISI
Padangpanjang selasa malam (30/11) di gedung Pertunjukan Hoerijah Adam ISI
Padangpanjang. Ada empat komposer muda: Andi, Ramdanus, Remi, dan Rizki. Dua di
antara komposer itu mencoba memasukkan unsur jazz dan ada yang sekedar
“menyerempet” pada rasa musikal jazz.
Andi
menggarap komposisi jazz-ethnic
dengan tajuk, “Jazzytaku”. Andi dengan background
musik tradisi Minang mengangkat musik talempong
gondang oguang yang terdapat di nagari Sialang kabupaten Lima Puluh Kota.
Salah satu repertoar talempong gondang
oguang yang digarap Andi adalah lagu “Tataku”. Ensambel yang hanya memiliki
enam nada (heksatonic) ini dijadikan
sebagai titik awal berangkatnya wilayah eksplorasi melodi. Andi sengaja
memfleksibelkan nada-nada gondang oguang mendekati
frekuensi yang sama dengan nada-nada diatonik. Misalnya, nada-nada bes - cis – d
– f – g - a untuk memudahkan pelarasan dengan instrumen musik barat. Untuk memvariasikan
timbre instrumen melodi, Andi
menghadirkan pula beberapa ganto, canang,
dan botol yang sudah dilaras dengan nada heksatonik Sialang. Kemudian untuk pengikat wilayah suara low, dihadirkan tiga buah aguang yang juga berfungsi sebagai suara
pembentuk harmoni, serta dua pasang gandang
unggan untuk membangun nuansa musik tradisi Sialang. Instrumen di atas
mewakili sosok musik etnik. Sementara instrumen barat yang digunakan antara
lain, brass (saxophone, trombone, trompet), gitar bass, akordeon, dan set drum.
Karya
yang berdurasi 22 menit ini, disusun atas beberapa suasana musikal. Pemunculan
awal dilakukan dengan sepenggal melodi lagu Tataku dengan talempong dan canang,
kemudian dimainkan secara unisono oleh semua instrumen melodi. Secara silih
berganti, karya ini mencoba menghadirkan sosok musik etnik melalui instrumen
musik tradisi dengan musik barat, terutama brass. Adakalanya dimainkan secara
bersama. Meskipun Andi agaknya belum
mampu menghadirkan “dialog instrumen” tradisi dengan barat secara lebih tajam
dan kontras. Brass baru hanya difungsikan sebagai penguat aksen melodi lagu
Tataku.
Andi
juga sangat memahami akan keterbatasannya pada musik jazz, sehingga ia hanya
memasuki wilayah ini pada nuansa jazz yang disebut jazzy. Untuk mendukung cita rasa jazzy, komposisi ini diperkuat oleh dua musisi jazz yaitu, Doni
pada bass dan Yayan pada drum. Namun secara keseluruhan karya ini sangat solid,
mampu memunculkan cita rasa jazz-ethnic dengan
lebih banyak memunculkan rasa musikal dan instrumen musik etnik.
Sementara
Remi dengan karyanya “Sentak Irama Kemenangan”, terinspirasi dari ritus menjara atau beruji dol dari upacara tabot
Bengkulu. Beruji dol merupakan
perlombaan memainkan ensambel dol
oleh dua kelompok pendukung tabot, yakni
kelompok tabot bangsal dengan
kelompok tabot berkas. Seluruh luapan
emosional yang bersifat “heroik” sebagai representasi dari perang Karbala
ditumpahkan dalam upacara ini. Remi menghadirkan tiga buah dol (perkusi), tam-tam, dol
kreasi sebagai tasa, keyboard, cello,
kontra bass, akordeon, gitar, dan biola.
Sebagai
landasan titik tolak karya, lagu Sweri
dengan meter (sukatan) tujuh (ganjil), dijadikan basis utama yang dikembangkan
ke dalam berbagai melodi-melodi pendek dan dimainkan dengan instrumen melodi.
Sementara dol digunakan untuk
memperkuat citra tradisi musik tabot.
Prinsip beruji atau bertanding dol memang
tidak muncul dalam karya ini. Remi tidak mampu mempertimbangkan karakter suara
instrumen musik yang bersifat feminin dan mana yang maskulin. Untuk membangun
suasana tegas, keras, sebagai pelampiasan emosional “heroik”, mestinya
dilahirkan dengan instrumen yang bersifat maskulin, seperti dol. Betapapun bagus pola melodi yang
dihadirkan, jika dimainkan dengan instrumen yang bersifat feminin seperti alat
gesek, petik, dan plug-aerophone
(akordeon), tidak akan mampu mengangkat suasana “heroik”. Justru malah Remi kadang-kadang “menyerempet’
ke nuansa jazzy.
Matinya “Biso” Sirompak
Sajian
komposisi “Play Setan” yang digarap oleh Rizki menghadirkan kontra magis dari
aktivitas magis sirompak. Rizki
mencoba memutarbalikkan “keganasan” sirompak
menjadi segar dalam kemasan kocak, teatrikal, dan menghibur. Rizki
menginterpretasi beberapa aktivitas sirompak
secara gamblang. Misalnya, dalam tradisi sirompak
seorang gadis yang menolak cinta seorang laki-laki, karena sebab tertentu, maka
aktivitas magis sirompak akan
dilakukan untuk merompak hati sang gadis, melalui pawang, tukang soga, dan peniup saluang.
Justru Rizki menghadirkan dalam dunia nyata kekinian, ia bertindak sebagai
laki-laki yang merayu gadis (Feny, vokalis), hingga Feny berpura-pura tidak
suka kepadanya. Cara-cara ia merayu pun memakai bahasa gaul, lepas tanpa beban,
sehingga mengundang tawa penonton yang memadati gedung pertunjukan Hoerijah
Adam.
Beberapa
teks “mantra” yang biasa didendangkan pada aktivitas magis sirompak diplesetkan.
Seperti /kakak denai si uwi balik/
daulu angkau nan tuo/ diganti dengan, “kakak
denai, kakak urang, kakak-kakak”. Ada
pula yang dibuat baru, misalnya, /kakak
denai diracun/bilo-bilo/patang-patang/. Meskipun dari aspek melodi dendang sirompak Rizki sebenarnya tidak banyak
melakukan pengolahan, kecuali pada iringannya. Misalnya menghadirkan kontra
bass, gendang dua (tifa), kulanter, gandang tambua, simbal, rabab, ukulele, hasapi, saluang, dan
musik busur Brazil. Bahkan memainkan beberapa melodi dengan beat dangdutan, sambil bergoyang.
Namun
Rizki cukup cerdik mengakali pertunjukannya. Untuk membangun citra magis dan
mistik, ia menghadirkan dua warna kontras hitam dan putih. Beberapa pemain
musik (kontra bass, saluang, rabab,
tukang soga) memakai kostum warna hitam, sebagai presentasi jin Simambang
Hitam. Sementara pemusik yang lain memakai kain putih yang diberi percikan
warna merah, sengaja dirobek dan dililitkan ke tubuh pemusik. Ada yang ditutup
secara keseluruhan seperti “pocong”, dan ada yang diperban beberapa bagian
tubuhnya, sebagai jelmaan jin Simambang Putiah.
Interpretasi
yang cukup segar ditampilkan Rizki sebagai sajian penutup, yakni ketika tukang soga (Shofwan) yang berperan
sebagai orang yang mengekspresikan gadis yang dituju dengan gerakan-gerakan, menggapai
dinding dan lain sebagainya ketika teks “mantra”, manggalobanglah kau lantai satantang adaiak den tidua, justru
diganti dengan gerak tarian seudati,
tari piring, kecak, dan silat. Sajian
bagian ini kembali mengundang tawa para penonton. Rizki benar-benar ingin
mematikan “biso” sirompak dan
mentransformasikannya ke pertunjukan yang segar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar