OLEH Anas Nafis
UNGKAPAN yang banyak disebut di Sumatera Barat ialah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah; Syarak Mangato, Adat Mamakai dan Tuah Sakato - Cilako Basilang.
Di antara ketiga ungkapan di atas yang
pertama, yakni “Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi1 Kitabullah”
yang paling banyak disebut, ditulis di media, didiskusikan, diseminarkan, baik
di Sumatera Barat sendiri maupun di perantauan. Bahkan orang bukan Minangkabau
pun mengenal pula ungkapan tersebut.
Kalau
yang ketiga yaitu “Tuah sakato, cilako basilang”, telah ada juga sejak
lama dan disebutkan pula dalam buku tambo terkenal hikayat Cindua Mato.
Keterangan: Batu sandi (sendi)
rumah jaman dulu ialah batu alam yang digeletakkan begitu saja di atas tanah
tempat tonggak atau tiang rumah didirikan. Jadi tidak sama dengan pondasi
pengertian sekarang.
Adat Jahiliah dan Islamiah
Ungkapan
“Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah” muncul ke tengah masyarakat
Minangkabau sejak jaman Padri. Kata orang sejak pertemuan perdamaian antara
Kaum Adat dan Kaum Padri di Bukit Marapalam.
“Tempo doeloe” adat Minangkabau dituding pihak Padri, Adat Jahilliyah, karena waktu itu di banyak nagari adalah biasa bagi orang
Minangkabau minum tuak, minum kilang, menyabung ayam, berambung, memakan barang
yang haram, berpusaka kepada kemenakan, anak
rando gadih tidak aman berjalan seorang dan berbagai perbuatan maksiat
lainnya.
Jaman itu kaum Padri menjalankan Hukum Syariat yang mereka
namakan Adat Islamiyah. Hukum
Syariat yang dijalankan orang Padri amat kerasnya. Orang makan sirih dan
merokok saja dihukum denda. Bahkan seorang perempuan yang masuk bilangan
keluarga dekat Tuanku Nan Renceh dijatuhi hukuman bunuh.
Adat yang Sebenar Adat
Adat Islamiah (Hukum Syariat) inilah
yang dikatakan orang Padri “Adat Yang Sebenar Adat” yang berasal dari Kitabullah. Sedangkan bagi yang tidak Padri atau
yang berlaku di Minangkabau sebelum gerakan Padri, yang dinamakan “Adat yang Sebenar Adat” ialah
yang dijadikan Allah, misalnya adat
gajah berbelalai, adat ikan beradai, adat api panas dan seterusnya.
Dengan demikian telah
terjadi dua macam penafsiran, yaitu: 1). “Adat yang Sebenar Adat” menurut kaum
Padri, yakni Adat Islamiah yang menjalankan syariat Islam yang lahir waktu
Perang Padri; 2). “Adat yang Sebenar Adat” menurut Adat Minangkabau “doeloe”
yang telah dibakukan jauh sebelum Perang Padri, bahkan masih ada yang
mengatakannya sampai sekarang.
Artikel Sutan Maharajo2
Dalam
buku ADATRECHTBUNDELS XXXV: SUMATRA – Serie H Het Minangkabausche Gebied No.
66 - Artikelen Van Datoek Soetan Maharadja in de Oetoesan Melajoe (1911 – 1913)
halaman 309 antara lain tertulis:
Pada masa “berhitam berputih” di Alam Minangkabau ini,
oleh Padri hendak dibunuh sekalian adat, akan diganti dengan syarak saja hingga
orang makan sirih dan orang merokok pun didenda oleh Padri. Masa itulah adat
Minangkabau dinamakan “Adat
Jahiliyah” oleh orang Padri penghidupkan hukum syaraknya yang dinamakannya
“Adat Islamiyah” dengan dikatakannya itulah “Adat Yang Sebenar Adat” keluar
dari Kitabullah.
Padahal
yang “Adat Sebenar Adat” sebenarnya yang dijadikan Allah; adat ikan beradai,
adat gajah berbelalai, adat api panas dan selanjutnya, bukannya aturan Padri
yang dikatakannya keluar dari Kitabullah itu, karena hukum syarak itu ikhtilaf
(berbeda, perselisihan paham) beberapa mazhab. Begitupun ulama yang dalam satu
mazhab pun bersalah-salahan pula, sedang dalam kitab karangan Imam Syafei
sendiri ada yang berkaul kadim ada yang berkaul jaded, yakni bersalahan fatwa
Imam Syafei semasa di Bagdad dengan fatwa yang kemudian semasa di Mesir.
Adapun Adat
Minangkabau yang dikatakan DAT bersendi syarak itu, syarak bersendi Kitabullah melainkan untuk Undang Nan Sepucuk
Yang Takluk Kepada Hukum namanya. Dan yang mengatakan adat jahiliyah dan
Islamiyah, melainkan Padri, bukanlah kata itu datangnya dari kata pusaka dari
ninik yang berdua … dan seterusnya.
Jadi di “Adatrechtbundels” inilah
ditemukan publikasi pertama mengenai “Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi
Kitabullah” yang berasal dari Jaman Padri.
Di situ
dikatakan Adat Bersendi Syarak, Syarak Besendi Kitabullah berasal dari Padri
dan bukan kata pusaka dari Datuk Nan Berdua, yaitu Datuk Perpatih Nan Sabatang
dan Datuk Ketumangguangan.
Bukit Marapalam
Banyak orang mengatakan lahirnya
“Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah” itu, adalah hasil
kesepakatan antara Kaum Padri dan Kaum Adat di Bukit Marapalam yang kini masuk
Daerah Kabupaten Lima Puluh Koto.
Tidak diperoleh keterangan bila, oleh siapa dan bagaimana
perundingan itu terjadi. Apakah pada perundingan tersebut pihak mau Padri
melepaskan tuntutan mereka, yaitu Hukum Syariat Islam?
Lalu apakah yang dimaksud kata “adat” dalam “Adat Bersendi
Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah” itu? Versi Padrikah atau Adat mengacu
tulisan di atas? Atau barangkali ada versi lain yang memuaskan kedua belah
pihak?
Patut juga
dicatat peristiwa di Koto Tangah pada permulaan abad 19, yaitu pembunuhan masal
terhadap keluarga raja-raja Pagurruyung oleh pihak Padri. Konon beberapa orang
saja yang selamat, diantaranya Raja Alam Muningsyah dengan mengendong cucunya
melarikan diri ke Lubuk Jambi - Kuantan.
Mungkinkah peristiwa “mengerikan” di Koto Tangah tersebut
mengimbas pula dalam perundingan Bukit Marapalam itu, wallahu ‘alam.
Syeks Suleiman Ar Rasuly
Pada tanggal 7 Juni 1964 Syekh
Suleiman Ar Rasuly atau yang lebih dikenal dengan Inyiak Canduang yang sangat
dihormati masyarakat Miangkabau telah menerbitkan sebuah “maklumat” berjudul
“Sari Pati Sumpah Satie Bukit Marapalam”.
Kita salinankan sepenuhnya.
Sari Pati Sumpah Satie Bukit Marapalam3
Agama Islam mula-mula datang ke Minangkabau dengan melalui
daerah Pesisir (rantau), disambut dengan tangan terbuka oleh Penghulu-Penghulu
dalam Luhak nan Tigo Lareh nan Duo.
Sesudah Islam berkembang di Alam Minangkabau terjadilah
perselisihan antara Kaum Adat dengan Alim Ulama, disebabkan ada sebagian dari
pamainan kaum adat yang tidak disetujui oleh Alim Ulama seperti basalung
barabab, manyabung, bajudi, badusun bagalanggang, basorak basorai dan
lain-lain. Dan sebagian apa yang diharuskan oleh agama tidak dapat dibenarkan
menurut adat seperti perkawinan sepasukuan.
Untuk memelihara
persatuan dalam nagari, diusahakan oleh orang pandai-pandai dan terkemuka
mencari air nan janih sayak nan landai guna terwujudnya perdamaian antara
Penghulu dan Alim Ulama. Nan di atas ke bawah-bawah nan di bawah ke atas-atas,
masing-masing surut salangkah. Kaum adat meninggalkan pamainan yang
bertentangan dengan agama seperti manyabung, berjudi dan sebagainya. Dan Alim
Ulama membenarkan pula ketentuan adat yang tidak berlawanan dengan agama
seperti melarang perkawinan sepasukuan dan lain-lain, sehingga dapatlah kata
sepakat: “Bulat boleh digolongkan picak boleh dilayangkan”.
Buat mengikrarkan dan ma-ambalaui kebulatan itu,
diadakanlah pertemuan besar di atas Bukit Marapalam (antara Lintau dan Tanjung
Sungayang) yang dihadiri oleh Penghulu-Penghulu dan Alim Ulama serta
orang-orang terkemuka dalam Luhak nan Tigo Lareh nan Duo. Dibantai kerbau,
dagingnya dilapah darahnya dikacau, tanduk ditanamkan, ditapung batu dilicak
pinang, diikat dengan Alfatihah dan dibacakan doa selamat. Dalam pertemuan
besar itulah diikrarkan bersama-sama dan menjunjung tinggi kebulatan yang telah
dibuat oleh orang-orang pandai dan para terkemuka, yaitu: Pengnghulu rajo dalam
nagari, kato badanga, pangaja baturuik, manjua jauh manggantung tinggi; Alim
Ulama suluh bendang dalam nagari, air nan janih sayak nan lancar tempat batanyo
di Panghulu.
Dalam pelaksanaannya, Alim Ulama memfatwakan dan Panghulu
mamarintahkan.
Di sinan ditanamlah Rajo Adat di Buo dan Rajo Ibadat di
Sumpur Kudus.
Dikarang sumpah jo satie, yaitu: “Siapa yang melanggar
kebulatan ini dimakan biso kawi di atas dunia , ke atas indak bapucuk, ke bawah
indak baurat, di tangah dilarik kumbang, di akhirat dimakan kutuk kalam Allah.
Di sinan ditetapkan pepatah adat nan berbunyi: “Adat
bapaneh syarak balindung”, artinya: “Adat adalah tubuh dan syarak adalah jiwa
di Alam Minangkabau”. Dan pepatah adat nan berbunyi: “Syarak mangato adat
mamakai”.
Itulah sari pati sumpah satie (Piagam) Bukit Marapalam nan
kita terima turun temurun sampai kini. Dan hambo terima dahulunya dari tiga
orang tuo, yaitu:Tuangku Lareh Kapau nan Tuo (sebelum Tuangku Lareh yang terakhir); Ninik dari mintuo hambo di Ampang
Gadang dan Angku
Candung nan Tuo.
Bukti-bukti yang bersua dalam pelaksanaan, yang bahasa
Penghulu memerintahkan menjalankan fatwa Ulama seperti berzakat, berpuasa,
bersunat rasul dan sebagainya, yang sulit dapat dikerjakan kalau tidak diiringi
fatwah Ulama itu dengan perintah Penghulu sebagai rajo dalam nagari.
Pada akhir abad ke sembilan belas dan lai hambo dapati
bahwa sesuatu perkara yang terjadi dalam nagari dihukum oleh Penghulu. Sebelum
Penghulu menjatuhkan hukuman malamnya mendatangi Ulama yang dinamakan waktu itu
dengan “Bamuti” (mungkin asalnya bermufti) untuk minta nasihat dan
bermusyawarah tentang hukum yang akan dijatuhkan (waktu itu tempat “bamuti”
adalah Angku Candung nan basurau di Baruhbalai). Dan begitu juga ditiap nagari
di Minangkabau sampai ada peraturan baru oleh Belanda yang perkara diadili oleh
Tuangku Lareh, kemudian Magistraad dan kemudian sekali Landraad.
Kaum penjajah (Belanda) sangat kuatir kepada persatuan
adat dan agama. Maka diusahakannya memecahkan dengan mendekati Penghulu dan
menjauhi Alim Ulama.
Tambo-tambo
adat yang dipinjam, katanya untuk dipelajari, tetapi sebenarnya untuk
dihabiskan, guna mengaburkan sejarah yang sebenarnya, termasuk sejarah Bukit
Marapalam ini.
Demikianlah hambo wasiatkan untuk dipedomani oleh anak
cucu hambo kemudian hari di Candung khususnya dan di Minangkabau umumnya,
karena sudah terdengar orang-orang yang hendak mencoba memisahkan antara adat
dan agama di Minangkabau.
Wabilahitaufieq.
Candung,
7–Juni 1964 (26 Muharam 1384)
dto
Syekh Suleiman Ar. Rasuly
Saripati Bukit Marapalam di atas
tidak ada menyebut “Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah”, akan
tetapi menyebutkan antara lain: Di sinan ditetapkan pepatah adat nan
berbunyi: “Adat bapaneh syarak balindung”, artinya: “Adat adalah tubuh dan
syarak adalah jiwa di Alam Minangkabau”. Dan pepatah adat nan berbunyi: “Syarak
mangato adat mamakai”.
Syekh
Jalaludin
Dalam
buku Syekh Jalaludin atau yang lebih dikenal dengan gelar Pakiah Saghir yang
banyak berperan di awal gerakan Padri (sebelum Perang Padri di bawah pimpinan
Tuanku Imam Bonjol), tidak ada menyebut ABS – SBK.
Di
dalam buku tersebut digambarkan bagaimana situasi umum di Minangkabau masa itu
seperti disampaikan berikut ini.
Pihak
kepada kelakuan orang Agam semuanya, ialah mengerjakan zalim aniaya, menyamun
dan menyakar, melakut dan malakus, maling dan mencuri, menyabung dan berjudi,
minum tuak dan minum kilang, memakan sekalian yang haram, merebut dan merampas,
tidak berbeda halal dan haram, larangan dan pegangan dan mau berjual orang dan
jikalau ibunya dan saudaranya sekalipun, dan banyaklah orang dagang dirampasnya
dan dijualnya. Itupun Tuanku Nan Tuo mendirikan larangan dan pegangan serta
Tuanku-Tuanku yang lainnya.
Maka
sebab banyak orang terjual dan dirampas orang serta lama zaman, maka sangatlah
lelah payah Tuanku-Tuanku memintak orang nan terjual dan orang nan kanai rampas
itu. Dan banyaklah silang selisih, gaduh-gaduh, kelahi dan bantah dan
berperang-perang, tetapi tidak mengalahkan nagari adanya.
Saya
Pakiah Saghir seperti demikian pula, sebab ada juga saya menurut dari pada saya
punya bapak, lagi saya dijadikan kepala bermulut (juru
bicara) oleh Tuanku-Tuanku nan tuo, berperdakwakan orang nan ditangkap orang
dan orang nan dirampas.
Di
mana-mana larangan itu dibinasakan orang dan serta lama zaman berapa-berapalah
orang dagang dirampas orang dan ditangkap orang. Tidak juga boleh hilang,
melainkan kembali juga hanya dan berhutang juga orang nan menangkap dan orang
nan rampas itu. Atau dialahkan kampungnya atau diperangi nagarinya. Maka sebab
itu sangatlah takut orang menangkap orang dagang dan orang menjelang dia dan
jikalau kanak-kanak yang kecil dan perempuan dan masuk nagari yang berlawan
sekalipun, tidak juga boleh cela, binasa adanya.
Maka
sempurnalah teguh larangan pegangan orang dagang dan orang memakaikan
sembahyang dan jikalau fakir yang hina sekalipun dan sentosalah ia pergi dan
datang dan perjalanannya ke kiri dan ke kanan ke mana- ke mana ia pergi dalam
Luhak Nan Tiga ini dan sekalian takluk rantau, lalu ke tanah Rao juga adanya.
Itu asal orang dagang dan orang memakaikan sembahyang, larangan alim namanya.
Maka
terlebih sangat masyhur Tuanku Nan Tuo ulama yang pengasih lagi penyayang,
tempat pernaungan segala anak dagang, ikutan segala sidang, imam syariat
ahlulsunnah dan ahlul jama’ah sulthan alam aulia Allah a’alai al-darajah
walratabah fi-aldarin ..…. dst.
Dari
ketiga sumber di atas dikatakan:
a)
Datuk Sutan Maharajo mengatakan bahwa
“Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah” berasal dari Padri dan bukan
berasal dari “datuk yang berdua”, yaitu Datuk Tumanggung dan Datuk Perpatih Nan
Sabatang.
b)
Adapun Adat Minangkabau Yang Dikatakan
Bersendi Syarak Itu, Syarak Bersendi
Kitabullah melainkan untuk Undang Nan Sepucuk Yang Takluk Kepada Hukum namanya.
Dan yang mengatakan adat jahiliyah dan Islamiyah, melainkan Padri, bukanlah
kata itu datangnya dari kata pusaka dari ninik yang berdua … dst.
c)
Inyiak Canduang dalam Saripari Bukit
Marapalam mengatakan antara lain: Di sinan ditetapkan pepatah adat nan
berbunyi, Adat bapaneh syarak balindung, artinya: Adat adalah tubuh dan syarak
adalah jiwa di Alam Minangkabau. Dan pepatah adat nan berbunyi, Syarak mangato
adat mamakai.
Demikian
pula dalam buku Syekh Jalaludin (Pakiah Saghir) hanya menyebutkan situasi dalam
masyarakat Minangkabau masa itu.
Keterangan:
1)
Datuk Sutan
Maharajo adalah Redaktur Surat Kabar “Oetoesan Melajoe”.
2)
Beliau juga
Pimpinan Redaksi Surat Kabar “Soeting Melajoe”.
3) Copy diperoleh dari kantor LKAAM Sumatera Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar