Kamis, 12 September 2013

30 Tahun Terakhir Tak Ada Novel Bermutu dari Sumatera Barat


Novel Persiden Membawa Warna Baru
OLEH Darman Moenir
Sastrawan
DARMAN MOENIR DAN ISTRI
Tidak ada pemenang utama Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010. Novel Persiden karya Wisran Hadi dari Padang, Sumatera Barat, menjadi salah satu novel unggulan sayembara itu. Tiga novel unggulan lain adalah Lampuki, Jatisaba, Memoar Alang-alang yang ditulis oleh Ramalda Akmal, Hendri Teja, dan Arafat Nur.
Masing-masing novelis unggulan menerima hadiah 7,5 juta rupiah, dan hadiah 20 juta rupiah yang semestinya diberikan kepada pemenang pertama tak jalan. Pegumuman disampaikan Komite Sastra DKJ selaku panitia pelaksana di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Jumat, (14/1/2011). Dan otoritas penjurian diserahkan sepenuhnya kepada Anton Kurnia, A.S. Laksana, dan Sapardi Djoko Damono.
Ada 10 naskah yang masuk nominasi dari 277 novel peserta. DKJ hanya menganugerahkan 4 unggulan, tanpa ada pemenang pertama atau unggulan utama, dan 6 naskah nominasi tersisih.
Tidak Mengejutkan
“Kami membaca 254 naskah novel dalam 3 bulan dan mengadakan 3 kali rapat yang dua rapat pertama berlangsung alot dengan perbedaan pendapat antarjuri. Hanya pada rapat terakhir diambil kata sepakat, memutuskan tidak ada pemenang utama dalam sayembara kali ini,” kata Anton Kurnia yang memberikan sambutan mewakili Dewan Juri.
Mereka yang empat dinilai memroduksi novel layak menang dalam perhelatan sayembara DKJ 2010. Lomba menulis novel itu sendiri diadakan setiap dua tahun sejak 2006. Tetapi menurut sejarahnya, sejak 1974 hingga 1984, even ini pernah digelar tiap tahun. Dalam pertanggungjawaban Dewan Juri yang dikemukakan Anton, dikatakan, ada 4 naskah novel yang dikategorikan memenuhi syarat baik dari poin penilaian dan mekanisme penentuan pemenang.
“Perdebatan cukup alot terjadi di rapat ketiga atau rapat terakhir. Selama tiga setengah jam dewan juri akhirnya memilih hanya empat unggulan dan tanpa pemenang,” tandas Anton. Alasan Dewan Juri, Sapardi Joko Damono, tidak ada novel yang mengejutkan.
“Sebagian besar karya yang masuk adalah novel-novel yang akan tumbang pada halaman-halaman awal karena gagal mengikat pembaca untuk terus melanjutkan pembacaan. Beberapa cerita mampu menyajikan pembukaan yang menarik, tetapi kemudian berkembang menjadi lanturan yang bertele-tele dan kehilangan arah,” pungkas Anton Kurnia, salah seorang Dewan Juri.
Malas Membaca
Malam anugerah sayembara menulis novel 2010 yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta menggelar acara temu pengarang di lobi Teater Kecil, Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, menghadirkan dua novelis, yakni Ayu Utami dan Yonathan Rahardjo.
“Satu narasumber lain, Putu Wijaya, berhalangan hadir,” kata Ahmadun Yosi Herfanda, ketua panitia pengarah dari Komite Sastra DKJ, Jumat, 14 Januari 2011 malam. Dipandu moderator Martin Aleida, diskusi dalam temu pengarang berlangsung menarik. Ayu dan Yonathan membagi kiat tentang proses kreatif mengarang novel.
“Yang jadi soal sekarang bukan menulis tetapi membaca. Banyak orang suka menulis namun tidak banyak yang suka membaca,” ujar Ayu. Sementara itu, sastrawan Martin Aleida sempat menjawab pertanyaan mengapa novel-novel pemenang sayembara biasanya tidak laris di pasaran.
“Mungkin sudah saatnya sastra yang diproduksi oleh pengarang Indonesia kini diceritakan ulang kepada banyak kalangan, sehingga faktor kuantitas pembacanya jadi meningkat. Seperti satu novel John Logan yang terbit di Amerika Serikat menjadi bacaan wajib bagi anak-anak usia Sekolah Dasar, setelah itu juga menjadi bacaan bagi remaja dan orang-orang dewasa di Eropa. Sedangkan kelemahan kita di negeri ini belum ada kiat tertentu untuk melariskan novel di pasar,” tutur Aleida.
Persiden, Wajar Menang
SAYA sudah membaca teks Persiden Wisran Hadi pekan lalu. Menarik, ada kebaruan dalam teknik penulisan. Dramatik dan penuh parodi. Ada permainan kata, permainan frasa, permainan kalimat dalam penamaan tokoh-tokoh yang, bila dibahasa-minangkan, menjadi ambigu. Contohnya tokoh Comaik (coba dibaca dalam bahasa Minang, tentu menjadi, co maik alias seperti mayat). Ada lagi tokoh-tokoh Uni Sef, Uni Lateral, dan Uni Emirat atau Pa Mikie, Pa Tanda, Pa Masuang, Pa Lendo. Judul Persiden itu sendiri sesungguhnya berasal dari kata ”presiden” atau, secara persis, Presiden Theatre, tetapi kebanyakan orang Minangkabau mengucapkanya persiden. Begitu juga ucapan Itawa, Teba, Krang (dari Aie Tawa, Siteba, Ulak Karang).
Dan setting Persiden memang hanya di sekitar Presiden Theater, Ulak Karang, Siteba, Balanti, Lapai, ”kawasan” yang dekat dengan keseharian Wisran Hadi. Apakah tokoh-tokoh yang ditampilkan juga merupakan tokoh-tokoh yang dekat dengan Wisran Hadi?
Kemenangan dan kehadiran Persiden seyogianya jadi cemeti bagi calon-calon sastrawan yang berasal dari Sumatera Barat pada kurun sekarang ini. Setelah Warisan Chairul Harun (1979, direkomendasi sebagai bacaan biasa oleh DKJ) dan Ular Keempat Gus tf Sakai (Harapan I DKJ 2003), hampir tidak ada novel-novel berkualitas, setidaknya dengan standar DKJ, lahir dari Sumatera Barat. Ada Dadaisme (Pememang Pertama DKJ 2003) oleh Dewi Sartika yang lahir di Cilegon tetapi kental darah Minangkabaunya.
Saya tahu dan membaca sejumlah novel atau ”roman” (di antara tanda petik) pengarang dari Sumatera Barat yang terbit selama 30 tahun terakhir tetapi, itulah, maaf, menggunakan istilah Suryadi dari Negeri Belanda, mutu novel-novel itu pantas dipertanyakan. Wisran Hadi sendiri sudah menulis dan menerbitkan novel Tamu, Orang-orang Blanti, Negeri Perempuan, Dari Tanah Tepi, Imam, tetapi Persiden, menurut pembacaan saya, memang dua tingkat di atas Tamu.
Dan memang, tidak keliru andai ada anggapan atau guyon, secara khusus dalam pernovelan (tetapi juga dalam jenis sastra yang lain), kreativitas sastrawan Sumatera Barat seolah berhenti di tangan Gus tf Sakai. Sekarang eksis Persiden tetapi dari Wisran Hadi yang jauh lebih tua, lebih senior, dari Gus. Lalu, bagaimana?
Jawab pertanyaan ini perlu diskusi panjang, berhari-hari, bertahun-tahun, dengan kepala dingin, dengan pemikiran yang cerdas dan bernas serta kerja keras dan sungguh-sungguh. (Dan tidak perlu emosional, marah-marah, seperti terbaca dalam jejaring internet.) Tahniah, Pak  Wisran Hadi. Eh, saya lupa menyebut Gumam yang selevel dengan Warisan dan Bako (Pemenang Utama DKJ 1980). Tetapi tidak eloklah saya menyebut dan membanding dengan karya sendiri.
Harian Haluan, Minggu, 23 Januari 2011
Untuk resensi novel Persiden bisa dibaca di link Resensi Novel Persiden

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...