Novel Persiden Membawa Warna Baru
OLEH Darman Moenir
Sastrawan
DARMAN MOENIR DAN ISTRI |
Tidak ada pemenang utama Sayembara Menulis Novel Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ) 2010. Novel Persiden
karya Wisran Hadi dari Padang, Sumatera Barat, menjadi salah satu novel
unggulan sayembara itu. Tiga novel unggulan lain adalah Lampuki, Jatisaba, Memoar Alang-alang yang ditulis oleh Ramalda
Akmal, Hendri Teja, dan Arafat Nur.
Masing-masing novelis unggulan menerima hadiah 7,5 juta
rupiah, dan hadiah 20 juta rupiah yang semestinya diberikan kepada pemenang
pertama tak jalan. Pegumuman disampaikan Komite Sastra DKJ selaku panitia pelaksana
di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Jumat, (14/1/2011). Dan otoritas
penjurian diserahkan sepenuhnya kepada Anton Kurnia, A.S. Laksana, dan Sapardi
Djoko Damono.
Tidak Mengejutkan
“Kami membaca 254 naskah novel dalam 3 bulan dan
mengadakan 3 kali rapat yang dua rapat pertama berlangsung alot dengan
perbedaan pendapat antarjuri. Hanya pada rapat terakhir diambil kata sepakat, memutuskan
tidak ada pemenang utama dalam sayembara kali ini,” kata Anton Kurnia yang
memberikan sambutan mewakili Dewan Juri.
Mereka yang empat dinilai memroduksi novel layak menang
dalam perhelatan sayembara DKJ 2010. Lomba menulis novel itu sendiri diadakan
setiap dua tahun sejak 2006. Tetapi menurut sejarahnya, sejak 1974 hingga 1984,
even ini pernah digelar tiap tahun. Dalam pertanggungjawaban Dewan Juri yang
dikemukakan Anton, dikatakan, ada 4 naskah novel yang dikategorikan memenuhi
syarat baik dari poin penilaian dan mekanisme penentuan pemenang.
“Perdebatan cukup alot terjadi di rapat ketiga atau rapat
terakhir. Selama tiga setengah jam dewan juri akhirnya memilih hanya empat
unggulan dan tanpa pemenang,” tandas Anton. Alasan Dewan Juri, Sapardi Joko
Damono, tidak ada novel yang mengejutkan.
“Sebagian besar karya yang masuk adalah novel-novel yang
akan tumbang pada halaman-halaman awal karena gagal mengikat pembaca untuk
terus melanjutkan pembacaan. Beberapa cerita mampu menyajikan pembukaan yang
menarik, tetapi kemudian berkembang menjadi lanturan yang bertele-tele dan
kehilangan arah,” pungkas Anton Kurnia, salah seorang Dewan Juri.
Malas Membaca
Malam anugerah sayembara menulis novel 2010 yang diadakan
Dewan Kesenian Jakarta menggelar acara temu pengarang di lobi Teater Kecil,
Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, menghadirkan dua
novelis, yakni Ayu Utami dan Yonathan Rahardjo.
“Satu narasumber lain, Putu Wijaya, berhalangan hadir,”
kata Ahmadun Yosi Herfanda, ketua panitia pengarah dari Komite Sastra DKJ,
Jumat, 14 Januari 2011 malam. Dipandu moderator Martin Aleida, diskusi dalam
temu pengarang berlangsung menarik. Ayu dan Yonathan membagi kiat tentang
proses kreatif mengarang novel.
“Yang jadi soal sekarang bukan menulis tetapi membaca.
Banyak orang suka menulis namun tidak banyak yang suka membaca,” ujar Ayu. Sementara
itu, sastrawan Martin Aleida sempat menjawab pertanyaan mengapa novel-novel
pemenang sayembara biasanya tidak laris di pasaran.
“Mungkin sudah saatnya sastra yang diproduksi oleh
pengarang Indonesia kini diceritakan ulang kepada banyak kalangan, sehingga
faktor kuantitas pembacanya jadi meningkat. Seperti satu novel John Logan yang
terbit di Amerika Serikat menjadi bacaan wajib bagi anak-anak usia Sekolah
Dasar, setelah itu juga menjadi bacaan bagi remaja dan orang-orang dewasa di
Eropa. Sedangkan kelemahan kita di negeri ini belum ada kiat tertentu untuk
melariskan novel di pasar,” tutur Aleida.
Persiden, Wajar
Menang
SAYA sudah membaca teks Persiden Wisran Hadi pekan lalu. Menarik, ada kebaruan dalam teknik
penulisan. Dramatik dan penuh parodi. Ada permainan kata, permainan frasa,
permainan kalimat dalam penamaan tokoh-tokoh yang, bila dibahasa-minangkan,
menjadi ambigu. Contohnya tokoh Comaik
(coba dibaca dalam bahasa Minang, tentu menjadi, co maik alias seperti mayat). Ada lagi tokoh-tokoh Uni Sef, Uni
Lateral, dan Uni Emirat atau Pa Mikie, Pa Tanda, Pa Masuang, Pa Lendo. Judul Persiden itu sendiri sesungguhnya
berasal dari kata ”presiden” atau, secara persis, Presiden Theatre, tetapi
kebanyakan orang Minangkabau mengucapkanya persiden. Begitu juga ucapan Itawa,
Teba, Krang (dari Aie Tawa, Siteba, Ulak Karang).
Dan setting Persiden memang hanya di sekitar
Presiden Theater, Ulak Karang, Siteba, Balanti, Lapai, ”kawasan” yang dekat
dengan keseharian Wisran Hadi. Apakah tokoh-tokoh yang ditampilkan juga
merupakan tokoh-tokoh yang dekat dengan Wisran Hadi?
Kemenangan dan kehadiran Persiden seyogianya jadi cemeti bagi calon-calon sastrawan yang
berasal dari Sumatera Barat pada kurun sekarang ini. Setelah Warisan Chairul Harun (1979,
direkomendasi sebagai bacaan biasa
oleh DKJ) dan Ular Keempat Gus tf Sakai (Harapan I DKJ 2003), hampir tidak ada
novel-novel berkualitas, setidaknya dengan standar DKJ, lahir dari Sumatera
Barat. Ada Dadaisme (Pememang Pertama
DKJ 2003) oleh Dewi Sartika yang lahir di Cilegon tetapi kental darah
Minangkabaunya.
Saya tahu dan membaca sejumlah novel atau ”roman” (di antara
tanda petik) pengarang dari Sumatera Barat yang terbit selama 30 tahun terakhir
tetapi, itulah, maaf, menggunakan istilah Suryadi dari Negeri Belanda, mutu
novel-novel itu pantas dipertanyakan. Wisran Hadi sendiri sudah menulis dan
menerbitkan novel Tamu, Orang-orang
Blanti, Negeri Perempuan, Dari Tanah Tepi, Imam, tetapi Persiden, menurut pembacaan saya, memang
dua tingkat di atas Tamu.
Dan memang, tidak keliru andai ada anggapan atau guyon,
secara khusus dalam pernovelan (tetapi juga dalam jenis sastra yang lain),
kreativitas sastrawan Sumatera Barat seolah berhenti di tangan Gus tf Sakai.
Sekarang eksis Persiden tetapi dari Wisran
Hadi yang jauh lebih tua, lebih senior, dari Gus. Lalu, bagaimana?
Jawab pertanyaan ini perlu diskusi panjang, berhari-hari,
bertahun-tahun, dengan kepala dingin, dengan pemikiran yang cerdas dan bernas
serta kerja keras dan sungguh-sungguh. (Dan tidak perlu emosional, marah-marah,
seperti terbaca dalam jejaring internet.) Tahniah, Pak Wisran Hadi. Eh, saya lupa menyebut Gumam yang selevel dengan Warisan dan Bako (Pemenang Utama DKJ 1980). Tetapi tidak eloklah saya menyebut
dan membanding dengan karya sendiri.
Harian Haluan,
Minggu, 23 Januari 2011
Untuk resensi novel Persiden bisa dibaca di link Resensi Novel Persiden