Tak Setuju Ranah Minang Sarang Maksiat
Saafroedin Bahar |
“Selama
ini, secara normatif masyarakat Minangkabau merasa
dan menyatakan diri berdasar pada norma-norma adat Minangkabau dan agama Islam.
Dalam kenyataannya sudah banyak yang menyimpang,” kata Saafroedin Bahar, salah seorang tokoh
Minang berdomisili di Jakarta.
Menurutnya, seyogyanya salah satu sistem norma saja sudah lebih dari
cukup untuk menangkal gejala kemaksiatan ini. Nyatanya bahkan kombinasi
keduanya tidak lagi cukup ampuh. Jelas ada masalah mendasar yang perlu
dibenahi. Berikut ini wawancara Nasrul Azwar dengan Saafroedin Bahar, yang kini menjabat Ketua Dewan Penasihat Gerakan
Ekonomi dan Budaya Minang (Gebu Minang).
Sepanjang 6 bulan terakhir, Sumatera Barat tak lepas maraknya perbuatan
maksiat, dan puluhan tertangkap dalam razia malam. Bagaimana komentar Anda?
Secara pribadi tentu
saja saya sangat prihatin. Jelas sekali bahwa Minangkabau masa kini bukan lagi
Minangkabau yang kita bayangkan dahulu. Sudah banyak terjadi perubahan. Sebagian tentu
ada ke arah kebaikan dan kemajuan, tetapi juga ada yang sangat mengkhawatirkan oleh
karena sudah menggerogoti pilar-pilar kebudayaan Minangkabau. Kelihatannya
perubahan tersebut tidak terjadi mendadak, tetapi secara pelahan-lahan. Oleh karena itu
hampir tak ada reaksi sosial terhadapnya. Keluhan tentu ada, tetapi tidak cukup
untuk menegakkan norma-norma sosial yang secara normatif kita junjung tinggi.
Apakah ini bisa dikatakan bahwa Minangkabau telah menjadi sarang
maksiat. Bagaimana komentar Anda?
Saya tidak setuju dengan
pernyataan bahwa [seluruh] Minangkabau sudah menjadi sarang maksiat.
Kelihatannya masih ada bagian masyarakat dan nagari-nagari yang masih mampu
memelihara nilai-nilai tradisionalnya. Namun saya setuju jika disifatkan bahwa
Minangkabau sedang mengalami perubahan sosial yang dahsyat, dimana sistem nilai
sosial dan struktur sosialnya sedang mengalami proses kemerosotan dan terancam
tidak berfungsi lagi. Sedihnya, saya belum melihat adanya langkah nyata untuk
mengkaji apa sebabnya, sampai berapa luas cakupannya, langkah-langkah apa yang
perlu dilakukan agar kemerosotan sistemik tersebut bisa ditangkal, dan
langkah-langkah apa yang perlu dilakukan agar norma Minangkabau
ideal itu masih dapat dipelihara dan terpelihara dalam masyarakat Minangkabau,
terutama di Ranah. Sekadar catatan, saya masih bertanya dalam hati,
apakah gejala kemerosotan ini hanya berlangsung pada kita orang Minang di
Sumatera Barat, ataukah juga pada para perantau.
Apakah ini bertanda ABS-SBK tak jalan dan hanya tinggal kenangan?
Kalau saya tidak salah,
ABS-SBK merupakan kesepakatan informal kita orang
Minang pasca-Perang Paderi untuk menjadikan norma adat dan
agama sebagai rujukan dasar dalam kehidupan kita bermasyarakat. Masalah yang
kita hadapi dalam ABS SBK adalah secara menyeluruh belum ada penjabaran
lanjutnya secara lebih rinci, yang bisa kita amalkan dalam masyarakat. Jadi
sifatnya mirip Pancasila, yang ada baru kesepakatan umum, tetapi belum jelas
bagaimana mewujudkannya dalam kenyataan. Dalam hubungan ini, sekadar catatan
saja, bulan Desember 2010 yang lalu, dalam rangka menindaklanjuti Pasal 4
Anggaran Dasar Gebu Minang, dan bekerja sama dengan para
pemeduli ABS-SBK, telah diupayakan mengadakan Seminar
Kebudayaan Minangkabau Gebu Minang, khusus untuk membahas masalah ini. Syukur
Alhamdulillah, seminar ini berhasil baik merumuskan Pedoman
Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah; Syarak Mangato Adat
Mamakai; Alam Takambang Jadi Guru. Pedoman Pengamalan ABS-SBK ini sudah
disebarluaskan, baik secara langsung maupun melalui internet, dan telah menjadi
bahan ajar pada Fakultas Hukum Unversitas Muhammadiyah Sumatera Barat di Bukittinggi. Besar
kemungkinan Pedoman Pengamalan ini juga sudah mulai digunakan oleh para guru
Budaya dan Adat Minangkabau (BAM) di sekolah dasar dan sekolah menengah. Ciri
khas dari Pedoman Pengamalan ABS SBK yang digagas oleh Gebu Minang ini adalah:
pembahasannya dikaitkan dengan telaahan terhadap dinamika sejarah Minangkabau
sejak Eksepedisi Pamalayu 1275; menampilkan persamaan mendasar antara adat
Minangkabau dan agama Islam, khususnya dalam penegakan moral; oleh karena ABS
SBK merupakan norma yang perlu dilaksanakan, berusaha merinci bahan-bahan yang
perlu dibekalkan kepada unsur-unsur penting dalam masyarakat Minangkabau,
seperti perempuan, anak muda, kaum bapak, ninik mamak, alim ulama, cerdik
pandai. Pedoman Pengamalan ini juga merumuskan perlunya kerjasama dengan
pemerintah, baik dengan Pemerintah Daerah maupun dengan Pemerintah Pusat.
Menurut Prof Dr Azyumardi Azra, M.A. materi muatan Seminar ini merupakan upaya
'konsolidasi kebudayaan Minangkabau".
Untuk melaksanakannya,
Seminar Kebudayaan Minangkabau Gebu Minang ini mengharapkan terbentuk dan
berfungsinya kepemimpinan kolektif Minangkabau yang terdiri dari para ninik
mamak/penghulu; alim ulama; dan para cadiak pandai, secara terncana dan
berkelanjutan.
Sudah barang tentu
kandungan Pedoman Pengamalan ABS SBK yang diprakarsai Gebu Minang ini belum
sempurna. Para peserta Seminar mengharapkan Pemerintah Daerah Sumatera Barat
bersedia memprakarsai sebuah Kongres Kebudayaan Minangkabau pada tahun 2011
yang lalu. Saya belum tahu sampai berapa jauh Pemerintah Daerah Sumatera Barat
telah merespons harapan ini.
Apakah ini sebagai indikasi lemahnya pengawasan pemerintah, kontrol sosial,
dan juga lemahnya sistem hukum yang berlaku?
Saya setuju dengan
jawaban tersirat dari pertanyaan itu. Rasanya banyak
yang perlu dibenahi, agar supaya masyarakat Minangkabau bukan saja bisa
memelihara ABS SBK sebagai identitas kulturalnya, tetapi juga agar supaya
seluruh unsur-unsurnya bisa saling percaya mempercayai serta saling mendukung
satu sama lain. Secara pribadi saya sangat risau dengan temuan sejarawan Jeff
Hadler dalam bukunya yang berjudul Sengketa Tiada Putus, atau dengan
temuan Prof von Benda-Beckmann tentang Goyahnya Tangga
Menuju Mufakat, yang
menggambarkan masalah kehidupan sosial masyarakat kita orang Minangkabau.
Sehubungan dengan itu,
saya sungguh sedih membaca berita-berita media massa di Sumatera Barat, serta
membaca wacana kita orang Minang di Facebook, tentang berbagai
masalah keminangkabauan, yang lebih banyak negatifnya daripada positifnya, dan
mengharapkan adanya upaya yang mendasar, sistematis, dan berkelanjutan untuk
menyegarkan serta merevitalisasi nilai-nilai moral yang bersumber pada adat dan
agama ini.
Syukurnya, tanggal 24
dan 25 Maret ini, organisasi perantau Solok bekerja
sama
dengan berbagai fihak, akan menyelenggarakan Musyawarah Adat untuk membahas
tema Manajemen Suku. Saya ikut berdoa semoga Musyawarah Adat ini berhasil baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar