Sabtu, 24 Agustus 2013

Wawancara dengan Saafroedin Bahar, Tokoh Perantau Minang



Tak Setuju Ranah Minang Sarang Maksiat
Saafroedin Bahar
“Selama ini, secara normatif masyarakat Minangkabau merasa dan menyatakan diri berdasar pada norma-norma adat Minangkabau dan agama Islam. Dalam kenyataannya sudah banyak yang menyimpang,” kata Saafroedin Bahar, salah seorang tokoh Minang berdomisili di Jakarta.

Menurutnya, seyogyanya salah satu sistem norma saja sudah lebih dari cukup untuk menangkal gejala kemaksiatan ini. Nyatanya bahkan kombinasi keduanya tidak lagi cukup ampuh. Jelas ada masalah mendasar yang perlu dibenahi. Berikut ini wawancara Nasrul Azwar dengan Saafroedin Bahar, yang kini menjabat Ketua Dewan Penasihat Gerakan Ekonomi dan Budaya Minang (Gebu Minang).
Sepanjang 6 bulan terakhir, Sumatera Barat tak lepas maraknya perbuatan maksiat, dan puluhan tertangkap dalam razia malam. Bagaimana komentar Anda?
Secara pribadi tentu saja saya sangat prihatin. Jelas sekali bahwa Minangkabau masa kini bukan lagi Minangkabau yang kita bayangkan dahulu. Sudah banyak terjadi perubahan. Sebagian tentu ada ke arah kebaikan dan kemajuan, tetapi juga ada yang sangat mengkhawatirkan oleh karena sudah menggerogoti pilar-pilar kebudayaan Minangkabau. Kelihatannya perubahan tersebut tidak terjadi mendadak, tetapi secara pelahan-lahan. Oleh karena itu hampir tak ada reaksi sosial terhadapnya. Keluhan tentu ada, tetapi tidak cukup untuk menegakkan norma-norma sosial yang secara normatif kita junjung tinggi.
Apakah ini bisa dikatakan bahwa Minangkabau telah menjadi sarang maksiat. Bagaimana komentar Anda?
Saya tidak setuju dengan pernyataan bahwa [seluruh] Minangkabau sudah menjadi sarang maksiat. Kelihatannya masih ada bagian masyarakat dan nagari-nagari yang masih mampu memelihara nilai-nilai tradisionalnya. Namun saya setuju jika disifatkan bahwa Minangkabau sedang mengalami perubahan sosial yang dahsyat, dimana sistem nilai sosial dan struktur sosialnya sedang mengalami proses kemerosotan dan terancam tidak berfungsi lagi. Sedihnya, saya belum melihat adanya langkah nyata untuk mengkaji apa sebabnya, sampai berapa luas cakupannya, langkah-langkah apa yang perlu dilakukan agar kemerosotan sistemik tersebut bisa ditangkal, dan langkah-langkah apa yang perlu dilakukan agar norma Minangkabau ideal itu masih dapat dipelihara dan terpelihara dalam masyarakat Minangkabau, terutama di Ranah. Sekadar catatan, saya masih bertanya dalam hati, apakah gejala kemerosotan ini hanya berlangsung pada kita orang Minang di Sumatera Barat, ataukah juga pada para perantau.
Apakah ini bertanda ABS-SBK tak jalan dan hanya tinggal kenangan?
Kalau saya tidak salah, ABS-SBK merupakan kesepakatan informal kita orang Minang pasca-Perang Paderi untuk menjadikan norma adat dan agama sebagai rujukan dasar dalam kehidupan kita bermasyarakat. Masalah yang kita hadapi dalam ABS SBK adalah secara menyeluruh belum ada penjabaran lanjutnya secara lebih rinci, yang bisa kita amalkan dalam masyarakat. Jadi sifatnya mirip Pancasila, yang ada baru kesepakatan umum, tetapi belum jelas bagaimana mewujudkannya dalam kenyataan. Dalam hubungan ini, sekadar catatan saja, bulan Desember 2010 yang lalu, dalam rangka menindaklanjuti Pasal 4 Anggaran Dasar Gebu Minang, dan bekerja sama dengan para pemeduli ABS-SBK, telah diupayakan mengadakan Seminar Kebudayaan Minangkabau Gebu Minang, khusus untuk membahas masalah ini. Syukur Alhamdulillah, seminar ini berhasil baik merumuskan Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah; Syarak Mangato Adat Mamakai; Alam Takambang Jadi Guru. Pedoman Pengamalan ABS-SBK ini sudah disebarluaskan, baik secara langsung maupun melalui internet, dan telah menjadi bahan ajar pada Fakultas Hukum Unversitas Muhammadiyah Sumatera Barat di Bukittinggi. Besar kemungkinan Pedoman Pengamalan ini juga sudah mulai digunakan oleh para guru Budaya dan Adat Minangkabau (BAM) di sekolah dasar dan sekolah menengah. Ciri khas dari Pedoman Pengamalan ABS SBK yang digagas oleh Gebu Minang ini adalah: pembahasannya dikaitkan dengan telaahan terhadap dinamika sejarah Minangkabau sejak Eksepedisi Pamalayu 1275; menampilkan persamaan mendasar antara adat Minangkabau dan agama Islam, khususnya dalam penegakan moral; oleh karena ABS SBK merupakan norma yang perlu dilaksanakan, berusaha merinci bahan-bahan yang perlu dibekalkan kepada unsur-unsur penting dalam masyarakat Minangkabau, seperti perempuan, anak muda, kaum bapak, ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai. Pedoman Pengamalan ini juga merumuskan perlunya kerjasama dengan pemerintah, baik dengan Pemerintah Daerah maupun dengan Pemerintah Pusat. Menurut Prof Dr Azyumardi Azra, M.A. materi muatan Seminar ini merupakan upaya 'konsolidasi kebudayaan Minangkabau".
Untuk melaksanakannya, Seminar Kebudayaan Minangkabau Gebu Minang ini mengharapkan terbentuk dan berfungsinya kepemimpinan kolektif Minangkabau yang terdiri dari para ninik mamak/penghulu; alim ulama; dan para cadiak pandai, secara terncana dan berkelanjutan.
Sudah barang tentu kandungan Pedoman Pengamalan ABS SBK yang diprakarsai Gebu Minang ini belum sempurna. Para peserta Seminar mengharapkan Pemerintah Daerah Sumatera Barat bersedia memprakarsai sebuah Kongres Kebudayaan Minangkabau pada tahun 2011 yang lalu. Saya belum tahu sampai berapa jauh Pemerintah Daerah Sumatera Barat telah merespons harapan ini.
Apakah ini sebagai indikasi lemahnya pengawasan pemerintah, kontrol sosial, dan juga lemahnya sistem hukum yang berlaku?
Saya setuju dengan jawaban tersirat dari pertanyaan itu. Rasanya banyak yang perlu dibenahi, agar supaya masyarakat Minangkabau bukan saja bisa memelihara ABS SBK sebagai identitas kulturalnya, tetapi juga agar supaya seluruh unsur-unsurnya bisa saling percaya mempercayai serta saling mendukung satu sama lain. Secara pribadi saya sangat risau dengan temuan sejarawan Jeff Hadler dalam bukunya yang berjudul Sengketa Tiada Putus, atau dengan temuan Prof von Benda-Beckmann tentang Goyahnya Tangga Menuju Mufakat, yang menggambarkan masalah kehidupan sosial masyarakat kita orang Minangkabau.
Sehubungan dengan itu, saya sungguh sedih membaca berita-berita media massa di Sumatera Barat, serta membaca wacana kita orang Minang di Facebook, tentang berbagai masalah keminangkabauan, yang lebih banyak negatifnya daripada positifnya, dan mengharapkan adanya upaya yang mendasar, sistematis, dan berkelanjutan untuk menyegarkan serta merevitalisasi nilai-nilai moral yang bersumber pada adat dan agama ini.
Syukurnya, tanggal 24 dan 25 Maret ini, organisasi perantau Solok bekerja sama dengan berbagai fihak, akan menyelenggarakan Musyawarah Adat untuk membahas tema Manajemen Suku. Saya ikut berdoa semoga Musyawarah Adat ini berhasil baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...