Maksiat Cermin
Masyarakat Rusak
“Menjamurnya mak
asiat mencerminkan
masyarakat yang sudah rusak. Kerusakan itu terjadi akibat kesalahan setiap
elemen pemimpin negeri ini. Akibatnya, ketika masyarakat sudah menjadi bagian
dari maksiat, maka, maksiat itu akan menjadi perbutan yang dinilai biasa,” kata
Gusrizal Gazahar dalam wawancara dengan Rahmat Hidayat. Berikut petikan lengkap
wawancara itu.
Gusrizal Gazahar |
Apa yang Anda katakan terkait maraknya
perbutan maksiat akhir-akhir ini di Ranah Minang?
Perbuatan maksiat mengundang murka Allah.
Secara pribadi saya prihatin dengan bermunculannya beragam maksiat yang
dilaporkan media massa akhir-akhir ini. Hal tersebut tentu mencederai perasaan
kita sebagai orang Minang. Apalagi, Minang dikenal kental dengan nilai-nilai
religius sejak dulu.
Pada dasarnya, daerah Minangkabau merupakan
daerah yang menguntungkan untuk melaksanakan dakwah Islam. Namun, kecepatan
tumbuhnya kejahatan maksiat, tidak sebanding dengan kamampuan lembaga-lembaga
dakwah untuk mengiringnya.
Menjamurnya makasiat mencerminkan
masyarakat yang sudah rusak. Kerusakan itu terjadi akibat kesalahan setiap
elemen negeri ini. Akibatnya, ketika masyarakat sudah menjadi bagian dari
maksiat, maka, maksiat itu akan menjadi perbutan yang dinilai biasa.
Beberapa waktu yang lalu, negeri yang
yang kita cintai ini dipermalukan dengan perbutan maksiat yang dilakukan
seorang yang seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat, yaitu Kepala KUA Kayu
Tanam. Kasus seperti ini menurut saya bukan menjadi yang terakhir, melainkan
akan terus berkelanjutan, jika kita terus diam dengan keadaan yang ada.
Apa itu arti maksiat
dalam Islam?
Perbutan maksiat merupakan, prilaku yang dilakukan manusia yang keluar dari
tuntunan-tuntunan agama. Sementara taubat merupakan merupakan satu-satunya
jalan yang harus dilakukan. Allah berfirman dalam An-Nisaa’ ayat 17, yang
artinya, Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah
taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang
kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah
taubatnya, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Perberbuat maksiat dengan dapat dikatakan, apabila pelaku melakukan secara
sadar, ataupun tidak sadar. Jika di katagorikan, perbutan maksiat terjadi dapat
dibedakan menjadi tiga, Pertama orang yang berbuat maksiat kepada Allah baik dengan tidak sengaja. Kedua, orang yang melakukan maksiat karena kurang
kesadaran lantaran sangat marah, atau karena dorongan hawa nafsu. Ketiga, orang yang melakukan maksiat
secara sengaja.
Dalam pandangan saya, kemaksiatan yang dilakukan secara sengaja, lebih
dekat dengan realita kita sekarang. Pasalnya, kemaksiatan yang dilakukan secara
tidak sengaja hanya dilakukan orang melakukan secara terpaksa, seperti
melakukan kejahatan dibawah intimidasi. Tetapi, kemaksiatan yang terjadi karena
dipelihara, terjadi akibat kesengajaan. Misalnya di Kota Padang. beragam
kemaksiatan jelas-jelas sudah tampak di pelupuk mata. Namun, aktivitas tersebut
dibiarkan saja. Jangankan pemerintah, masyarakat kota padang saja, sangat
mengetahui di mana, tempat bersarangnya sarang maksiat.
Allah berfirman dalam surat An-Nisaa’ ayat 47, Hai
orang-orang yang telah diberi Al Kitab, berimanlah kamu kepada apa yang telah
Kami turunkan (Al Quran) yang membenarkan Kitab yang ada pada kamu sebelum Kami
mengubah muka (mu), lalu Kami putarkan ke belakang, atau Kami kutuki mereka
sebagaimana Kami telah mengutuki orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari
Sabtu. Dan ketetapan Allah pasti berlaku. Dalam ayat ini Allah menerangkan bagaimanan kaum yang melanggar hukum secara
sengaja. Ayat ini mengingatkan kita, Jangan sampai kita dikutuki Allah karena
membirakan maksiat tetap ada.
Lalu apa penyebab maraknya
perilaku maksiat itu?
“Tukang gambalo sadang takalok.” Saya
lebih cenderung mengungkapkan perkataaan ini terkait keadaan pemimpin dan
pemuka masyarakat kita saat ini. Jika sudah tukang gembala yang tertidur, maka
gembalaan tentu akan kucar-kacir. Jika umat sudah kucar-kacir dan kehilangan
keteladanan, tentu akan memicu munculnya maksiat.
Para penguasa lebih cenderung menggalakkan syiar-syiar agama melalui
kegiatan-kegiatan seremonial, perlombaan, maupun seminar-seminar keagamaan.
Memang hal tersebut tidak ada salahnya. Yang menjadi permasalahan, jika di satu
sisi kita mensy’arkan agama, tetapi di lain sisi kita membirakan kemaksiatan.
Hal tersebut tentu hal itu akan kontradiktif dengan perintah Allah. Padahal,
kita di suruh untuk melakukan amar-ma’ruf nahi mungkar.
Allah berfirman dalam surat Ali-Imran ayat 110. Kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. Melalui ayat ini Allah
memuji umat Islam melalui karekternya. Karakter umat Islam adalah berlemah
lembut kepada sesama muslim, serta keras terhadap kemaksiatan.
Pada sisi lain, umat juga dibingungkan dengan keberadaan ormas-ormas Islam yang
saling gontok-gontokan. Mereka mengklaim kelompok merekalah yang paling benar.
Keadaan ini terus memperparah posisi kedaan umat. Para ulama hanya sibuk dengan
diri organisasinya, sebahagian mereka lupa dengan tugas utamanya, untuk
mengingatkan umat kepada jalan yang kebaikan. Oleh sebab itu, Umat semakin kehilangan figur dan
keteladanan.
Apa yang harus dilakukan
agar maksiat bisa dihapuskan di Ranah Minang?
Melihat kondisi demikian, posiisi umat
berada pada pihak yang tidak diutungkan. Umat menjadi Islam korban akibat
perseteruan dan kesalahan para pemimpin dan ulama. Keberadaan adat basandi
syarak, syarak basandi Kitabullah, syarak mangato adat memakai hanya menjadi
falsafah, yang tidak terwujud dalam kehidupan nyata.
Bagi saya, petuah, atau falsafah, hanya
bagian dari proses Islamisasi, bukan final Islamisasi. Maksudnya, keberadaan
falsafah akan terwujud jika masyarakat mau tunduk, dan menjalankan subtansinya.
Salain itu sebuah falsafah tidak akan berarti, tanpa ada legislasi, atau
konsekuensi hukum yang dapat membuat umat menjalankannya.
Menurut saya, mengintrospeksi diri
merupakan hal yang pertama sekali harus dilakukan. Mulai dari pemimpin hingga rakyat, harus
mengoreksi dirinya. Hal ini harus dilakukan, jika ingin kedaan ini menjadi
lebih baik.
Introspeksi sama halnya dengan menghisab diri. Maksudnya, hendaklah kita
selalu merenungkan setiap dosa dan kesalahan yang telah kita buat dalam
kehidupan ini. Mudah-mudahan, dengan kita senantiasa mengingat dosa-dosa yang telah kita lakukan
akan memberikan motivasi pada diri kita untuk berbuat kebaikan.
Jika hal tersebut sudah dilakukan,
pemerintah harus berani mencegah setiap kegiatan yang mengundang kemaksiatan.
Misalnya, dengan menutup setiap tempat-tempat hiburan malam tanpa tebang pilih.
Sebab, membiarkan kemaksiatan berdampingan dengan kebaikan, maka kebaikan itu
akan kalah. Pada satu sisi, kita giat mengalakkan jargon-jargon keagaamaan,
tetapi di sisi lain tetap membiarkan kemaksiatan. Hal ini sama saja dengan
memperolok-olokan Allah.
Allah berfirman, dalam surat Al-A’raaf Ayat
96, yang artinya, jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.
Selajutnya, menghubungkan silaturhami
adalah hal yang paling penting untuk dilakukan. Sebab, hilangnya silaturahim di
antara kita, akan membuat umat lemah. Para pemimpin merangkul orang-orang yang
dipimpin, sedangkan orang-orang yang dipimpin harus berlapang dada dengan yang
dipimpin. Para ulama kembali pada marwah yang sesunggah. Dengan demikian,
mudah-mudahan kemaksitan dapat dicegah, dan tidak lagi terdengar di negeri kita
ini.(Pewawancara Rahmat Hidayat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar