Satpol PP lakukan razia (Foto Haswandi) |
Menurut tatanan adat di
Minang, maksiat adalah perilaku yang bertentangan dengan budaya orang Minang.
Di zaman dulu, bila ada yang tertangkap dalam perbuatan maksiat, keduanya
digiring beramai-ramai dan diikuti dengan gendang tempurung.
Laporan terkait baca wawancara dengan Saafroedin
Bahar, tokoh perantau Minang, dan
Gusrizal Gazahar, Kabid Fatwa MUI Sumbar
Di zaman yang disebut
orang “zaman maju” sekarang perilaku maksiat itu bukan lagi peristiwa aneh. Para remaja sepertinya “direstui” berpacaran. Dahulu berpacaran hanya lewat surat saja. Surat yang akan
diberikan kepada gandak (pacar),
lipat surat itupun dibuat khusus, dan dikirim melalui “mak
comblang”.
Begitu
benar sulitnya bergandak dimasa dahulu. Kini semuanya mengalami perubahan. Anak
anak remaja seolah dibiarkan berpacaran. Adat biarlah bak kata adat. “Diiyokan nan diurang, dilalukan nan diawak.” Artinya kehendak pribadi didahulukan. Kini raso pareso itu sudah hilang. Tatanan
adat yang menjadi kebanggan kita orang Minang hilang ditelan kemajuan.
Kemenakan tak takut bahkan tidak malu berbuat tak senonoh di depan mamak
pangulunya sendiri. Memang tak semua pangulu berperilaku seperti itu, tapi
itulah yang kini terjadi di tengah masyarakat. Maksiat yang kini marak terjadi
sangat mempermalukan budaya Minang
Bila kita coba cermati,
maksiat memang mulai menjamur dimana-mana. Jangankan anak berusia remaja yang
terjangkit penyakit masyarakat itu, akan tetapi terkadang justru dilakukan oleh
sang pengulunya sendiri. Itupun ada juga yang dilakukan antara sesama dalam
pesukuannya sendiri. Artinya maksiat dilakukan antara mamak dengan kemenakan,
bahkan ayah dengan sianak kandung juga sering terdengar ditelinga kita
Dalam beberapa waktu
belakangan, perbuatan maksiat menjadi berita di berbagai media. Pemberitaan itu
sepertinya sudah "mencoreng arang di
kening". Malu itu malu kita bersama sebagai masyarakat Minang yang
didengungkan berbudaya tinggi. Adat bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah
sebagai filosofi masyarakat Minang sepertinya tinggal slogan.
Ada beberapa hal yang
menjadi penyebabnya. Di samping perilaku mamak yang tak lagi jadi tauladan bagi
anak kemenakan, juga disebabkan pergaulan bebas di kalangan remaja.
Bagi sebagian keluarga,
mereka merasa hina jika anaknya tak memiliki pacar. Sang keluarga meraa bangga
jika anaknya memiliki pacar. Mereka tentu akan leluasa pergi berduaan. Ketika
lagi bermesraan duduk berdua di tempat sunyi, “setan” akan datang. Bila di antaranya tak kuat iman, maka
terjadilah perbuatan maksiat itu. Ibarat pepatah “kentimun disatukan dengan durian,
mana mungkin tak akan melukai.”.
Penyebab lain yang
memicu berjangkitnya maksiat adalah “warnet”. Melalui jendela dunia itu, semua
orang dapat mengakses tontonan ataupun gambar yang belum saatnya mereka lihat.
Para ulama maupun
penegak hukum sangat sering menyampaikan fatwa agar kita semua menjauhi maksiat
"wala takrabuzzina".
Warnet kini menjamur
dimana-mana. Secara hakiki internet memang dibutuhkan untuk mencari berbagai
ilmu. Tapi terkadang anak muda duduk di warnet hingga larut malam justru lebih suka membuka situs situs porno.
Bagi pemilik warnet hal itu tak terlalu dipersoalan sepanjang pelanggan mereka
mau membayar setiap jam yang terpakai. Bahkan ada pengelola warnet sengaja
memasang tarif murah agar langganan banyak. Artinya operasional warnet belum
terkendalikan secara baik.
Kini tinggal lagi kepada
para pemangku adat terutama kelembagaan KAN (Kerapatan Adat Nagari) bersama
pemerintah. Akankah persoalan maksiat ini
dibiarkan. Tentunya tidak. Untuk itu diperlukan sebuah format agar
maksiat bisa dikendalikan. Jangan muncul istilah yang tidak populer “mari
bermaksiat”. Dudukkan masalah ini "satu meja antara jajaran pemerintah
dengan pemangku adat. Agar dapat mengekang perilaku yang tak sesuai lagi dengan
tatanan budaya Minang yang bersedikan Kitabulllah ini.
Perilaku
Asusila Telah Jadi Biasa
Perubahan sosial dan
kurangnya rasa malu, serta tumbuh pesatnya hiburan malam, memicu maraknya
perbuatan dan perilaku asusila. ABS-SBK sedang dipertaruhkan?
Belakangan ini, Sumatera
Barat diributkan dengan masalah maksiat, mesum, dan perilaku sosial yang
menyimpang lainnya. Setiap razia digelar tak sedikit wanita yang tertangkap.
Selain itu, nyaris setiap hari media memberitakan terjaringnya wanita-wanita
malam yang juga sebagian besar mahasiswa yang kuliah di Padang.
Selain itu kasus
pemerkosaan dan perbuatan mesum yang terang-terangan dilakukan di wilayah
publik, seperti tertangkapnya Kepala KUA Kayu Tanam, kasus pemerkosaan juga
meningkat.
Akumulasi persoalan
mesum dan maksiat itu sebagai penyakit masyarakat, tentu sangat bertolak
belakang dengan filosofi dan pandangan
hidup masyarakat Minang, yang menjunjung adat basandi syarak, syarak
basandi Kitabullah.
Pertumbuhan hotel di
berbagai kota di Sumatera Barat, yang marak, tak bisa tidak memberi andil
tumbuhnya penyakikt masyarakat itu. Selain itu, banyak kafe dan pub serta
hiburan malam yang tumbuh pesat lima tahun terakhir tak bisa tidak juga
menyumbang paling besar untuk penyakit masyarakat.
Menurut Eka Vidya Putra,
pengamat kebijakan publik dari Universitas Negeri Padang (UNP) tindakan asusila,
mesti dilihat secara multifaktor. Ada konstruksi sosial yang menyebabkan itu
terjadi yaitu perubahan nilai-nilai.
“Dulu tabu, sekarang
menjadi biasa. Media turut menyumbang ‘kebiasaan’ yang dimaksud,” kata Eka
Vidya Putra.
Ia menilai, konstruksi
sosial itulah yang membuat asusila terus berkembang, bahkan cenderung menjadi
‘biasa’ melihat intensitasnya yang semakin tinggi.
Malu, sambungnya, yang
dulu berpengertian takut mengerjakan yang salah, berubah menjadi biasa.
Laki-laki dan perempuan tak malu berpegangan tangan di tengah keramaian meski
belum menikah, tidak malu berselingkuh, dan sebagainya.
“Kenapa malu hilang?”
tanya Eka. Dia menganalisis, media turut ‘menghilangkan’ rasa malu dengan menampilkan tayangan-tayangan atau
gambar seronok. Karena dilihat terus menerus, akhirnya wilayah yang tabu, yang
rahasia, menjadi tontonan orang banyak. Dan itu terjadi dalam waktu yang
panjang.
Berita-berita
perselingkuhan tiap hari diekspos, perkosaan, sehingga wilayah yang ‘serius’,
oleh media mengaburkan keseriusannya. Tak hanya rasa malu, rasa takut berbuat
pun perlahan dikikis. Berdirinya tenda-tenda di tepi pantai, yang sering
dijadikan tempat asusila, menurut Eka contoh hilangnya rasa takut.
“Tak bisa disangkal,
tenda-tenda itu didirikan di ruang publik, ruang yang ramai. Tapi itu tetap
saja terjadi,” ujarnya. Menurut Eka, asusila kini sebenarnya telah terjadi di
ruang publik, dalam pengertian terang-terangan.
Bagi Eka, tempat-tempat
yang memungkinkan untuk berbuat asusila seperti hotel, bukan penyebab langsung
terjadinya asusila. Menurutnya, ia hanya sebuah sarana, tempat yang
memungkinkan untuk melakukannya.
Dicontohkannya, andai di
hotel diberikan larangan dan mengharuskan setiap pasangan yang menginap
memiliki KTP, dua hal bisa akan terjadi. Pertama, mencari sarana (tempat) yang
lain, atau pemilik hotel mengakalinya di tengah persaingan bisnis hotel yang
ketat.
Eka mengatakan, karena
persoalannya nilai, pemerintah berkewajiban membuat kebijakan-kebijakan untuk
memperbaiki nilai-nilai tersebut. “Jika yang dibuat peraturan-peraturan seperti
harus memiliki surat nikah menginap di hotel, manfaatnya tidak akan besar,”
ujarnya.
Lebih jauh Eka,
memperbaiki nilai sama artinya dengan menunjukkan akibat-akibatnya. Dengan
pengertian lain untuk pengetahuan. Di hotel misalnya, dipasang stiker penyebab
penyakit AIDS, petugas-petugas hotel dibekali pengetahuan yang sama untuk
mengingatkan tamu-tamunya.
“Butuh waktu yang lama
untuk menanamkan nilai-nilai,” katanya. Tapi intinya, sebut Eka, ia berguna
untuk memberika kesadaran.
Perubahan
Nilai
Sementera itu, sosiolog
Universitas Andalas (Unand) Prof Damsar sepakat perbuatan asusila terjadi
menunjukkan perubahan nilai-nilai. Nilai-nilai lama yang dimiliki tak banyak
dijadikan pegangan karena begitu derasnya nilai-nilai baru yang masuk.
“Kita sedang mencari
jati diri,” sebutnya. Tapi Damsar mengingatkan, dalam proses itu harus ada yang
mengawal dan membimbing seperti pemerintah atau masyarakat. “Namun, yang
terutama adalah keluarga,” katanya. Menurutnya, penanaman nilai-nilai, kokoh
atau goyah, berawal dari keluarga.
Tak
Setuju
Gubernur Sumbar Irwan
Prayitno tidak setuju bila dikatakan Sumbar sebagai sarang maksiat hanya
berdasarkan maraknya pemberitaan sejumlah media massa tentang praktik asusila
itu. Sebab parameternya harus jelas
dengan mempertimbangkan jumlah penduduk Sumbar yang lebih 4 juta jiwa.
Sementara mereka yang terlibat perbuatan memalukan itu hanya segelintir.
“Tetapi memang tak dapat
dipungkiri bila belakangan ini masyarakat dihebohkan dengan perbuatan maksiat
yang justru melibatkan orang-orang yang patut menjadi panutan, seperti seorang
Kepala KUA. Juga praktek maksiat yang melibatkan sejoli bertali darah (saudara
sepupu) atau bapak menodai anak tirinya.
“Kita tidak menutup mata
adanya praktik maksiat di tengah masyarakat. Dan dalam salah satu kasus justru
melibatkan Kepala KUA. Tetapi itu tidak dapat dijadikan ukuran untuk menyebut
Sumbar sebagai sarang maksiat,” kata Irwan Prayitno.
Dikatakan, untuk
menyebut banyaknya kasus maksiat tentunya harus berdasarkan data statistik. Dan
data statistik itu perlu pula diuji kebenarannya itu di lapangan. Dan bila
ingin menyebut banyak maksiat di daerah ini, harus memenuhi angka minimal 30
persen jumlah penduduk Sumbar melakukannya.
Dari berbagai kasus
maksiat itu, katanya, semua berpulang kepada lingkungan keluarga. Umumnya
pelaku maksiat berasal dari keluarga yang berantakan, banyak konflik, seperti
hubungan suami istri yang tidak harmonis, dominasi istri terhadap suami,
komunikasi anak dengan ayah atau dengan ibunya tidak lancar. Hubungan yang
kurang bagus ini menyebabkan masing-masing pihak mencari ketenangan dan
kenyamanan di luar rumah.
Ditambah lagi bila
pendidikan agama dalam keluarga itu juga amat minim. Lantunan ayat suci Alquran
tak pernah diperdengarkan dalam rumah, ibadah wajib salat 5 waktu juga jarang
dilakukan. Masing-masing pihak bisa gelap mata sehingga melakukan perbuatan
yang melanggar norma susila dan norma agama.
“Sekali lagi, fenomena
itu bukan menggambarkan kiamatnya moral masyarakat Sumbar. Perbuatan itu hanya
dilakukan segelintir masyarakat yang masuk kategori keluarga tidak harmonis dan
pendidikan agama yang kurang,” tegas Irwan.
Karena mantan anggota
DPR RI ini yakin, masih banyak keluarga harmonis yang saling menyayangi dan
melindungi anggota keluarganya dari perbuatan maksiat. Mesjid, mushalla dan
surau masih selalu ramai bagi umat muslim yang hendak menunaikan kewajibannya
dan mengisi jiwanya dengan mendengarkan siraman rohani.
Dan pemerintah daerah
baik provinsi maupun kabupaten/kota telah menelurkan berbagai peraturan untuk
memerangi kemaksiatan ini. Kegiatan keagamaan pun banyak digelar untuk
menggerakan perhatian masyarakat agar
condong pada perbuatan baik, seperti magrib mengaji, shubuh mubarokah, wirid
atau pengajian setiap Jumat sebelum memulai pekerjaan. Sedangkan tindakan hukum
bagi pelaku juga telah dilaksanakan dengan baik oleh aparat penegak hukum.
Sarang
Maksiat
“Minangkabau
sarang
maksiat?” Kalimat penuh tanda tannya itu terlontar dengan nada kagat
dari mulut Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Kabupaten
Agam, Drs Mardius Asmaan Dt Saripado, ketika pertanyaan yang sama dilontarkan
kepadanya.
Nyiak Datuak, yang
pensiunan pejabat penting di Pemkab Agam itu sejenak terdiam di ujung gagang ponselnya.
Kemudian ia berujar: “Sebagai anak Minang saya sangat tidak setuju bila ada
yang menyebut Minangkabau sarang maksiat. Mungkin ada perbuatan segelintir
orang, yang mengaku orang Minang, yang mengotori nama baik Minangkabau dengan
perbuatan kotor mereka,” ujarnya.
Menurut Dt Saripado,
siapa pun yang mengaku orang Minang adalah pemeluk Islam yang terbilang
fanatik. Makanya, ia berani memastikan, tidak ada anak Minang yang melakukan
perbuatan maksiat. Bila ada yang tergelincir, merupakan kewajiban segenap orang
Minang untuk menyadarkannya. Bila tidak bisa dibina, maka ia akan dibuang
sepanjang adat. Artinya, tidak diakui lagi sebagai orang Minang,khususnya dalam
pasukuan yang bersangkutan.
“Saya memang sering membaca di koran, kalau
petugas Satpol PP menangkap pelaku maksiat. Pasangan ilegal itu ditangkap dari
penginapan atau hotel yang ada di Sumbar, termasuk di Agam. Tetapi mayoritas
pelaku maksiat itu adalah orang luar, khususnya luar Agam,” ujarnya.
Kini yang perlu
dilakukan segenap warga Agam, tanpa kecuali, adalah membimbing anak-kemenakan
mereka dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai anak-kemenakan bergaul dengan orang
yang tidak beres. Kepada anak nagari, khususnya para pemuda yang tergabung
dalam Parik Paga Nagari, agar selalu waspada. Jangan memberi kesempatan kepada
siapa pun untuk mengotori nagari mereka dengan perbuatan maksiat.
Peranan ninik mamak
harus lebih ditingkatkan dalam mengawal anak-kemenakan mereka. Karena tugas
mengawasi anak-kemenakan adalah tugas utama dalam kaum. Ninik mamak akan
dibantu dubalang kaum, serta unsur alim ulama, cadiak pandai, dan bundo
kanduang.
“Cara paling praktis mengawasi anak kemenakan
adalah dengan mendidik mereka dengan pendidikan dan jiwa agama sejak dini,”
tukuknya.
Anggota DPRD Agam dari
Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar), Efendi RM menilai maraknya maksiat
akibat lemahnya iman dan pengawasan dari pihak berkompeten.
“Pihak
berkompeten tersebut bisa saja dari pihak orang tua, mamak, aparatur
pemerintahan nagari sampai ke tingkat Kabupaten Agam. Mestinya, orangtua
mendidik dan mengawasi putra-putri mereka. Dengan demikian mereka tidak akan
terjerumus ke lembah maksiat,” terang Efendi.
Di sisi lain, Pemkab
Agam dan DPRD Agam juga dinilainya lalai. Mengapa sejauh ini belum juga membuat
peraturan daerah (Perda) tentang penyakit masyarakat. Mestinya Agam sudah
memiliki Perda, yang mengatur pelaku dan tempat melakukan perbuatan maksiat.
“Perbuatan
maksiat terjadi bila ada kesempatan, dan ada pula tempat untuk itu. Tempat yang
dimaksudkannya antara lain hotel, penginapan, atau home stay,” katanya.
Lemahnya pengawasan dari
anak nagari dan pemerintah, menyebabkan pelaku perbuatan maksiat dan
pengelola/pemilik hotel/penginapan bersilantas angan melakukan melakukan
konspirasi jahatnya. Pelaku, dalam konteks itu pasangan ilegal, bisa leluasa
menyewa kamar di hotel/penginapan. Mereka yakin, dengan hanya membayar sejumlah
uang sewa, kamar untuk praktik maksiat bisa mereka dapatkan. Pengelola/pemilik
hotel juga berdalih untuk cari uang. Bila tidak menerima tamu pasangan ilegal
tersebut, mereka khawatir tidak akan mampu menutupi biaya operasional
hotel/penginapan mereka.
“Mesti ada perda dengan
sanksi yang tegas. Dengan demikian perbuatan maksiat di Agam bisa ditekan,”
ujar Efendi.
Menurut Efendi, yang
biasa menyewakan kamar untuk perbuatan maksiat adalah home stay yang tersebar di Kecamatan Tanjung Raya. Hal itu
memungkinkan, karena tamu sangat minim, dan sewa kamar relatif murah. Kalau di
hotel, sewa kamar lebih mahal, sehingga tidak terjangkau pasangan ilegal yang
ingin berbuat mesum.
Ke depan, menurut Efendi
pula, mesti ada Perda yang mengatur masalah tersebut. Kepada pelaku mesum di
penginapan/home stay mesti diberikan
sanksi, seperti denda yang diterapkan Pemko Bukittinggi. Kepada
pengelola/pemilik penginapan tempat berbuat mesum, juga mesti ada sanksi,baik
berupa teguran, denda, dan pencabutan izin operasional penginapan dimaksud.
Wali Nagari Maninjau,
Kecamatan Tanjung Raya, Wiliardi, mengatakan perbuatan mesum di penginapan/home stay terjadi akibat lemahnya
pengawasan. Pengawasan bisa saja dari pihak pemerintah,maupun dari pengelola
dan pemilik penginapan itu sendiri. Di sisi lain, ia mengatakan, fungsi ninik
mamak kurang jalan. Dalam artisan, ninik mamak pelaku mesum itu gagal dalam
membina anak kemenakan mereka.
“Mestinya pihak
keluarga, sejak dari orangtua sampai kepada mamak pimpinan kaum memperhatikan
pendidikan anak kemenakan mereka,” ujarnya.
Sekretaris Satpol PP
Agam, Aliyas, SH, mengakui kalau perbuatan mesum sering berlangsung di wilayah
kerjanya. Namun jumlahnya kian hari kian berkurang. Yang menggembirakan,
pasangan ilegal yang berhasil digaruk petugas Satpol PP Agam di berbagai
penginapan di daerah itu,mayoritas berasal dari luar Agam.
Penyebabnya, diduga
karena belum adanya sanksi yang memberatkan bagi pelaku mesum tersebut. Agam
memang belum memiliki Perda, yang memungkinkan pelaku mesum dikenakan sanksi
yang memberatkan. Denda, misalnya, seperti yang diterapkan Pemko
Bukittinggi.Hal senada disampaikan Kasi Penegak Perda Satpol PP Agam Mukhlis,
SH, dan Kasi Tibum dan Transmas, Tasman. Kedua pejabat penting di Satpol PP
Agam itu mengakui kalau pelaku mesum di daerah itu belum bisa dikenakan sanksi
yang memberatkan. Paling-paling sanksi moral, karena setiap pasangan ilegal
yang berhasil digaruk petugas, selalu diekspos namanya di media masa.
Lantas, bagaimana dengan
sanksi dari pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Agam, yang membawahi
pembinaan hotel,penginapan, dan home stay di daerah itu?
Kepala Dinas Budpar
Agam, H. Junaidi, SH, Dt. Gampo Alam Nan Hitam menyebutkan, pihaknya tidak bisa
mentolerir pengelola dan pemilik hotel, home
stay dan penginapan yang menerima tamu pasangan ilegal. Bila terbukti
mereka menerima tamu dari pasangan ilegal, yang berbuat mesum di hotel, home stay, dan penginapan, akan
dikenakan sanksi yang tegas.
Pariwisata Agam mesti
bebas dari aroma maksiat. Maka perbuatan pelaku mesum, dan pemilik/pengelola
hotel, home stay, dan penginapan, yang menyediakan tempat berbuat mesum di
tempat usaha mereka, akan ditindak. Tindakan berupa sanksi diberikan bertahap.
Sejak dari teguran, denda, dan pencabutan izin operasional.
“Salah satu penyebab
perilaku maksiat adalah lemahnya perhatian dan antisipasi yang dilakukan hukum
adat terhadap anak kemanakan yang terindikasi melakukan perbuatan maksiat di
samping maraknya teknologi informasi untuk mengakses pornografi serta kurang terkontrolnya
penginapan, hotel maupun tempat-tempat wisata. Pemerintahpun hanya bernyali
besar untuk merazia penginapan sekelas melati dan home stay tapi tumpul terhadap hotel berbintang,” kata Mardius
Asmaan Dt Saripado.
Sekdakab Agam Syafirman
mengakui. penginapan di sekitarnya memang rentan digunakan untuk tempat
maksiat.
“Untuk itu, tindakan
tegas harus dilakukan baik terhadap pelaku maupun terhadap penyedia tempat
karena pengembangan wisata di Agam harus mengacu kepada visi madani,” kata
Syafirman. (Nasrul
Azwar, Miazuddin, Kasra Scorpi, Iwan DN, Andika D Khagen, Devi Diani)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar