Sabtu, 24 Agustus 2013

TUNGKU TIGO SAJARANGAN TAK JALAN: Minangkabau Dipenuhi Maksiat


Satpol PP lakukan razia (Foto Haswandi)
Hotel kecil, penginapan, dan home stay rawan digunakan untuk tempat maksiat. Penginapan seperti ini marak di sekitar Danau Maninjau. Tampaknya maksiat bukan hal tabu lagi di Minangkabau.
Menurut tatanan adat di Minang, maksiat adalah perilaku yang bertentangan dengan budaya orang Minang. Di zaman dulu, bila ada yang tertangkap dalam perbuatan maksiat, keduanya digiring beramai-ramai dan diikuti dengan gendang tempurung.



Laporan terkait baca wawancara dengan Saafroedin Bahar, tokoh perantau Minang, dan
Gusrizal Gazahar, Kabid Fatwa MUI Sumbar


Jangankan tertangkap basah berbuat maksiat, berduaan saja duduk di tempat sunyi sudah dapat dihukum menurut adat di kampung itu. Mereka diberi sanksi secara adat. Artinya tidak boleh tinggal lagi di kampung itu. Hubungan berdunsanak juga diputuskan secara adat
Di zaman yang disebut orang “zaman maju” sekarang perilaku maksiat itu bukan lagi peristiwa aneh. Para remaja sepertinya direstui berpacaran. Dahulu berpacaran hanya lewat surat saja. Surat yang akan diberikan kepada gandak (pacar), lipat surat itupun dibuat khusus, dan dikirim melalui mak comblang.
Begitu benar sulitnya bergandak dimasa dahulu. Kini semuanya mengalami perubahan. Anak anak remaja seolah dibiarkan berpacaran. Adat biarlah bak kata adat. Diiyokan nan diurang, dilalukan nan diawak. Artinya kehendak pribadi didahulukan. Kini raso pareso itu sudah hilang. Tatanan adat yang menjadi kebanggan kita orang Minang hilang ditelan kemajuan. Kemenakan tak takut bahkan tidak malu berbuat tak senonoh di depan mamak pangulunya sendiri. Memang tak semua pangulu berperilaku seperti itu, tapi itulah yang kini terjadi di tengah masyarakat. Maksiat yang kini marak terjadi sangat mempermalukan budaya Minang
Bila kita coba cermati, maksiat memang mulai menjamur dimana-mana. Jangankan anak berusia remaja yang terjangkit penyakit masyarakat itu, akan tetapi terkadang justru dilakukan oleh sang pengulunya sendiri. Itupun ada juga yang dilakukan antara sesama dalam pesukuannya sendiri. Artinya maksiat dilakukan antara mamak dengan kemenakan, bahkan ayah dengan sianak kandung juga sering terdengar ditelinga kita
Dalam beberapa waktu belakangan, perbuatan maksiat menjadi berita di berbagai media. Pemberitaan itu sepertinya sudah "mencoreng arang di kening". Malu itu malu kita bersama sebagai masyarakat Minang yang didengungkan berbudaya tinggi. Adat bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah sebagai filosofi masyarakat Minang sepertinya tinggal slogan.
Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya. Di samping perilaku mamak yang tak lagi jadi tauladan bagi anak kemenakan, juga disebabkan pergaulan bebas di kalangan remaja.
Bagi sebagian keluarga, mereka merasa hina jika anaknya tak memiliki pacar. Sang keluarga meraa bangga jika anaknya memiliki pacar. Mereka tentu akan leluasa pergi berduaan. Ketika lagi bermesraan duduk berdua di tempat sunyi, “setan” akan datang. Bila di antaranya tak kuat iman, maka  terjadilah perbuatan maksiat itu. Ibarat pepatah kentimun disatukan dengan durian, mana mungkin tak akan melukai.”.
Penyebab lain yang memicu berjangkitnya maksiat adalah “warnet”. Melalui jendela dunia itu, semua orang dapat mengakses tontonan ataupun gambar yang belum saatnya mereka lihat.
Para ulama maupun penegak hukum sangat sering menyampaikan fatwa agar kita semua menjauhi maksiat "wala takrabuzzina".
Warnet kini menjamur dimana-mana. Secara hakiki internet memang dibutuhkan untuk mencari berbagai ilmu. Tapi terkadang anak muda duduk di warnet hingga larut malam  justru lebih suka membuka situs situs porno. Bagi pemilik warnet hal itu tak terlalu dipersoalan sepanjang pelanggan mereka mau membayar setiap jam yang terpakai. Bahkan ada pengelola warnet sengaja memasang tarif murah agar langganan banyak. Artinya operasional warnet belum terkendalikan secara baik.
Kini tinggal lagi kepada para pemangku adat terutama kelembagaan KAN (Kerapatan Adat Nagari) bersama pemerintah. Akankah persoalan maksiat ini  dibiarkan. Tentunya tidak. Untuk itu diperlukan sebuah format agar maksiat bisa dikendalikan. Jangan muncul istilah yang tidak populer “mari bermaksiat”. Dudukkan masalah ini "satu meja antara jajaran pemerintah dengan pemangku adat. Agar dapat mengekang perilaku yang tak sesuai lagi dengan tatanan budaya Minang yang bersedikan Kitabulllah ini.
Perilaku Asusila Telah Jadi Biasa
Perubahan sosial dan kurangnya rasa malu, serta tumbuh pesatnya hiburan malam, memicu maraknya perbuatan dan perilaku asusila. ABS-SBK sedang dipertaruhkan?  
Belakangan ini, Sumatera Barat diributkan dengan masalah maksiat, mesum, dan perilaku sosial yang menyimpang lainnya. Setiap razia digelar tak sedikit wanita yang tertangkap. Selain itu, nyaris setiap hari media memberitakan terjaringnya wanita-wanita malam yang juga sebagian besar mahasiswa yang kuliah di Padang.
Selain itu kasus pemerkosaan dan perbuatan mesum yang terang-terangan dilakukan di wilayah publik, seperti tertangkapnya Kepala KUA Kayu Tanam, kasus pemerkosaan juga meningkat.
Akumulasi persoalan mesum dan maksiat itu sebagai penyakit masyarakat, tentu sangat bertolak belakang dengan filosofi dan pandangan  hidup masyarakat Minang, yang menjunjung adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
Pertumbuhan hotel di berbagai kota di Sumatera Barat, yang marak, tak bisa tidak memberi andil tumbuhnya penyakikt masyarakat itu. Selain itu, banyak kafe dan pub serta hiburan malam yang tumbuh pesat lima tahun terakhir tak bisa tidak juga menyumbang paling besar untuk penyakit masyarakat.
Menurut Eka Vidya Putra, pengamat kebijakan publik dari Universitas Negeri Padang (UNP) tindakan asusila, mesti dilihat secara multifaktor. Ada konstruksi sosial yang menyebabkan itu terjadi yaitu perubahan nilai-nilai.
“Dulu tabu, sekarang menjadi biasa. Media turut menyumbang ‘kebiasaan’ yang dimaksud,” kata Eka Vidya Putra.
Ia menilai, konstruksi sosial itulah yang membuat asusila terus berkembang, bahkan cenderung menjadi ‘biasa’ melihat intensitasnya yang semakin tinggi.
Malu, sambungnya, yang dulu berpengertian takut mengerjakan yang salah, berubah menjadi biasa. Laki-laki dan perempuan tak malu berpegangan tangan di tengah keramaian meski belum menikah, tidak malu berselingkuh, dan sebagainya.
“Kenapa malu hilang?” tanya Eka. Dia menganalisis, media turut ‘menghilangkan’ rasa malu  dengan menampilkan tayangan-tayangan atau gambar seronok. Karena dilihat terus menerus, akhirnya wilayah yang tabu, yang rahasia, menjadi tontonan orang banyak. Dan itu terjadi dalam waktu yang panjang.
Berita-berita perselingkuhan tiap hari diekspos, perkosaan, sehingga wilayah yang ‘serius’, oleh media mengaburkan keseriusannya. Tak hanya rasa malu, rasa takut berbuat pun perlahan dikikis. Berdirinya tenda-tenda di tepi pantai, yang sering dijadikan tempat asusila, menurut Eka contoh hilangnya rasa takut.
“Tak bisa disangkal, tenda-tenda itu didirikan di ruang publik, ruang yang ramai. Tapi itu tetap saja terjadi,” ujarnya. Menurut Eka, asusila kini sebenarnya telah terjadi di ruang publik, dalam pengertian terang-terangan.
Bagi Eka, tempat-tempat yang memungkinkan untuk berbuat asusila seperti hotel, bukan penyebab langsung terjadinya asusila. Menurutnya, ia hanya sebuah sarana, tempat yang memungkinkan untuk melakukannya.
Dicontohkannya, andai di hotel diberikan larangan dan mengharuskan setiap pasangan yang menginap memiliki KTP, dua hal bisa akan terjadi. Pertama, mencari sarana (tempat) yang lain, atau pemilik hotel mengakalinya di tengah persaingan bisnis hotel yang ketat.
Eka mengatakan, karena persoalannya nilai, pemerintah berkewajiban membuat kebijakan-kebijakan untuk memperbaiki nilai-nilai tersebut. “Jika yang dibuat peraturan-peraturan seperti harus memiliki surat nikah menginap di hotel, manfaatnya tidak akan besar,” ujarnya.
Lebih jauh Eka, memperbaiki nilai sama artinya dengan menunjukkan akibat-akibatnya. Dengan pengertian lain untuk pengetahuan. Di hotel misalnya, dipasang stiker penyebab penyakit AIDS, petugas-petugas hotel dibekali pengetahuan yang sama untuk mengingatkan tamu-tamunya.
“Butuh waktu yang lama untuk menanamkan nilai-nilai,” katanya. Tapi intinya, sebut Eka, ia berguna untuk memberika kesadaran.
Perubahan Nilai
Sementera itu, sosiolog Universitas Andalas (Unand) Prof Damsar sepakat perbuatan asusila terjadi menunjukkan perubahan nilai-nilai. Nilai-nilai lama yang dimiliki tak banyak dijadikan pegangan karena begitu derasnya nilai-nilai baru yang masuk.
“Kita sedang mencari jati diri,” sebutnya. Tapi Damsar mengingatkan, dalam proses itu harus ada yang mengawal dan membimbing seperti pemerintah atau masyarakat. “Namun, yang terutama adalah keluarga,” katanya. Menurutnya, penanaman nilai-nilai, kokoh atau goyah, berawal dari keluarga.
Tak Setuju
Gubernur Sumbar Irwan Prayitno tidak setuju bila dikatakan Sumbar sebagai sarang maksiat hanya berdasarkan maraknya pemberitaan sejumlah media massa tentang praktik asusila itu. Sebab  parameternya harus jelas dengan mempertimbangkan jumlah penduduk Sumbar yang lebih 4 juta jiwa. Sementara mereka yang terlibat perbuatan memalukan itu hanya segelintir.
“Tetapi memang tak dapat dipungkiri bila belakangan ini masyarakat dihebohkan dengan perbuatan maksiat yang justru melibatkan orang-orang yang patut menjadi panutan, seperti seorang Kepala KUA. Juga praktek maksiat yang melibatkan sejoli bertali darah (saudara sepupu) atau bapak menodai anak tirinya.
“Kita tidak menutup mata adanya praktik maksiat di tengah masyarakat. Dan dalam salah satu kasus justru melibatkan Kepala KUA. Tetapi itu tidak dapat dijadikan ukuran untuk menyebut Sumbar sebagai sarang maksiat,” kata Irwan Prayitno.
Dikatakan, untuk menyebut banyaknya kasus maksiat tentunya harus berdasarkan data statistik. Dan data statistik itu perlu pula diuji kebenarannya itu di lapangan. Dan bila ingin menyebut banyak maksiat di daerah ini, harus memenuhi angka minimal 30 persen jumlah penduduk Sumbar melakukannya.
Dari berbagai kasus maksiat itu, katanya, semua berpulang kepada lingkungan keluarga. Umumnya pelaku maksiat berasal dari keluarga yang berantakan, banyak konflik, seperti hubungan suami istri yang tidak harmonis, dominasi istri terhadap suami, komunikasi anak dengan ayah atau dengan ibunya tidak lancar. Hubungan yang kurang bagus ini menyebabkan masing-masing pihak mencari ketenangan dan kenyamanan di luar rumah.
Ditambah lagi bila pendidikan agama dalam keluarga itu juga amat minim. Lantunan ayat suci Alquran tak pernah diperdengarkan dalam rumah, ibadah wajib salat 5 waktu juga jarang dilakukan. Masing-masing pihak bisa gelap mata sehingga melakukan perbuatan yang melanggar norma susila dan norma agama.
“Sekali lagi, fenomena itu bukan menggambarkan kiamatnya moral masyarakat Sumbar. Perbuatan itu hanya dilakukan segelintir masyarakat yang masuk kategori keluarga tidak harmonis dan pendidikan agama yang kurang,” tegas Irwan.
Karena mantan anggota DPR RI ini yakin, masih banyak keluarga harmonis yang saling menyayangi dan melindungi anggota keluarganya dari perbuatan maksiat. Mesjid, mushalla dan surau masih selalu ramai bagi umat muslim yang hendak menunaikan kewajibannya dan mengisi jiwanya dengan mendengarkan siraman rohani.
Dan pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota telah menelurkan berbagai peraturan untuk memerangi kemaksiatan ini. Kegiatan keagamaan pun banyak digelar untuk menggerakan  perhatian masyarakat agar condong pada perbuatan baik, seperti magrib mengaji, shubuh mubarokah, wirid atau pengajian setiap Jumat sebelum memulai pekerjaan. Sedangkan tindakan hukum bagi pelaku juga telah dilaksanakan dengan baik oleh aparat penegak hukum.
Sarang Maksiat
“Minangkabau sarang maksiat? Kalimat penuh tanda tannya itu terlontar dengan nada kagat dari mulut Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Kabupaten Agam, Drs Mardius Asmaan Dt Saripado, ketika pertanyaan yang sama dilontarkan kepadanya.
Nyiak Datuak, yang pensiunan pejabat penting di Pemkab Agam itu sejenak terdiam di ujung gagang ponselnya. Kemudian ia berujar: “Sebagai anak Minang saya sangat tidak setuju bila ada yang menyebut Minangkabau sarang maksiat. Mungkin ada perbuatan segelintir orang, yang mengaku orang Minang, yang mengotori nama baik Minangkabau dengan perbuatan kotor mereka,” ujarnya.
Menurut Dt Saripado, siapa pun yang mengaku orang Minang adalah pemeluk Islam yang terbilang fanatik. Makanya, ia berani memastikan, tidak ada anak Minang yang melakukan perbuatan maksiat. Bila ada yang tergelincir, merupakan kewajiban segenap orang Minang untuk menyadarkannya. Bila tidak bisa dibina, maka ia akan dibuang sepanjang adat. Artinya, tidak diakui lagi sebagai orang Minang,khususnya dalam pasukuan yang bersangkutan.
 “Saya memang sering membaca di koran, kalau petugas Satpol PP menangkap pelaku maksiat. Pasangan ilegal itu ditangkap dari penginapan atau hotel yang ada di Sumbar, termasuk di Agam. Tetapi mayoritas pelaku maksiat itu adalah orang luar, khususnya luar Agam,” ujarnya.
Kini yang perlu dilakukan segenap warga Agam, tanpa kecuali, adalah membimbing anak-kemenakan mereka dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai anak-kemenakan bergaul dengan orang yang tidak beres. Kepada anak nagari, khususnya para pemuda yang tergabung dalam Parik Paga Nagari, agar selalu waspada. Jangan memberi kesempatan kepada siapa pun untuk mengotori nagari mereka dengan perbuatan maksiat.
Peranan ninik mamak harus lebih ditingkatkan dalam mengawal anak-kemenakan mereka. Karena tugas mengawasi anak-kemenakan adalah tugas utama dalam kaum. Ninik mamak akan dibantu dubalang kaum, serta unsur alim ulama, cadiak pandai, dan bundo kanduang.
 “Cara paling praktis mengawasi anak kemenakan adalah dengan mendidik mereka dengan pendidikan dan jiwa agama sejak dini,” tukuknya.
Anggota DPRD Agam dari Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar), Efendi RM menilai maraknya maksiat akibat lemahnya iman dan pengawasan dari pihak berkompeten.
Pihak berkompeten tersebut bisa saja dari pihak orang tua, mamak, aparatur pemerintahan nagari sampai ke tingkat Kabupaten Agam. Mestinya, orangtua mendidik dan mengawasi putra-putri mereka. Dengan demikian mereka tidak akan terjerumus ke lembah maksiat,” terang Efendi.
Di sisi lain, Pemkab Agam dan DPRD Agam juga dinilainya lalai. Mengapa sejauh ini belum juga membuat peraturan daerah (Perda) tentang penyakit masyarakat. Mestinya Agam sudah memiliki Perda, yang mengatur pelaku dan tempat melakukan perbuatan maksiat.
Perbuatan maksiat terjadi bila ada kesempatan, dan ada pula tempat untuk itu. Tempat yang dimaksudkannya antara lain hotel, penginapan, atau home stay,” katanya.
Lemahnya pengawasan dari anak nagari dan pemerintah, menyebabkan pelaku perbuatan maksiat dan pengelola/pemilik hotel/penginapan bersilantas angan melakukan melakukan konspirasi jahatnya. Pelaku, dalam konteks itu pasangan ilegal, bisa leluasa menyewa kamar di hotel/penginapan. Mereka yakin, dengan hanya membayar sejumlah uang sewa, kamar untuk praktik maksiat bisa mereka dapatkan. Pengelola/pemilik hotel juga berdalih untuk cari uang. Bila tidak menerima tamu pasangan ilegal tersebut, mereka khawatir tidak akan mampu menutupi biaya operasional hotel/penginapan mereka.
“Mesti ada perda dengan sanksi yang tegas. Dengan demikian perbuatan maksiat di Agam bisa ditekan,” ujar Efendi.
Menurut Efendi, yang biasa menyewakan kamar untuk perbuatan maksiat adalah home stay yang tersebar di Kecamatan Tanjung Raya. Hal itu memungkinkan, karena tamu sangat minim, dan sewa kamar relatif murah. Kalau di hotel, sewa kamar lebih mahal, sehingga tidak terjangkau pasangan ilegal yang ingin berbuat mesum.
Ke depan, menurut Efendi pula, mesti ada Perda yang mengatur masalah tersebut. Kepada pelaku mesum di penginapan/home stay mesti diberikan sanksi, seperti denda yang diterapkan Pemko Bukittinggi. Kepada pengelola/pemilik penginapan tempat berbuat mesum, juga mesti ada sanksi,baik berupa teguran, denda, dan pencabutan izin operasional penginapan dimaksud.
Wali Nagari Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Wiliardi, mengatakan perbuatan mesum di penginapan/home stay terjadi akibat lemahnya pengawasan. Pengawasan bisa saja dari pihak pemerintah,maupun dari pengelola dan pemilik penginapan itu sendiri. Di sisi lain, ia mengatakan, fungsi ninik mamak kurang jalan. Dalam artisan, ninik mamak pelaku mesum itu gagal dalam membina anak kemenakan mereka.
“Mestinya pihak keluarga, sejak dari orangtua sampai kepada mamak pimpinan kaum memperhatikan pendidikan anak kemenakan mereka,” ujarnya.
Sekretaris Satpol PP Agam, Aliyas, SH, mengakui kalau perbuatan mesum sering berlangsung di wilayah kerjanya. Namun jumlahnya kian hari kian berkurang. Yang menggembirakan, pasangan ilegal yang berhasil digaruk petugas Satpol PP Agam di berbagai penginapan di daerah itu,mayoritas berasal dari luar Agam.
Penyebabnya, diduga karena belum adanya sanksi yang memberatkan bagi pelaku mesum tersebut. Agam memang belum memiliki Perda, yang memungkinkan pelaku mesum dikenakan sanksi yang memberatkan. Denda, misalnya, seperti yang diterapkan Pemko Bukittinggi.Hal senada disampaikan Kasi Penegak Perda Satpol PP Agam Mukhlis, SH, dan Kasi Tibum dan Transmas, Tasman. Kedua pejabat penting di Satpol PP Agam itu mengakui kalau pelaku mesum di daerah itu belum bisa dikenakan sanksi yang memberatkan. Paling-paling sanksi moral, karena setiap pasangan ilegal yang berhasil digaruk petugas, selalu diekspos namanya di media masa.
Lantas, bagaimana dengan sanksi dari pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Agam, yang membawahi pembinaan hotel,penginapan, dan home stay di daerah itu?
Kepala Dinas Budpar Agam, H. Junaidi, SH, Dt. Gampo Alam Nan Hitam menyebutkan, pihaknya tidak bisa mentolerir pengelola dan pemilik hotel, home stay dan penginapan yang menerima tamu pasangan ilegal. Bila terbukti mereka menerima tamu dari pasangan ilegal, yang berbuat mesum di hotel, home stay, dan penginapan, akan dikenakan sanksi yang tegas.
Pariwisata Agam mesti bebas dari aroma maksiat. Maka perbuatan pelaku mesum, dan pemilik/pengelola hotel, home stay, dan penginapan, yang menyediakan tempat berbuat mesum di tempat usaha mereka, akan ditindak. Tindakan berupa sanksi diberikan bertahap. Sejak dari teguran, denda, dan pencabutan izin operasional.
“Salah satu penyebab perilaku maksiat adalah lemahnya perhatian dan antisipasi yang dilakukan hukum adat terhadap anak kemanakan yang terindikasi melakukan perbuatan maksiat di samping maraknya teknologi informasi untuk mengakses pornografi serta kurang terkontrolnya penginapan, hotel maupun tempat-tempat wisata. Pemerintahpun hanya bernyali besar untuk merazia penginapan sekelas melati dan home stay tapi tumpul terhadap hotel berbintang,” kata Mardius Asmaan Dt Saripado.
Sekdakab Agam Syafirman mengakui. penginapan di sekitarnya memang rentan digunakan untuk tempat maksiat.
“Untuk itu, tindakan tegas harus dilakukan baik terhadap pelaku maupun terhadap penyedia tempat karena pengembangan wisata di Agam harus mengacu kepada visi madani,” kata Syafirman. (Nasrul Azwar, Miazuddin, Kasra Scorpi, Iwan DN, Andika D Khagen, Devi Diani)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...