OLEH SUDARMOKO
AA Navis |
Suatu saat, saya pernah mendengarkan
sebuah obrolan ringan tentang fenomena yang menarik tentang pengarang-pengarang
Minangkabau. Mereka mencoba membagi dan melihatnya dalam beberapa bagian.
Mengingat juga bahwa pembagian ini, dengan cara lain, sering dibicarakan dalam
beberapa tulisan, lebih-lebih yang membicarakan tentang pengarang karya sastra
Indonesia yang berasal dari Minangkabau.
Kehadiran dan pengaruh mereka terlihat jelas dalam sastra Indonesia. Hal ini disebabkan, mereka yang ‘menguasai’ Balai Pustaka dan karya-karya mereka banyak yang diterbitkan di sana. Demikian juga halnya dengan kedekatan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu dan kemudian bahasa Indonesia. Mereka dengan mudah ‘menemukan’ frasa atau kalimat yang sangat indah dan penuh mewakili untuk mengekspresikan sesuatu. Demikian juga dengan sejumlah tradisi ritual dan seremonial yang, tak dapat dihindarkan, mempengaruhi kompetensi dan ingatan akan bahasa dan cara bertutur mereka.
Apa yang saya dengar ketika itu adalah bahwa
pengarang Minangkabau memiliki kecenderungan untuk mengikatkan dirinya pada
rantau dan kampung. Rantau menjadi sebuah wilayah atau ranah yang dianggap
mendewasakan anak-anak lelaki, baik secara psikologis maupun materi. Dan
sebagian besar pengarang yang berasal dari Minangkabau memang besar di kota-kota
atau tempat di luar Minangkabau. Meski, sebagian juga masih bertahan tetap di
dalam ranah Minangkabau, dan melakukan perantauan bukan dalam arti geografis
dan fisikal.
Wisran Hadi |
Untuk kasus yang pertama, zaman Balai
Pustaka sudah menunjukkan contohnya. Sementara pada kasus yang kedua, sejumlah
nama seperti AA Navis (alm), Wisran Hadi (alm), Gus tf, Yusrizal KW, Harris Efendi
Thahar, Ode Barta Ananda (alm), dapat diajukan. Mereka masing-masing memberikan
sebuah fakta yang patut diperhatikan dan mungkin dapat dilihat jejaknya dalam
karya-karya mereka.
Memang tak ada jaminan bahwa karya yang
dihasilkan oleh perantau akan lebih baik daripada orang-orang tetap tinggal di
daerah. Hal ini telah dibuktikan dengan keberhasilan karya-karya Navis, Wisran
Hadi, atau Gus tf yang mampu menjadi fenomena dan bahkan mampu memenangi
berbagai penghargaan berkelas regional. Dengan demikian, kemungkinan capaian
estetik tak ada sangkut pautnya dengan keberadaan geografis pengarang.
Namun demikian, ada satu hal terlintas
dalam pembicaraan semacam ini, apakah penting membicarakan wilayah dalam
membicarakan karya-karya sastra? Seperti juga kenapa dalam sebagian karya-karya
sastra dituliskan kolofon tempat dan waktu di bagian akhirnya? Apakah ia
pertanda akan sebuah jejak atas nama tempat dan waktu? Mungkin sebagian pembaca
karya sastra memperhatikan kolofon yang ada di akhir sebuah tulisan, entah itu
puisi, cerpen, atau novel. Dapat saja dari sana pembaca mendapatkan sebuah
informasi, entah untuk tujuan apa. Atau juga kadang hanya membacanya selintas
dan kemudian menyudahi bacaannya.
Gus tf Sakai |
Melalui penanda yang sering dilewati ini,
saya mendapatkan sebuah ide untuk menuliskan sesuatu setelah membaca antologi
Raudal Tanjung Banua, Pulau Cinta di Peta Buta (Jendela Press, 2003). Tentu
saja, pembicaraan ini, awalnya, berangkat dari cerpen-cerpen yang terhimpun
dalam antologi tersebut. Antologi yang menghimpun 18 cerpen ini diawali dan
diakhiri dengan dua buah cerpen, masing-masing “Elegi Kantor Pos” dan “Pulau
Cinta di Peta Buta”, yang ditulis dalam sebuah perjalanan di atas kapal
Lambelu, Samudra Indonesia, Agustus 2000. Cerpen-cerpen lainnya ditulis di
tempat tinggalnya, yang sekaligus dijadikan tempat berproses kreatif pribadi
dan bersama dalam hal kepenulisan dan teater, Rumahlebah Yogyakarta
(masing-masing untuk cerpen “Lengking Pilu Terompet Waktu”, “Seekor Kambing
Mati Tergantung”, “O Bintang Kemana Bulan...”, “Jalan ke Bukit sudah Berubah”,
“Lembah yang Riang dan Kemilau Mata Air”. Selebihnya hanya dituliskan kolofon
Yogyakarta, bisa dimana saja di bagian Yogyakarta, yaitu cerpen “Purnama di
Serambi”, Bis Berhenti di Kampung Lengang”, Truk Berderak di Waktu Malam”,
“Pertemuan di Jakarta”, “Nyonya Helena da Costa”, “Metamorfosa Cicak di Atas
Peta”. Sisanya, seperti cerpen pembuka dan penutup, ditulis di perjalanan atau
tempat lain, Yogyakarta-Solo (untuk cerpen “Rendesvous”), Lombok-Yogyakarta
(cerpen “Tanah Harapan”), di atas selat Bali (pada “Penyeberangan”), dan
Denpasar (cerpen “Dongeng Pulau Dewata”). Sementara terdapat hanya satu cerpen,
“Sungguh Kematian Begitu Indah”, yang tak berkolofon.
Cerpen-cerpen Raudal dalam antologi ini
memiliki kekuatan dalam penceritaan dan imajinasi. Alur yang digunakan sebagian
besar kuat dan solid. Ia seperti bercerita atau bergumam dalam sebuah
keramaian. Lihatlah bagaimana dalam “Elegi Kantor Pos” sosok ‘aku’ bertemu
dengan seorang ‘gadis dari sebuah daerah tak berkantor pos’ dalam rutinitas
kantor pos. Atau dalam “Pertemuan di Jakarta”, percakapan antara Abilio dan
Lozario, saudara kembar, yang terpisah lama, dan sudah berbeda garis
perjuangannya masing-masing, melakukan percakapan dalam diam.
Yusrizal KW |
Demikian juga dalam hal suspensi, Raudal
tampaknya dengan tekun menjaga setiap logika dan kejutan imajinasi yang
dibangunnya. Ia bahkan mengelabui penonton dengan alur cerita yang dibangunnya.
Pada “Elegi Kantor Pos” misalnya, gadis yang selalu setia di sana mencari
orang-orang yang bersedia memberikan perangkonya untuk dijilat, ternyata
bermotifkan pengalaman gadis itu yang sedang menunggu surat dari kekasihnya dan
kepindahannya dari kotanya yang tak lagi berkantor pos karena konflik yang
terjadi.
Gadis yang ‘terdampar’ di sebuah kota,
yang lalu melakukan sebuah rutinitas aneh di kantor pos, meminta kesediaan
orang-orang yang datang ke sana untuk menjilati perangko, menggantikan lem yang
biasa tersedia di meja-meja khusus di tengah ruang tunggu, dan ketika bertemu
dengan ‘aku’ ia menjilati perangko sedemikian rupa. Gambaran ini memang
membutuhkan imajinasi yang liar, seperti sebuah keadaan atau scene yang tak
terduga dalam benak siapapun. Sementara dengan baik Raudal menyimpan motif
kelakuan gadis itu dibelakang. Eksplorasi imajinasi seperti ini tentulah
dihasilkan dari sebuah kedisiplinan dalam mengolah tokoh dan penokohan selama
proses kepenulisan berlangsung. Seperti halnya seorang aktor harus mampu
mengeksplorasi segala kemungkinan dari tokoh yang harus diperankannya. Ia, sang
aktor, harus mencari referensi dan sumber-sumber yang berkaitan dengan tokoh
dan penokohan yang dibangunnya untuk kemudian memilih dan membentuknya seperti
apa yang dia inginkan, atau diiinginkan oleh kemungkinan yang disediakan dalam
teks dan di luar teks.
Harris Effendi Thahar |
Atau pada “Rendesvous”yang pada awal
cerita terlihat seperti sebuah kisah detektif namun sebenarnya bercerita
tentang berbagai rekayasa yang dilakukan oleh aparat keamanan dalam memantapkan
operasi mereka. Dalam cerpen ini, Gunturu bukanlah digambarkan sebagai
seseorang yang memiliki kekuasaan atau pengaruh yang kuat untuk membuat sebuah
makar, namun sebenarnya dia tidaklah siapa-siapa. Namun pihak keamananlah, dan
orang-orang yang terlibat dalam skenario yang melingkarinya, yang membuatnya
menjadi ‘sesiapa’. Atau seperti inilah sebenarnya kerja seorang pengarang atau
penulis, membuat sesiapa yang pada awalnya tak berharga, tak memiliki tempat
dalam perhatian khalayak, menjadi penting dan dipikirkan oleh pembaca.
Demikian halnya dengan “Pertemuan di
Jakarta” yang dengan sangat sabar Raudal menjalin ceritanya, menahan emosi, dan
mempermainkan serta membawanya kemana-mana. Demikian juga, pada cerpen ini
penokohan dibangun dari dialog dan narasi yang dengan sangat berhasil
dihadirkan. Ia tidak berpanjang-panjang untuk menjelaskan detil tokoh yang
kembar itu, namun dari cerita yang dibangun, pembaca akan dapat membangun
penokohannya.
Melalui tokoh-tokoh ini Raudal, dan juga
para pengarang pada umumnya, menghadirkan pada kita aktor-aktor lain dalam
hidup ini. Di tengah tarikan dahsyat televisi yang menghadirkan tokoh-tokoh
selebritis dan populis, apapun bidangnya, cerita malah menghadirkan orang-orang
kecil dan biasa saja. Lihatlah pada cerpen-cerpen dalam antologi ini, hadir
tokoh-tokoh seorang pengarang pemula, sopir truk di perkebunan yang jauh dari
hiruk pikuk, seorang prajurit, seorang murid SD di sebuah pulau di ujung
Indonesia, para pencari kerja di bagian lain Indonesia, dan sebagainya. Mereka
hadir menjadi ‘tokoh’ yang menghasut pikiran kita. Menjadi ‘jagoan’ yang
memiliki peran penting dalam sebuah peristiwa dalam hidup.
Yetti A KA |
Raudal melalui cerpen-cerpennya ini,
terlihat mampu bertindak melepaskan diri dari ‘identitas kultural’, seperti
yang ditulis Agus Noor di halaman belakang antologi ini. Memang pada satu sisi
hal ini dapat dilihat dalam sejumlah cerpen yang mengambil latar dan peristiwa
di berbagai daerah. Namun juga tak dapat disangkal bahwa kerinduan pada kampung
masih terasa sangat kental bila dibaca cerpen “Jalan ke Bukit Sudah Berubah”,
yang dalam kolofonnya menyatakan bahwa cerpen itu ditulis di rumahnya,
Rumahlebah, Yogyakarta. Kenyataan yang dihadapi oleh tokoh suami istri dalam
cerpen ini seperti mewakili kenyataan sejumlah perantau Minang yang disebut
merantau cina, merantau dan tidak akan kembali lagi ke kampung halaman.
Sebagian perantau memang tidak kembali lagi ke kampung halaman, karena alasan
atau pandangan tertentu yang dimiliki perantau itu.
Nah, apakah dengan demikian Raudal, dalam
karya-karyanya, tidak lagi memiliki beban kultural semacam ini? Bila dilihat
pada sejumlah cerpennya, memang didapat sebuah kesimpulan bahwa ia tidak hanya
berbicara tentang etnik tertentu, bahkan kampung halamannya sendiri, namun
lebih berbicara tentang apa saja dan dimana saja. Ia berbicara tentang Papua
dalam “Elegi Kantor Pos”, “Metamorfosa Cicak di Atas Peta”, “Peta Cinta di Peta
Buta”. Atau tentang Timor Timur dalam “Pertemuan di Jakarta” dan “Nyonya Helena
Da Costa”. Tentang Lombok dalam “Tanah Harapan”. Tentang Bali dalam “Dongeng
Pulau Dewata”. Atau yang lainnya. Namun ternyata, asumsi ini tak sepenuhnya
benar. Beban kultural mungkin tak ditemui dalam pemilihan tema atau latar
belakang cerita, namun dengan mudah dapat ditelusuri kegelisahan kulturalnya
dalam mengungkapkan (bahasa) cerita, atau ketika secara khusus menjadikannya
sebagai tema cerita. Di sini, saya berlainan dengan pandangan Agus Noor di
atas.
Darman Moenir |
Sama halnya, sebenarnya, ketika Gus tf
menulis tentang etnik lain dalam cerpen-cerpennya. Meski letak geografis dan
pengalaman empirik antara kedua cerpenis ini berbeda. Bahkan dialogpun
diciptakan secara tak langsung antara kedua cerpenis ini ketika Raudal menulis
cerpen “Sungguh, Kematian Begitu Indah”. Berbeda halnya dalam cerpen lain yang
dilakukan Raudal adalah meminjam dan ‘menyetujui’nya, terutama dalam “Jalan ke
Bukit Sudah Berubah” yang merupakan judul puisi Afrizal Malna. Pernah terlintas
dalam pikiran saya, akankah ada sebuah karya yang merupakan ‘kelanjutan’ dari
karya sebelumnya? Misalnya, akankah ada sebuah karya tentang anak Hanafi (dalam
Salah Asuhan (Balai Pustaka, 1928) karya Abdoel Moeis) yang ditinggal mati,
bagaimana nasibnya setelah ditinggal mati ayahnya, apakah dia akan mengikuti
nasihat ibunya untuk tidak meniru ayahnya, tidakkah dia berpikir kemudian bahwa
jejak ayahnya patut ditiru? Bagaimana nasibnya kini? Atau ini mungkin yang
ditinggalkan oleh Moeis kepada kita.
Tapi bagaimana sebenarnya Raudal melihat
perjalanan dan perantauannya? Dapat disimak dalam baris-baris sajaknya berjudul
Mata Pisau Perantau berikut: Sebagai perantau, satu-satunya mata
pisauku/mungkin cuma kenangan. Tapi ternyata, rantau punya/ dua mata pisau yang
agak ganjil cara mengasahnya://Mata pertama diasah kabar gembira/yang
kilauan-kilauannya memukau orang sekampung/- kabar keberuntungan/Di malam-malam
larut mereka rindukan tajamnya/mengiris kebekuan mimpi, tak pernah rampung,/tak
pula surut.//Mata yang sebelahnya lagi terasah kabar buruk/yang harus kubara
sendiri dengan kengiluan-kengiluanku,/dengan igauan-igauanku, tak
terbalaskan.// Dua mata pisau, satu hulu, menyatu dalam diriku/selalu terasah
walau kusarungkan ke balik jantung/membuat kenangan pun berdarah!/ (Suara
Karya, 13/3/2005)
Khairul Jasmi |
Bagi perantau, entah apapun latar
belakangnya, mengingat kampung adalah memungut kerinduan dan sekaligus
kehilangan. Seperti juga yang saya alami ketika bertemu dengan orang-orang
exile yang ada di sebuah negeri, bertahun-tahun hidup dalam pengembaraan dengan
sebuah rindu tak terkatakan. Begitulah, bertemu dengan orang-orang seperti pak
Mintardjo, Agus Salim, Cipto, Rusjdi dkk, yang selalu menitikkan air mata
setiap kali menyanyikan lagu kebangsaan atau menceritakan kepedihan masa
lalunya. Air mata yang bukan karena cengeng menghadapi hidup, terbukti bahwa
sebagian dari mereka mendapatkan posisi dan kehidupan yang baik. Namun air mata
itu lebih tertuju pada sebuah entitas bangsa, tanah air, kampung halaman
mereka, saya kira. Siapa dapat menerka, seperti apa kerinduan mereka atas
kampung halamannya? Saya pikir tak pernah tertuntaskan untuk membicarakannya.
Hal ini juga dibaca dengan jelas oleh Komaruddin dalam esainya “Dapatkah Sastra
Eksil Berbicara?” (Kompas Minggu, 25 Mei 2003) yang menunjukkan bahwa kerinduan
terhadap tanah air mendominasi karya-karya yang dihasilkan oleh para pengarang
eksil.
Jejak perjalanan dan perantauan akan
tercatat dalam setiap kenangan. Namun demikian, rindu akan kampung adalah
sebuah jejak awal sekaligus pemantik api yang selalu menghidupkan keinginan
untuk terus hidup. Identifikasi seseorang terletak pada latar belakang
etnisitas, yang semakin kabur pada saat belakangan ini, sembari terus
mengenakan berbagai emblem kenangan dan kebudayaannya.
Membaca cerpen-cerpen Raudal, pada satu
sisi memang mengindikasikan bahwa beban atau kaitan dan identifikasi etnis
semakin kabur, dengan mengangkat berbagai tema dan peristiwa yang terjadi
dimana-mana. Namun pada sisi lain, hal itu adalah sebuah warta kepada
orang-orang di kampung bahwa ia masih ada dan masih harus terus berjalan.
Kenapa? Karena masih didapati sejumlah karya yang ditujukan pada kampung,
kenangan masa lalu, dan kegundahan serta tarik menarik untuk mengunjungi dan
sekaligus usaha untuk berjarak.
Pendapat ini dapat dibenarkan melalui
penjelasan yang diberikan oleh Suryadi dalam bukunya Syair Sunur Teks dan
Konteks ‘Otobiografi’ Seorang Ulama Minangkabau Abad ke-19 (Yayasan Citra
Budaya Indonesia dan PDIKM, 2004). Suryadi menjelaskan sebuah teks syair yang
ditulis oleh syekh Daud dapat dikatakan mewakili dirinya untuk bercerita kepada
orang-orang di kampungnya, Sunur. Hal ini dilakukan oleh Syekh Daud karena
dirinya tak mungkin untuk kembali ke kampung karena alasan masa lalu yang
memalukan. Maka ia hanya mengirimkan salinan teks syair untuk dibaca dan
diketahui oleh orang-orang kampung bahwa dirinya masih hidup dan sebenarnya
ingin kembali ke kampung.
Raudal T Banua |
Hal ini memungkinkan sebuah dialektika
yang tak akan pernah hilang dan habis dalam perjalan hidup. Katakanlah bahwa ia
juga menjadi sumber energi dan sumber penciptaan dalam proses kepenulisan dan
kepengarangan. Raudal dalam karya-karyanya mungkin saja berbicara tentang etnis
mana saja, namun pada dasarnya pengalaman masa lalunya memberi sebuah
alternatif cara memandang dan cara berpikir dalam melihat persoalan. Masalah
antara pendatang dan pribumi, misalnya, bukan hanya masalah di pulau paling
timur Indonesia. Program transmigrasi telah membawa pengaruh besar di berbagai
daerah di Indonesia, termasuk juga di Sumatra Bara, dan juga di Pesisir
Selatan, tempat Raudal pernah dibesarkan.
Bisa disimak ketika ia berbicara tentang
“Tanah Harapan”, Raudal tidak sekadar bicara tentang orang-orang yang ada di
Mataram, tetapi juga jutaan orang Indonesia yang bercita-cita menjadi tenaga
kerja di luar negeri. Ini masih ditambah lagi dengan cerpennya “Jalan ke Bukit
sudah Berubah” yang memperlihatkan keadaan yang sama di daerahnya sana. Inilah
bentuk lain dari sebuah common sense itu. Raudal memperlihatkan perhatiannya
pada masalah ini di berbagai daerah sembari juga menunjukkan jarinya ke
daerahnya sendiri.
Atau, di sini berlaku apa yang dinamakan
perasaan transindividualisme dalam sosiologi sastra itu. Perasaan yang lebih
tepat untuk disebut perasaan bersama yang dialami oleh seseorang terhadap
berbagai masalah yang terjadi di sekitarnya. Semacam common knowledge dan
common sense. Apalagi ditambah dengan arus informasi dan percepatan penyebaran
berita yang dalam hitungan detik sudah bisa diketahui oleh jutaan orang.
Seperti begitu dahsyatnya respon yang diberikan orang di seluruh dunia terhadap
bencana Tsunami dan gempa bumi yang terjadi di Aceh dan Nias (tulisan Sudjoko
di Bentara Kompas, Rabu, 4 Mei 2005, “Adakah Persahabatan Semesta?” dengan
sangat simpatik menggugah perasaan yang seharusnya dirasakan dan direnungkan
lebih dalam).
Maka tak ada yang aneh dengan kepedulian
dan perhatian yang diberikan pengarang, dan juga seniman, terhadap berbagai
peristiwa yang terjadi. Mereka bebas untuk bicara apa saja dan tentang
peristiwa dimana saja. Seperti yang ditulis oleh Radhar Panca Dahana dan
kemudian ditanggapi oleh Danarto tentang adanya banjir karya karena bencana di
Aceh, di harian Kompas beberapa waktu lalu. Atau kemudian harian Republika
malah membuka ruang cerpennya khusus bertema bencana Aceh sejak bulan April
lalu. Hal yang mengingatkan kita pada rubrik oase puisi Republika yang
menyediakan tema reformasi di awal era reformasi dulu. Inilah sebuah semangat
baru merespon dengan sengit apa yang terjadi di sekitar. Walau meski juga tak
semua karya itu kemudian dihasilkan dari sebuah pendalaman, karena memang kadang
bersifat emosional dan permukaan sekali.
Syarifuddin Arifin |
Muhammad Radjab telah menghabiskan segala
kenangannya Semasa Ketjil di Kampung (1913-1928) kedalam novel biografinya
(Balai Pustaka, 1950). Dan itu adalah batas dimana dia berhubungan secara fisik
dengan kampung dan segala sudutnya, untuk kemudian harus menempuh sebuah
perantauan. Tapi hal itu pula yang sangat membekas dan memberi alas bagi
perjalanannnya berikutnya. Ada batas tak kentara dalam fase kehidupan. Batas
yang ingin dijemput namun selalu tak sampai. Batas yang kemudian menghantui
sepanjang jalan ke depan.
Tak dapat dielakkan begitu saja bahwa
karya sastra, sedikit banyak, adalah biografi yang didasarkan atas pengalaman
masa lalu. Atau pengalaman kekinian yang kemudian berubah nama menjadi cerita
yang fiksi. Budi Darma (dalam Soediro Satoto dan Zainuddin Fananie (eds.),
Muhammadiyah University Press and HISKI: 2000), dengan mengutip George Bernard
Shaw dalam Gibb mengatakan bahwa karya sastra yang baik pada dasarnya merupakan
representasi dari pengalaman pengarangnya sendiri.
Seperti apa beban kultural yang harus
dipikul oleh pengarang? Mungkin bisa dihadirkan banyak pertanyaan untuk hal
ini. Pun demikian dengan batasan yang dilekatkan ketika berbicara tentang
kultur dan kampung halaman. Pengarang kini telah melebur dalam sebuah
kebudayaan semesta yang tak dapat lagi dengan mudah dipilah dan dijejaki.
Berbaurnya berbagai budaya telah dengan sangat dahsyat membentuk cara berpikir,
yang kemudian terefleksi dalam karya-karya atau tulisan. Sementara di tengah serangan
yang dahsyat atas keterpengaruhan budaya itu, identitas kultural semakin
hablur. Orang semakin was-was dengan keetnisannya, apalagi bila
menghubungkannya dengan perpindahan generasi, disertai pertanyaan akan
resistensi yang dipunyai.
Sementara kampung halaman, mungkin lebih
dipikirkan sebagai sebuah idealisasi individu. Masih relevankah berbicara
tentang kampung halaman? Nyatanya, bila diteliti dengan lebih seksama, ia masih
relevan, tentu bila kita ingin bicara tentang proses kreatif atau ekspresi yang
dimiliki sastrawan, misalnya. Tak dapat dimungkiri bahwa diri kita, sebagian,
semakin meringkuk dalam determinasi primordial. Sementara pada saat yang sama
juga ditarik masuk dalam perputaran budaya semesta yang mengglobal. Di sini,
mungkin, diperlukan sebuah identitas budaya dan kampung halaman itu, agar tak
hilang diri dan tersesat dalam sebuah dunia yang menelikung.
Ada kemungkinan lain bahwa identitas
kultural dan kampung halaman itu dimaknai sebagai kemanusiaan. Seperti halnya
nilai sastra itu sendiri yang melampaui waktu dan batasan geografis. Ada
kebebasan untuk membahas dan berbicara tentang apa saja dan dimana saja, tanpa
ada batasan spesifik. Dan karenanya berguna bagi siapa saja, kapan saja, dan
dimana saja. Kemungkinan ini lebih dapat diterima dan dianut oleh orang-orang.
Toh, kerja sastra, dan seni, adalah mengabadikan sesuatu yang sebelumnya
terserak dan liar.
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya
melihat bahwa sebagai sebuah pribadi yang berkembang, ada yang tak sinkron
dengan kehidupan. Begitupun yang dialami sebagian para perantau yang tentu saja
berhadapan dengan masalah-masalah psikologi yang unik dan menarik. Misalnya,
perantauan menawarkan berbagai kebaruan, tampaknya, selalu berhadapan dengan
kampung yang, tampaknya, statis dan lamban dalam kehidupan. Saya teringat
dengan obrolan Gus tf di Kayu Tanam dalam sebuah acara dulu, bahwa “berhadapan
dengan kamu, dunia seakan lamban berjalan,” begitu kira-kira dia berucap. Saya
membawanya dalam sebuah konteks pembicaraan yang berbeda. Namun, sungguh, ada
yang hilang ketika kita berjarak dengan sesuatu, entah kenangan, atau juga
harapan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar