Masyarakat Lebih Siap Daripada Pemerintah
Pengantar
Patra Rina Dewi |
Penguatan pengetahuan warga terhadap kebencanaan menjadi
sangat penting dan krusial. Posisi Sumatra Barat yang berada dalam “jalur” yang
rawan bencana alam, baik itu bencana gempa bumi dan diikuti tsunami, longsor,
galodo, banjir, dan letusan gunung berapi, tentu harus menjadi perhatian yang
sangat serius berbagai pihak.
Untuk itu, sangat mendesak memberikan pengetahuan dan
pemahaman kepada masyarakat tentang kebencanaan itu agar kesiagaan dan
rasionalitas bisa berjalan dengan baik. Peran dan posisi pemerintah menjadi
sangat penting.
Masyarakat tak bisa disalahkan jika mereka begitu mudah
termakan isu-isu gempa dan tsunami. Karena pemerintah sendiri, tak punya
“badan” khusus yang mampu memberikan, mengeluarkan, serta menyebarkannya
informasi kepada masyarakat sekaitan dengan gempa dan tsunami. Pemerintah
terkesan bertindak setelah bencana terjadi.
Patra Rina Dewi, Direktur Eksekutif Komunitas Siaga Tsunami (Kogami) Padang, kepada Andika Destika Khagen menjelaskan panjang lebar tentang ketakutan masyarakat tersebut, dan lambannya pemerintah membangun infrastruktur untuk kesiagaan bencana.
“Sepintar apapun masyarakat, kalau ia tidak dilengkapi
infrastruktur, ini pembunuhan berencana namanya,” tutur Patra di sela-sela
wawancara. Berikut petikannya.
Masyarakat berada dalam cekaman kecemasan karena isu
gempa dan tsunami beredar dalam jaringan teknologi informasi yang tak jelas
sumbernya. Bagaimana Anda melihatnya?
Ini
soal pengetahuan. Masyarakat belum memiliki pengetahuan yang cukup untuk
memahaminya. Kalau ada pengetahuan, tentu mereka tahu, bahwa gempa tidak pernah
bisa diprediksi datangnya. Belum ada
teknologi untuk itu.
Ada
asumsi yang keliru. Memberitahukan sesuatu yang baru kepada masyarakat,
terutama soal bancana, masyarakat akan takut. Asumsi itu sebenarnya salah. Kita
harus jelaskan langsung kepada masyarakat, bahwa kita tinggal di daerah rawan
gempa dan tusnami. Tapi itu tidak mudah, karena mereka tidak tahu gambaran
gempa itu seperti apa. Jadi, kalau berbicara langsung dengan masyarakat,
sesuaikan dengan kebijakan lokal. Masyarakat masih percaya kok kepada
pemimpinnya, Inilah yang mesti dipahami dan disadari seorang pemimpin. Kalau pemimpinnya sudah
mengerti, ini akan mudah. Pemimpin yang dimaksud bukan pimpinan yang dipilih secara politik, tapi memang pemimpin
yang dipercaya benar oleh masyarakat. Ia bisa ulama atau dermawan.
Kogami
melakukan itu. Pemimpin sebagai sebagai “ketok pintu”. Kita yakinkan. Mereka
yang berbicara ke lingkungan masing-masing. Misal di Ulakan Tapakis,
Padangpariaman itu kan unik. Setiap masjid punya Tuanku. Dari Tuanku kita masuk
untuk memberitahukan jemaah. Jemaah telah mengerti, maka kita kumpulkan
masyarakat. Kita langsung yang memberikan edukasi. Biarkan orang-orang pilihan
yang menjelaskan. Kalau kita masuk, masyarakat akan bertanya "Siapa sih
kalian? Datang ke daerah ini baru saja?” Kita bisa ditolak.
Kita
pergunakan bahasa masyarakat. Kalau masyarakat tidak menguasai bahasa
Indonesia, jangan dipaksakan. Pendekatannya menyusaikan dengan audiens. Kogami lakukan itu selama 4 tahun.
Bisa dijelaskan lebih detil lagi?
Untuk
memberikan pengetahuan, pendekatannya adalah menyesuaikan dengan audiens.
Strategi kita saat ini bentuk Kelompok Penanggulangan Bencana (KPB) di
masyarakat. Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang dipilih oleh masyarakat
sendiri. Jumlah anggotanya 20-25. KPB ini kita latih dengan pengetahuan
kebencanannya. Mereka bisa menganalisis risiko bencana yang ada dan
identifikasi bencana. Mereka bikin rencana aksi. Untuk melakukan itu, mereka
dilatih. Disediakan juga teknologi, salah satunya alat komunikasi radio.
KPB
kita buat sepasang. Pertama di daerah rawan diberi nama “Kaum Muhajirin” karena
mereka yang hijrah. Untuk Kota Padang, kawasannya RW 17 dan RW 9 Parupuk
Tabing, Salido (Pessel). Ini kita lakukan agar masyarakat punya pengetahuan
jangka panjang. Kalau kita bentuk KPB,
yang bisa menularkan ilmu kepada masyarakat lain. Mereka akan menjadi
sentral informasi. Informasi berkembang terus menerus antarmasyarakat.
Kedua,
disebut “Kaum Ansyar”. Ini dibentuk di daerah aman (zona hijau). KPB yang
berada di daerah aman, dilatih tidak hanya melatih menyelamatkan diri dari gempa, tapi juga memenuhi kebutuhan dasar.
Ketika saudara mereka mengungsi. Kedua “pasangan” ini yang kita jalin.
Seberapa penting pengetahuan ini dalam kebencanaan?
Menghadapi
kebencanaan, kunci utamanya saya kira pengetahuan. Bayangkan misalnya,
pemerintah membangun sistem peringatan dini. Mahal, semua peralatan dipasang.
Tapi masyarakat tidak tahu bagaimana mengaksesnya. Siapa yang memberitahukan
kepada masyarakat alat itu berfungsi? Masyarakat akan melakukan apa dengan alat
itu? Jadi pengatahuan masyarakat itu tidak hanya tentang rencana evakuasi, tapi
bagaimana dengan peringatan dini, baik itu alam, teknologi, jalur evakuasi yang
mereka tetapkan sendiri, yang bisa
mengantarkan mereka saat golden time
(20-30 menit).
Jika demikian, kenapa masyarakat masih takut, bahkan ada
yang eksodus?
Saya
melihat, kekurangannya justru kesiapan pemerintah. Maksudnya, memang lembaga
BPBD baru hadir, tapi tidak ada pelatihan standar untuk SDM nya. Dan belum
jelas apa yang dilakukan. Bagaimana membangun lembaga itu menjadi lembaga yang
terpercaya untuk penanggulangan bencana? Untuk program yang komprehensif,
seharusnya mereka menguasai dari pra dan pascabencana. Tapi ternyata kapasitas
ini belum sesuai dengan fungi yang mereka jalankan.
Lalu,
paradigma memandang bencana belum berubah. Walau telah lahir BPBD, tapi
paradigmanya masih Satlak atau Satkorlak. Lihat sekarang, apa sih program pra
bencana yang telah digulirkan? Paling latihan gladi posko untuk para pelaku
tanggap darurat saja. Untuk masyarakatnya? Simulasi? Simulasinya seremonial.
Masyarakat kumpul hari itu, larilah. Sirinenya diujicobakan. Harusnya, dilatih
langsung dari tempat mereka sendiri.
Selanjutnya, bagi masyarakat sendiri, kendalanya adalah infrastruktur. Ketika mereka sudah tahu di zona bahaya, dan tidak ada jalan evakuasi dan jembatan yang bisa memindahkan mereka ke tempat aman pada saat golden time, sehingga mereka hopeless (putus asa), siap menunggu mati. "Ya udahlah kalau gitu, tidak ada yang bisa kita lakukan.” Mereka akhirnya berucap seperti itu, seperti yang terjadi di Pasie Nan Tigo. Hal seperti itu menumpulkan masyarakat, karena mereka tidak dilengkapi infrastruktur.
Menurut Anda, mengapa membangun infrastruktur itu begitu
lama?
Kalau
ingin menumpahkan isi hati, ini sudah 5 tahun lalu ketahuan. Sudah ada prediksi
dari para ahli. Kenapa tahun ini pemerintah menurunkan tim untuk memberikan
pengakuan, seperti Tim 9 itu. Pengakuan bahwa Sumatra memang terancam? Lima
tahun untuk mengambil keputusan itu, belum melakukan apa-apa. Lima tahun itu
pula hak masyarakat tidak diberikan (hak memperoleh pengetahuan).
Selain
itu, tidak semua SDM di pemerintahan memiliki komitmen yang tinggi. Kita bisa
bilang itu. Kita juga tidak memikirkan investasi. Padahal jika kita melakukan
kesiapsiagaan, kita menghemat 4 kali lipat bila terjadi suasana tanggap
darurat. Masksudnya, masyarakat sudah siaga, bila terjadi bencana, mereka bisa
menyelamatkan diri masing-masing. Itu adalah 4 kali lipat dana bisa dihemat
daripada masyarakat menjadi korban. Yang mati disediakan kantung mayatnya dan
ada tim SAR segala macamnya, Kalau pengungsi saja yang diurus, biayanya jauh
berkurang.
Untuk masyarakat, Anda beri saran apa?
Jangan
panik dengan isu karena yang boleh mengeluarkan informasi secara resmi hanya
lembaga pemerintah. Di luar lembaga iu, ketika memberikan informasi, jangan
percaya. Sampai sekarang, belum dan tidak seorang pun ahli di dunia bisa
memprediksi terjadinya gempa.
Khusus
untuk Sumatra Barat, tsunami mesti didahului oleh gempa. Gempanya bisa kita
rasakan karena kita hanya tinggal 200-300 m dari prakiraan sumber gempa. Jadi
pasti akan dirasakan. Tapi kita tidak tahu besarannya berapa. Bila terjadi
gempa kuat, kita tidak bisa berdiri seimbang, langsung evakuasi. Jangan tunggu
informasi dari siapapun. Kalau gempanya kecil, selamatkan diri dari ruangan.
Pastikan gedung aman untuk masuk kembali. Ingat juga, dari sekarang susunlah
rencana evakuasi keluarga bagi yang tinggal di zona rawan. Maksudnya, ketika seorang
ibu beraktivitas kerja, bapak kerja di kantor, anak-anak belajar di sekolah,
masing-masing tidak boleh saling mencari. Harus menyelamatkan diri ke tempat
yang mungkin mereka capai. Diskusikan di dalam keluarga, dalam waktu 4 jam
setelah gempa, kumpul di mana. Kalau dalam waktu empat jam tidak bertemu,
selanjutnya berkumpul di rumah saudara yang aman. Kalau dalam waktu 2X24 jam
tidak bisa berkumpul, kita harus mengikhlaskan apa yang terjadi. Itu adalah
upaya tidak hanya bersiap secara keilumuan, tapi juga menyiapkan secara mental
dan spritual.
Bangunlah
evakuasi keluarga itu saat ini juga. Siapkan tas siaga bencana, yang isinya
makanan mie instan, minuman, senter,
radio yang berbatrai, dan dokumen-dokumen berharga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar