Selasa, 23 Juli 2013

WAWANCARA Patra Rina Dewi, Direktur Eksekutif Komunitas Siaga Tsunami Padang


Masyarakat Lebih Siap Daripada Pemerintah 

Pengantar
Patra Rina Dewi
Penguatan pengetahuan warga terhadap kebencanaan menjadi sangat penting dan krusial. Posisi Sumatra Barat yang berada dalam “jalur” yang rawan bencana alam, baik itu bencana gempa bumi dan diikuti tsunami, longsor, galodo, banjir, dan letusan gunung berapi, tentu harus menjadi perhatian yang sangat serius berbagai pihak.
Untuk itu, sangat mendesak memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat tentang kebencanaan itu agar kesiagaan dan rasionalitas bisa berjalan dengan baik. Peran dan posisi pemerintah menjadi sangat penting.
Masyarakat tak bisa disalahkan jika mereka begitu mudah termakan isu-isu gempa dan tsunami. Karena pemerintah sendiri, tak punya “badan” khusus yang mampu memberikan, mengeluarkan, serta menyebarkannya informasi kepada masyarakat sekaitan dengan gempa dan tsunami. Pemerintah terkesan bertindak setelah bencana terjadi.

Patra Rina Dewi, Direktur Eksekutif Komunitas Siaga Tsunami (Kogami) Padang, kepada Andika Destika Khagen menjelaskan panjang lebar tentang ketakutan masyarakat tersebut, dan lambannya pemerintah membangun infrastruktur untuk kesiagaan bencana.
“Sepintar apapun masyarakat, kalau ia tidak dilengkapi infrastruktur, ini pembunuhan berencana namanya,” tutur Patra di sela-sela wawancara. Berikut petikannya.
Masyarakat berada dalam cekaman kecemasan karena isu gempa dan tsunami beredar dalam jaringan teknologi informasi yang tak jelas sumbernya. Bagaimana Anda melihatnya?
Ini soal pengetahuan. Masyarakat belum memiliki pengetahuan yang cukup untuk memahaminya. Kalau ada pengetahuan, tentu mereka tahu, bahwa gempa tidak pernah bisa diprediksi datangnya.  Belum ada teknologi untuk itu.
Ada asumsi yang keliru. Memberitahukan sesuatu yang baru kepada masyarakat, terutama soal bancana, masyarakat akan takut. Asumsi itu sebenarnya salah. Kita harus jelaskan langsung kepada masyarakat, bahwa kita tinggal di daerah rawan gempa dan tusnami. Tapi itu tidak mudah, karena mereka tidak tahu gambaran gempa itu seperti apa. Jadi, kalau berbicara langsung dengan masyarakat, sesuaikan dengan kebijakan lokal. Masyarakat masih percaya kok kepada pemimpinnya, Inilah yang mesti dipahami dan disadari  seorang pemimpin. Kalau pemimpinnya sudah mengerti, ini akan mudah. Pemimpin yang dimaksud bukan pimpinan yang  dipilih secara politik, tapi memang pemimpin yang dipercaya benar oleh masyarakat. Ia bisa ulama atau dermawan.
Kogami melakukan itu. Pemimpin sebagai sebagai “ketok pintu”. Kita yakinkan. Mereka yang berbicara ke lingkungan masing-masing. Misal di Ulakan Tapakis, Padangpariaman itu kan unik. Setiap masjid punya Tuanku. Dari Tuanku kita masuk untuk memberitahukan jemaah. Jemaah telah mengerti, maka kita kumpulkan masyarakat. Kita langsung yang memberikan edukasi. Biarkan orang-orang pilihan yang menjelaskan. Kalau kita masuk, masyarakat akan bertanya "Siapa sih kalian? Datang ke daerah ini baru saja?” Kita bisa ditolak.
Kita pergunakan bahasa masyarakat. Kalau masyarakat tidak menguasai bahasa Indonesia, jangan dipaksakan. Pendekatannya menyusaikan dengan audiens.  Kogami lakukan itu selama 4 tahun.
Bisa dijelaskan lebih detil lagi?
Untuk memberikan pengetahuan, pendekatannya adalah menyesuaikan dengan audiens. Strategi kita saat ini bentuk Kelompok Penanggulangan Bencana (KPB) di masyarakat. Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang dipilih oleh masyarakat sendiri. Jumlah anggotanya 20-25. KPB ini kita latih dengan pengetahuan kebencanannya. Mereka bisa menganalisis risiko bencana yang ada dan identifikasi bencana. Mereka bikin rencana aksi. Untuk melakukan itu, mereka dilatih. Disediakan juga teknologi, salah satunya alat komunikasi radio.
KPB kita buat sepasang. Pertama di daerah rawan diberi nama “Kaum Muhajirin” karena mereka yang hijrah. Untuk Kota Padang, kawasannya RW 17 dan RW 9 Parupuk Tabing, Salido (Pessel). Ini kita lakukan agar masyarakat punya pengetahuan jangka panjang. Kalau kita bentuk KPB,  yang bisa menularkan ilmu kepada masyarakat lain. Mereka akan menjadi sentral informasi. Informasi berkembang terus menerus antarmasyarakat.
Kedua, disebut “Kaum Ansyar”. Ini dibentuk di daerah aman (zona hijau). KPB yang berada di daerah aman, dilatih tidak hanya melatih menyelamatkan diri dari  gempa, tapi juga memenuhi kebutuhan dasar. Ketika saudara mereka mengungsi. Kedua “pasangan” ini yang kita jalin.
Seberapa penting pengetahuan ini dalam kebencanaan?
Menghadapi kebencanaan, kunci utamanya saya kira pengetahuan. Bayangkan misalnya, pemerintah membangun sistem peringatan dini. Mahal, semua peralatan dipasang. Tapi masyarakat tidak tahu bagaimana mengaksesnya. Siapa yang memberitahukan kepada masyarakat alat itu berfungsi? Masyarakat akan melakukan apa dengan alat itu? Jadi pengatahuan masyarakat itu tidak hanya tentang rencana evakuasi, tapi bagaimana dengan peringatan dini, baik itu alam, teknologi, jalur evakuasi yang mereka tetapkan  sendiri, yang bisa mengantarkan mereka saat golden time (20-30 menit).
Jika demikian, kenapa masyarakat masih takut, bahkan ada yang eksodus?
Saya melihat, kekurangannya justru kesiapan pemerintah. Maksudnya, memang lembaga BPBD baru hadir, tapi tidak ada pelatihan standar untuk SDM nya. Dan belum jelas apa yang dilakukan. Bagaimana membangun lembaga itu menjadi lembaga yang terpercaya untuk penanggulangan bencana? Untuk program yang komprehensif, seharusnya mereka menguasai dari pra dan pascabencana. Tapi ternyata kapasitas ini belum sesuai dengan fungi yang mereka jalankan.
Lalu, paradigma memandang bencana belum berubah. Walau telah lahir BPBD, tapi paradigmanya masih Satlak atau Satkorlak. Lihat sekarang, apa sih program pra bencana yang telah digulirkan? Paling latihan gladi posko untuk para pelaku tanggap darurat saja. Untuk masyarakatnya? Simulasi? Simulasinya seremonial. Masyarakat kumpul hari itu, larilah. Sirinenya diujicobakan. Harusnya, dilatih langsung dari tempat mereka sendiri.

Selanjutnya, bagi masyarakat sendiri, kendalanya adalah infrastruktur. Ketika mereka sudah tahu di zona bahaya, dan tidak ada jalan evakuasi dan jembatan yang bisa memindahkan mereka ke tempat aman pada saat golden time, sehingga mereka hopeless (putus asa), siap menunggu mati. "Ya udahlah kalau gitu, tidak ada yang bisa kita lakukan.” Mereka akhirnya berucap seperti itu, seperti yang terjadi di Pasie Nan Tigo. Hal seperti itu menumpulkan masyarakat, karena mereka tidak dilengkapi infrastruktur.

Menurut Anda, mengapa membangun infrastruktur itu begitu lama?
Kalau ingin menumpahkan isi hati, ini sudah 5 tahun lalu ketahuan. Sudah ada prediksi dari para ahli. Kenapa tahun ini pemerintah menurunkan tim untuk memberikan pengakuan, seperti Tim 9 itu. Pengakuan bahwa Sumatra memang terancam? Lima tahun untuk mengambil keputusan itu, belum melakukan apa-apa. Lima tahun itu pula hak masyarakat tidak diberikan (hak memperoleh pengetahuan).
Selain itu, tidak semua SDM di pemerintahan memiliki komitmen yang tinggi. Kita bisa bilang itu. Kita juga tidak memikirkan investasi. Padahal jika kita melakukan kesiapsiagaan, kita menghemat 4 kali lipat bila terjadi suasana tanggap darurat. Masksudnya, masyarakat sudah siaga, bila terjadi bencana, mereka bisa menyelamatkan diri masing-masing. Itu adalah 4 kali lipat dana bisa dihemat daripada masyarakat menjadi korban. Yang mati disediakan kantung mayatnya dan ada tim SAR segala macamnya, Kalau pengungsi saja yang diurus, biayanya jauh berkurang. 
Untuk masyarakat, Anda beri saran apa?
Jangan panik dengan isu karena yang boleh mengeluarkan informasi secara resmi hanya lembaga pemerintah. Di luar lembaga iu, ketika memberikan informasi, jangan percaya. Sampai sekarang, belum dan tidak seorang pun ahli di dunia bisa memprediksi terjadinya gempa.
Khusus untuk Sumatra Barat, tsunami mesti didahului oleh gempa. Gempanya bisa kita rasakan karena kita hanya tinggal 200-300 m dari prakiraan sumber gempa. Jadi pasti akan dirasakan. Tapi kita tidak tahu besarannya berapa. Bila terjadi gempa kuat, kita tidak bisa berdiri seimbang, langsung evakuasi. Jangan tunggu informasi dari siapapun. Kalau gempanya kecil, selamatkan diri dari ruangan. Pastikan gedung aman untuk masuk kembali. Ingat juga, dari sekarang susunlah rencana evakuasi keluarga bagi yang tinggal di zona rawan. Maksudnya, ketika seorang ibu beraktivitas kerja, bapak kerja di kantor, anak-anak belajar di sekolah, masing-masing tidak boleh saling mencari. Harus menyelamatkan diri ke tempat yang mungkin mereka capai. Diskusikan di dalam keluarga, dalam waktu 4 jam setelah gempa, kumpul di mana. Kalau dalam waktu empat jam tidak bertemu, selanjutnya berkumpul di rumah saudara yang aman. Kalau dalam waktu 2X24 jam tidak bisa berkumpul, kita harus mengikhlaskan apa yang terjadi. Itu adalah upaya tidak hanya bersiap secara keilumuan, tapi juga menyiapkan secara mental dan spritual.
Bangunlah evakuasi keluarga itu saat ini juga. Siapkan tas siaga bencana, yang isinya makanan  mie instan, minuman, senter, radio yang berbatrai, dan dokumen-dokumen berharga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...