OLEH Nasrul Azwar
Sekjen
Aliansi Komunitas Seni Indonesia
Seni-seni tradisi yang
melekat dalam kehidupan sosial-kultur masyarakat—tentu saja termasuk di Minangkabau
(Sumatera Barat)—dapat dimaknai sebagai sistem nilai yang fungsinya mendorong
dan membimbing masyarakatnya menjawab tantangan yang mereka hadapi sepanjang
masa.
Seni tradisi Tupai Janjang dari Kab Agam (Foto inioke.com) |
Sistem nilai dan tradisi tersebut
merupakan ciri identitas sebuah kelompok masyarakat budaya. Pada masyarakat Minangkabau
dicirikan dengan paham egalitarian dan sistem matrilineal yang hidup di dalam
nagari-nagari. Seni-seni tradisi pun tumbuh di dalamnya seiring berkembangnya nagari.
Dalam kultur Minangkabau, seni tradisi itu biasanya disebut pamenan anak nagari yang tumbuh dan
berkembang dalam tradisi budaya yang ditopang dengan apa yang dinamakan
peristiwa budaya alek nagari.
Alek nagari, yang merupakan suatu bentuk perayaan atau pesta budaya ini, dalam sejarah kebudayaan Minangkabau, memang memiliki peran dan fungsi yang penting dalam memelihara dan mengembangkan berbagai bentuk kesenian tradisi yang ada di setiap nagari secara otonom dan partisipatif.
Dengan kata lain, alek nagari bisa dianggap sebagai suatu institusi
budaya yang penting dalam masyarakat Minangkabau, karena bukan hanya sekadar
wadah perayaan kesenian, tetapi juga sekaligus merupakan media pengikat
silaturahim antara anak nagari sendiri.
Setiap nagari harus memiliki galanggang, atau sering juga disebut medan
nan bapaneh atau, medan permainan, yang dimanfaatkan untuk kegiatan seni budaya
anak nagari. Di dalam struktur nagari, sudah ada tempat yang jelas bagi tumbuh
dan berkembangnya kesenian (budaya) anak nagari.
Hadirnya galanggang
(sasaran) sebagai ruang publik di tengah-tengah kehidupan nagari di
Minangkabau, merupakan ranah bagi anak nagari untuk mengekspresikan diri
mereka, dapat disebut sebagai sistem nilai budaya. Di dalam galanggang itu akan
teraktualisasikan ekspresi individu, masyarakat, dan komunal.
Galanggang (sasaran) yang
tumbuh sebagai ruang publik di nagari itu terefleksi, umpamanya, pada seni
randai, pencak silat, dan seni-seni tradisi lainnya. Randai dan pencak silat
sebagai salah satu bentuk permainan anak nagari di Minangkabau, mengemuka
sebagai cerminan sistem nilai yang berkaitan dengan komunalisme, egalitarian,
yang identitas kultural. Maka, dengan itu pula, galanggang terkukuhkan dalan struktur
budaya Minangkabau. Galanggang menjadi yang inheren dengan perjalanan dan
akselerasi budaya Minangkabau.
Di sisi lain, surau—sebagai
juga sebagai ruang eskspresi dan belajar bagi anak nagari, yang dimiliki setiap
pasukuan di nagari-nagari Minangkabau, juga merupakan ruang publik bagi anak
nagari. Di surau-surau berkembang dengan baik seni-seni yang bersifat religius
yang bernapaskan Islam: Salawat dulang, dikia,
indang, dan tabuik adalah beberapa contoh kesenian tradisi Minangkabau
yang bernapaskan Islam.
Akan tetapi,
dalam sejarahnya, tidak sedikit pula kesenian Minangkabau yang sama sekali
tidak bersentuhan dengan nilai-nilai keislaman, seperti randai dan pencak
silat. Sepintas terlihat ada dualisme: seni yang kuat napas keislamannya dan
satu sisi tidak bersentuhan dengan Islam.
Menurut
Yusriwal, (Singgalang, Senin, 27 Mei 1996), inti dari kebudayaan
Minangkabau memang terletak pada dualisme seperti itu. Dalam pemerintahan
umpamanya dikenal Lareh Koto Piliang yang aristokrat dan Lareh Bodi
Caniago yang demokrat. Pada kesenian, dualisme itu terjadi disebabkan
perbedaan basis tempat kelahirannya, yaitu surau dan sasaran.
Dari surau lahirlah kesenian bernapaskan Islam, seperti salawat dulang, barzanzi, sedangkan
dari sasaran yang fungsi
utamanya untuk latihan silat muncul pula kesenian seperti randai.
Oleh masyarakat
Minangkabau, kedua jenis kesenian tersebut diberi hak yang sama untuk hidup.
Mereka tidak pernah mempertentangkannya dan tidak pula memberikan penilaian
mana yang lebih baik di antara keduanya. Yang ada hanyalah pembedaan
kepentingan. Dalam acara keagamaan, seperti memperingati Maulid Nabi, kesenian
yang dipertunjukkan adalah yang bernapaskan Islam. Dan belum dan tidak akan
pernah seni randai dimainkan di surau atau masjid.
Sepanjang sejarahnya,
memang, kesenian randai menjadi salah satu cabang seni tradisi Minangkabau yang
cukup berkembang dan populer di Sumatera Barat. Hampir setiap nagari yang
jumlahnya saat kini lima ratusan nagari memiliki kelompok randai. Seni randai
acap ditampilkan pada acara panen padi, perkawinan, upacara batagak
penghulu, dan pesta-pesta rakyat lainnya. Kehadiran seni randai menjadi
keniscayaan dalam mempertebal rasa bernagari, dan juga kehadiran randai tampak
mengesankan kesempurnaan terhadap adat istiadat Minangkabau itu sendiri.
Seni randai dalam bentuknya
yang sekarang, merupakan hasil dari suatu proses akulturasi yang panjang antara
tradisi kesenian Minangkabau dengan bentuk-bentuk sandiwara modern seperti
tonil, yang mulai dikenal masyarakat Minangkabau sejak awal abad ke-19.
Di Pusaran Globalisasi
Dalam konteks kesenian tradisi di
Minangkabau—termasuk salah satunya randai di atas tadi—kini tentu dihadapkan
dengan tantangan yang demikian besar. Kesenian tradisi yang berada dalam
pusaran pengaruh budaya global memang dianggap menjadi sebuah persoalan. Tak
dapat ditutupi, berkembang pula berbagai bentuk ketidakcocokan, ketidaksetaraan
atau ketidakharmonisan di dalam pola-pola interaksinya dengan pelaku dan
publiknya, yang saat bersamaan di dalamnya terdapat ancaman terhadap eksistensi
dan keberlanjutan budaya-budaya lokal.
Budaya global menjadi sebuah
persoalan politis, ketika budaya-budaya lokal terserap ke dalam budaya dominan,
yang bersifat impersonal, yang dikendalikan dan diatur oleh elit-elit
profesional, yang mempunyai kekuatan hegemoni dalam pengambilan keputusan dan
menentukan nasib dan masa depan budaya-budaya lokal (Yasraf: 2003).
Namun demikian, sejak Pemerintah
Provinsi Sumatra Barat menetapkan nagari sebagai ujung pemerintahan yang
terendah menggantikan desa di awal tahun 2000-an, eforia yang cenderung
romantik akan kebesaran masa lalu, kian terasa dan mengemuka.
Kendati sudah tersedianya fasilitas dan ruang ekspresi bagi masyarakat
saat ini, namun perkembangan zaman yang diikuti dengan kemajuan pesat teknologi
informasi, mendesakkan ruang ekspresi (seni) anak nagari, kian tersingkir.
Galanggang nagari ditinggalkan, alek nagari hanya representasi seremonial
belaka, dan peminat seni tradisi Minang, menurun, untuk tak mengatakan tak ada
sama sekali. Kondisi ini, bagi sebagian pihak memang mengkhawatirkan.
Tentu saja, mengembalikan nagari-nagari
dalam tatanan kultural Minangkabau, membawa harapan besar untuk berkembang dan
hidupnya seni-seni tradisi Minangkabau. Namun, ternyata sebaliknya, seni-seni
tradisi, dengan keterbatasannya, “melawan” kekuatan yang berada di luar dirinya
yang menggerusnya terus menerus.
Terancam Punah
Dari penelusuran di tingkat nagari
dan pengumpulan berbagai informasi, tak sedikit jumlahnya seni-seni tradisi
Minangkabau—dan saya kira hal serupa juga terjadi di daerah-daerah lain—yang
terancam lenyap dari muka bumi karena tak ada lagi pelanjut kesenian itu.
Untuk Sumatera Barat, seni-seni tradisi yang juga dapat dimasukkan sebagai
sastra lisan yang terancam punah itu, antara lain, seni basijobang, basirompak,
barzanji, adok, pembacaan Hikayat Amir Hamzah, rabab darek, baikayaik,
badikia, dendang dan saluang pauh, mak rabuak, bagaru, ronggeng, bakobar,
rantak kudo, ratok bagindo suman, iriak onjai, tupai janjang, basiang padi,
barombai, bataram, bailau, tari kain, batintin, dan dendang raimah.
Tentu saja ancaman lenyapnya
seni-seni tradisi yang kaya dengan nilai-nilai hidup, norma-norma sosial,
pendidikan karakter itu, jelas bukan menjadi cita-cita kita, bukan kehendak
kita bersama.
Kini galanggang, sasaran, dan medan
nan bapaneh, hampir setiap nagari-nagari sudah sepi ditinggal pergi anak
nagari. Surau-surau sudah roboh dan lenyap. Seiring dengan itu, seni-seni
tradisi milik anak nagari juga berangsur menyusut. Dan menemui kepunahannya.
Agar hal itu tak terjadi, perlu upaya
reposisi dan revitalisasi kultural terhadap seni-seni tradisi itu pascarezim
otoriter (rezim penyeragaman), yang di dalamnya diperjuangkan sifat-sifat
kebebasan, otonomi, pluralitas, dan penentuan diri sendiri, tentu saja harus
dilakukan secara sistematis.
Selain itu, seperti disarankan Yasraf,
berbagai bentuk pergaulan global tampaknya merupakan sebuah keniscayaan bagi
setiap budaya-budaya lokal, jika tidak mau terlindas oleh arus globalisasi itu
sendiri. Budaya-budaya lokal yang cukup kuat akan memanfaatkan peluang dari
globalisasi; akan tetapi, budaya-budaya
yang tidak cukup tangguh cenderung untuk diserap, ditransformasikan atau bahkan
dihancurkannya.
Dunia kesenian tradisi
Minangkabau—barangkali sudah terstruktur dalam sistem budaya
masyarakatnya—semenjak dulu sampai hari ini telah dengan sendirinya
tersegmentasi atas nagari-nagari yang ada Minangkabau. Pola yang segmentatif
ini pada batasan tertentu mempersempit ruang gerak perkembangan seni itu
sendiri, namun tidak membatasi dirinya secara ketat.
Rumusan adat selingkar
nagari yang berlaku di Minangkabau memberikan tanda bahwa seni tradisi yang
tumbuh di nagari-nagari diakomodasi pada batas nagari. Seni tradisi indang
berkembang di Solok dan Pariaman misalnya, tidak akan dijumpai di nagari-nagari
di Limapuluh Koto. Juga seni tradisi basijobang juga tak akan ditemui di daerah
pesisir Sumatera Barat.
Negara Harus Bertanggung Jawab
Sesungguhnya “kehancuran”
seni-seni tradisi itu tak lepas dari pola dan kebijakan yang dilakukan negara
terhadap kehidupan seni itu sendiri. Intervensi dan strategi pembinaan yang
represif di masa Orde Baru, memberi kontribusi dan percepatan babak belurnya
seni tradisi itu. Seni-seni tradisi telah dijejali dan dibebani dengan muatan
politik untuk kepentingan kekuasaan itu sendiri.
Sentralisasi budaya yang
otoriter yang dijalankan Orde Baru selama 32 tahun merupakan salah satu
determinasi terputusnya komunikasi antarbudaya yang terbuka selama ini.
Pada masa Orde Baru,
komunikasi budaya cenderung diintruksikan dari atas sehingga berbagai potensi
kultural publik tidak mendapat tempat artikulasinya secara baik. Kendati lepas
dari cengkeraman Orde Baru, yang berharap ada perbaikan bagi seni-seni tradisi
itu pada masa Orde Reformasi, ternyata pola serupa juga dirasakan saat ini walau
bentuk dan tabiatnya beda. Seni tradisi masih “memarjinalkan”.
Karena negara yang memulai
“kehancuran” pada seni-seni tradisi itu, maka saatnya negaralah yang harus
membangunnya kembali.
Kita menyadari kebudayaan
tidak bersifat statis, termasuk di dalam seni tradisi itu, namun cenderung
dinamis, selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam kultur
Minangkabau, ada adagium adat terkait dengan kedinamisan budayanya: Sakali
aie gadang, sakali tapian barubah (jika
air bah datang, saat itu tempat pemandian berubah). Dan seni tradisi
dalam perjalanannya selalu mengikuti perubahan yang tengah berlangsung.
Beberapa seni tradisi Minang
memang mengalami proses adaptasi yang cukup kreatif: Seni teater rakyat berupa
randai telah melewati proses demikian. Posisi seni tradisi randai mengalami
modernisasi secara berlahan. Namun, tak semua seni tradisi bisa melakukan hal
serupa.
Merawat seni tradisi memang membutuhkan kesadaran pada arus perubahan
yang terjadi, dan itu memiliki dampak humanisme yang mendasar. Kendati begitu,
pilihan agar seni-seni tradisi kita tak lenyap dari muka bumi, tentu bukan sematan
tanggung jawab yang harus dibebankan ke pundak pemerintah. Semua kita harus
peduli, dan jika tak kita, siapa lagi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar