Oleh:
Nasrul Azwar
Pada masa kampanye pemilihan umum 2009 lalu, saya menerima SMS berantai
dari seorang teman. Bunyinya: Bangsa-bangsa
lahir di hati para penyair, lalu mati di tangan para politisi.
Setelah tiga
tahun, baru saya mengetahui asal muasal yang menulis SMS itu adalah sastrawan Acep Zamzam Noor. Saya mengetahui itu, ketika membaca tulisannya berjudul Sastra dan Negara: Pengalaman Tasikmalaya.
Tulisan itu dapat dibaca di blognya http://politikacepzamzamnoor.blogspot.com.
Barangkali, tulisan ini tak mengiyakan demikian saja tema bahasan yang disodorkan panitia ke saya, yaitu “Peran Negara dalam Kesusastraan” karena toh saya akan bicara sebaliknya: Sastra tak membutuhkan negara (baca: Indonesia) dan negara tak punya peran sama sakali terhadap sastra. Negara tak membutuhkan sastra. Malah, sastralah yang memberi kontribusi besar terhadap negara.
Kita akan
membalik sejarah lagi untuk membaca kembali “imajinasi” yang dikonstruksikan
para pemuda era tahun 20-an, yang dalam perjalanan hidup mereka merupakan
sastrawan pelopor, sebuah negara yang kelak bernama Indonesia.
Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada 28 Oktober 1928—yang baru kita rayakan
tiga hari lalu—yang dipelopori sejumlah anak muda masa itu, yang bagi Presiden
Penyair Sutardji Calzoum Bachri, “Sumpah Pemuda” itu merupakan puisi besar yang
dihasilkan anak-anak muda zaman dulu. Selain karena memenuhi kaidah untuk
disebut puisi, di mana unsur-unsur puisi terdapat di dalamnya, isinya pun
sangat imajinatif bahkan futuristik. Mengungkapkan sesuatu yang secara realitas
belum ada. Sesuatu yang masih berupa utopia.
Asep Zamzam Noor dalam tulisannya mengatakan, saat itu anak-anak muda yang
mempunyai naluri kepenyairan berkumpul dan secara kolektif berimajinasi tentang
sebuah bangsa, sebuah negara. Secara kolektif pula mereka menulis sebuah puisi
yang indah, yang sekarang kita kenal sebagai “Sumpah Pemuda”.
Lalu, seketika sebuah pemandangan di layar kaca menyesakkan dada. Sebuah
partai politik mengambil latar Sumpah Pemuda untuk menyampaikan pesan
politiknya. Kita pun terpana.
Sastra dan
juga kesenian lainnya, hidup dan terus berkembang dengan caranya sendiri.
Sastra menghidupi dirinya sendiri tanpa henti. Nilai militansi terpaku kuat di
sana. Dan itulah spiritnya.
Negara yang
bagi Gramsci yang disebutnya dengan hegemoni itu, bagi sastra adalah “musuh”
dan sekaligus “punggung” yang dicangkul terus menerus. Bagi negara, sastra
itupun bak sebilah pisau tajam bermata dua. Tergantung bagaimana ia
memanfaatkannya.
Sesuatu yang sangat ironis adalah ketika sastra dan
seni-seni lainnya, khususnya seni tradisi, “dijual” negara atas nama promosi
dagang atau pariwisata ke luar negeri, tanpa pernah melihat bagaimana seni
tradisi itu hidup dan tumbuh dengan keprihatinan di pelbagai pelosok Nusantara.
Jangan berharap negara membantu. Negara pun berladang di punggung seniman.
Prof Koh Young Hun, pengajar di Departemen of
Malay-Indonesien Studies, Hankuk University of Fereign Studies (HUFS), Seoul,
Korea, dalam bukunya Pramoedya Menggugat:
Melacak Jejak Indonesia (2011), menuliskan, tidak berlebihan kiranya jika
dikatakan Indonesia merasa bangga karena dapat melahirkan seorang sastrawan
yang bernama Pramoedya Ananta Toer.
Prof Teeuw mengatakan, Pramoedya Ananta Toer
merupakan penulis yang muncul hanya sekali dalam satu generasi, atau malah
dalam satu abad.
Pramoedya Ananta Toer pernah menjadi calon penerima
Hadiah Nobel pada tahun 1980, dan pada 1986 nyaris menerima hadiah sastra
bergengsi itu. Pramoedya Ananta Toer tak saja mewakili Indonesia, melainkan
juga wujud sebagai seorang sastrawan yang dapat mewakili Asia.
Tak terbantahkan, di balik kebesaran nama Pramoedya
Ananta Toer itu, negara telah diuntungkan, paling tidak dalam percaturan
pergaulan dunia. Lalu, negara telah berikan apa buat Pramoedya Ananta Toer?
Omong kosong, malah dia dipenjara bertahun-tahun tanpa melalui proses
pengadilan negara.
Soal Pramoedya Ananta Toer itu sekadar menyebut
contoh saja sebagai pembuktian negara (sekali lagi, baca Indonesia), tak cuma
merajam sastrawan berikut karya-karya sastra, tapi menggenapkan untuk
membunuhnya. Apa yang saya kutip pada awal tulisan, tampaknya Acep benar.
Para pejabat dan politisi sebagai
pengelola negara tidak pernah mengambil inspirasi, manfaat apalagi hidayah dari
apa yang telah ditulis para sastrawan dengan berdarah-darah. Begitu juga
kalangan profesional seperti dokter, jaksa, hakim, pengacara, pengusaha, ulama,
dosen atau semacamnya.
Sekarang sulit sekali mencari orang
yang masih mau memelihara kepekaan dalam dirinya. Sulit menemukan manusia yang
masih tekun mengasah batinnya. Agama menjadi persoalan yang tak ada hubungannya
dengan perilaku sehari-hari. Sembahyang atau naik haji menjadi hobi, begitu juga
korupsi dan kolusi. Dokter yang tugasnya melayani malah ikut bisnis obat.
Jaksa, hakim dan pengacara kerjanya hanya jual beli perkara. Pengusaha
bersinergi dengan penguasa. Ulama menerima pesanan fatwa.
Anwari WMK, salah seorang peneliti Filsafat dan Kebudayaan di Sekolah
Jubilee, Sunter, Jakarta, dalam sebuah artikelnya menyebutkan, Indonesia
sesungguhnya masuk ke dalam kategori negara tanpa sastra. Tersingkapnya fakta
di seputar penelantaran Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin merupakan
bukti hadirnya negara tanpa sastra di Indonesia.
Kasus terlantarnya Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin karena faktor
keuangan, memang memiriskan. Beberapa komunitas berinisiatif mengumpulkan koin
agar sumber penting sejarah sastra itu terselamatkan. Namun, siapa nyana,
negara bergeming.
Dalam tataran yang lebih luas, pada tingkat pusat, kondisi serupa tak
jauh beda dengan apa yang dialami PDS HB Jassin. Jika diteruskan, pada tingkat provinsi, kota dan kabupaten, negara semakin
melebarkan jarak dengan sastra.
Ketika masyarakat pada suatu negara terlatih memanusiakan dirinya melalui
jalan sastra atau karya-karya sastra, sesungguhnya sebuah negara memiliki modal
kultural yang tiada tara untuk mengimajinasikan makna dan hakikat hidup
adiluhung. Negara tersebut tidak akan menghadapi kesulitan superpelik tatkala
harus masuk ke dalam agenda peningkatan daya saing ekonomi dan industri,
berhadapan dengan negara-negara lain di dunia.
Perlawanan yang Harus Dilakukan
Merentang sastra—seni tentunya secara umum—sebagai
bentuk perlawanan terhadap negara tentu akan sangat panjang daftarnya. Tapi
yang pasti, sastra tetap tak akan pernah mati dan tak pernah akan surut kendati
negara tak pernah menaruh perhatian serius, dan mungkin memang sastra tak butuh
perhatian itu.
Munculnya komunitas-komunitas seni dasawarsa
terakhir di pelbagai pelosok Tanah Air, bagi sebagian orang berpendapat, karena
negara membuka seluasnya ruang-ruang publik untuk mengaktualisasikan diri dan
komunitasnya. Bagi saya, pendapat itu tak betul benar. Yang benar adalah
maraknya komunitas-komunitas itu sebagai representasi perlawanan terhadap
negara dengan segenap “perangkat” di dalamnya.
Pada tingkat paling subjektif, masing-masing kita
pasti punya pengalaman yang menyakitkan saat berurusan dengan negara, baik itu
terkait urusan sumbangan dan bantuan dana maupun tingkat apresiasi mereka
(baca: pejabat, birokrat, dan politisi).
Jadi apa yang menjadi dasar pemikiran dalam TOR
Konferensi Sastra Indonesia, yang disebutkan
bahwa negara cukup memegang posisi penting untuk produktivitas
karya para seniman khususnya sastrawan, terkesan tak menemui pembenarannya dan utopis.
Dikatakan juga, apalagi di
era keterbukaan semacam ini, negara dapat berperan sebaliknya, menjadi
pendukung bagi seniman untuk berkarya. Masa sekarang ini dapat menjadi lahan
subur bagi negara melindungi, mendorong, memfasilitasi, memediasi segala
kegiatan kesenian yang sedang tumbuh subur dan terus berkembang.
Pramoedya Ananta Toer |
Saya hanya ingin mengatakan, ketika menyimak
kalimat dalam TOR itu, memang terasa benar hanya untuk memenuhi tuntutan
kebutuhan sebuah “proposal proyek” karena jauh panggang dari api, bertolak
belakang dengan kenyataan sebenarnya.
Apakah betul kita merasakan bersama-sama bahwa
negara ini mendukung kebudayaan, khususnya sastra itu?
Negara (Indonesia) tidak pernah
menjalankan perannya seperti yang dibayangkan dalam kalimat tersebut. Negara hanya bisa melakukan
klaim terhadap keberhasilan sebuah sebuah atau lebih karya seni.
Pada skala yang lebih kecil, taruhlah
di Sumatera Barat, kondisinya lebih parah lagi. Semenjak gubernur sampai
wakilnya, sejak bupati dan wakilnya, dari walikota dan wakilnya, hingga ke
tingkat anggota DPRD, seterusnya ke
kepala-kepala SKPD, dan terus lanjut ke hierarki ke bawahnya, jangan tanya
seberapa jauh tingkat apresiasi mereka pada seni? Pasti akan sangat
mengecewakan dan malah memedihkan.
Dalam buku Kekuasaan Zaman Edan yang
ditulis Puji Santosa dan diterbitkasn Pararaton, Yogyakarta, dikatakan,
pujangga R. Ng. Ranggawarsita (1802—1873) telah meramalkal hadirnya kekuasaan
zaman edan sehingga mengakibatkan derajat negara demikian kacau-balau. Dan hari
ini itu kita saksikan.
Karut-marut, undang-undangnya tidak
dihargai, rakyat semakin rakus dan loba, banyak berita bohong yang sulit
dipercaya, banyak orang munafik, penuh fitnahan, tipu muslihat, banyak pejabat
yang menanam benih-benih kesalahan, teledoran, alpa, banyak orang yang berjiwa
baik, cerdas, dan bijaksana, justru kalah dengan mereka yang culas, kerdil, dan
jahat.
Kendati begitu, ratusan puisi hadir
setiap tahun di media cetak, puluhan novel terbit (sepanjang 2010-2012 sudah
hanpir belasan novel dan kumpulan cerpen terbit dari pengarang Sumatera Barat),
dan karya seni lainnya tetap hidup di atas panggung tanpa kehadiran campur tangan
negara.
Menurut Anwari WMK,
negara tanpa sastra merupakan frasa yang mengilustrasikan tak adanya perhatian
rezim yang tengah berkuasa di suatu negara terhadap arti penting sastra bagi
kemajuan masyarakat dan pemerintahan di negara tersebut.
Akhirnya, negara itu memang ada dalam
jiwa sastrawan. Tulisan masih sangat terbuka kita diskusikan bersama. Salam.
*Disampaikan dari Konferensi Sastra
Indonesia di Hotel Pangeran City Padang, 31 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar