OLEH Nasrul Azwar
Sekjen Aliansi
Komunitas Teater Indonesia
Foto Iggoy el Fitra |
Pembicaraan
di sini lebih mementingkan tentang saling keterkaitan yang integral antara seni
tradisi (bercerita) randai Minangkabau dengan teater modern, yang mulai
berkembang di Sumatera Barat pada awal
tahun 60-an. Dan keberpalingan kelompok-kelompok teater terhadap spirit dan
nilai-nilai tradisi itu.
Tradisi dan kekayaan sastra lisan Minangkabau dengan berbagai ragam dan variasi, jelas merupakan modal kultural bagi pegiat teater, dan juga seni-seni lainnya. Tapi, tak dimanfaatkan maksimal sebagai spirit dan inspirasi. Teater hadir seperti identitas yang asing di belantara carut marutnya masalah kebudayaan kita. Teater bukan lagi sebuah “perjalanan” panjang yang melekat pada kehidupan manusia, tapi seperti “follower” yang setiap saat bisa saja di-“unfoll0w” lagi. Sangat instan.
Perjalanan kesenian masa depan, adalah seni yang
mampu menjelaskan identitas kulturalnya, seni yang menanamkan sebelah kakinya
pada spirit tradisi yang tumbuh bersama dengan sejarahnya. Jika teater di
Sumatera Barat tak melihat tradisinya, maka ia dengan sadar menafikan “tubuh”
teater itu sendiri. Bukankah keengganan
dan berpaling pada tradisi itu, sebuah kemurtadan?
Dari
pembacaan dan data-data yang saya kumpulkan (wawancara dan pengumpulan
buku-buku acara pertunjukan teater yang pernah dilakukan di Sumatera Barat), semenjak era 70-an sampai dengan 2012
ini, nyaris semua kelompok teater secara inheren tak bisa dilepaskan dari seni
tradisi bakaba: baik secara konsepsi maupun garapan di atas panggung, maupun
ceritanya, kendati hanya menyentuh kulitnya saja.
Berbagai
kelompok teater yang ada di Sumatera Barat telah pernah mencoba memadukan
bentuk fisik dari cerita bakaba dan mengawinkannya dengan hakikat teater
modern. Kelompok-kelompok teater yang
dipimpin BHR Tanjung dan Nazif Basir, Bumi Teater pimpinan Wisran Hadi, Teater
Padang (Hardian Radjab), Teater Dayung-dayung (A Alin De), dan Teater
Noktah (Syuhendri), Komunitas
Hitam-Putih (Yusril Katil), Teater Eksperimental Fakultas Sastra
Unand (Prel T), Teater Imaji (M Ibrahim Ilyas), Old
Track Teater (Rizal Tanjung), Teater
Kamus (Muslim Noer), Teater Ranah
(S Metron M), dan sederet kelompok teater lainnya yang lahir selepas tahun
2000-an, adalah kelompok teater modern yang hadir di Sumatera Barat, yang sebagian besar menyusun konsepsi
dan garapan pertunjukannya berdasarkan perkawinan cerita kaba dan randai tradisional
dengan teater modern, tetapi tak maksimal dan setengah-setengah.
Dalam konteks seni tradisi masyarakat
Minangkabau, bakaba, (bercerita)
merupakan salah satu jenis (genre) tradisi lisan yang bersifat lokal. Berkaba (bercerita) merupakan salah satu jenis sastra Minangkabau
yang berisi cerita dan berbentuk prosa liris, kalimat kaba pendek-pendek,
antara 8 sampai 12 suku kata dan diucapkan dalam dua penggalan atau caessure.
Beragam
jenis bakaba yang berkembang di nagari-nagari di Minangkabau. Salah
satunya seni pertunjukan randai yang yang selalu membawakan cerita kaba
(kabar). Masing-masing nagari di Minangkabau punya kekhasan cerita randainya.
Cerita kaba Sabai nan Aluih, Anggun Nan Tongga, sekadar mencontohkan, merupakan cerita rakyat dari etnis
Minang yang sangat populer.
Hampir
semua nagari-nagari di Minangkabau mengenal cerita ini. Nagari
merupakan wilayah hukum adat yang otonom dan bentuk pemerintahan yang terkecil
dalam struktur pemerintahan daerah di Sumatera Barat.
Bentuk
penyampaian kaba itu bermacam-macam. Salah satunya adalah randai. Randai adalah
salah satu bentuk teater tradisional Minangkabau, yang sangat populer. Teater
tradisi ini merupakan gabungan yang unik antara silat (martial art),
tari (dance), cerita atau kaba (folk song), instrumen
musik (instrumental music), dan akting (acting). Sedangkan teater
modern adalah semua seni drama yang memakai naskah dialog untuk membedakannya
dari seni drama tradisional yang mempunyai ikatan-ikatan tradisional pula dan
tidak memakai naskah dialog karena dialognya dilakukan dengan improvisasi.
Seni randai dan cerita yang dibawanya sebagai
basis kreativitas bagi teater modern memang bukan hal baru. Kecenderungan
serupa ini telah berlangsung lama. Namun demikian, pada batas ini, “kecelakaan”
tafsir sering terjadi—seperti yang diungkapkan Ninuk Kleden—anggapan bahwa
kebudayaan dapat berperan sebagai identitas etnik mempunyai konsekuensi
teoritis yang mengharuskan orang memperlakukan kebudayaan sebagai “tanda”.
Sementara pemikiran tentang hubungan antara tanda
(signified) dengan yang ditandai (signifier) telah mengalami
perubahan. Kalau semula hubungan tersebut boleh dikatakan memiliki makna
tunggal, kini tidak demikian lagi. Jadi, tafsiran tentang representasi
identitas, dalam hal ini identitas etnik, bukan merupakan hubungan yang linear
dan bukan merupakan hubungan yang final.
Tafsir yang direpsentasikan dengan sebutan
pementasan teater kerap memiliki kecenderungan pengaktualisasian tematik dengan
kondisi kekinian. Teks budaya (tradisi) yang mendasarinya menjadi pijakan dan
landasan kreatif sutradara untuk merentangkan sebuah “historiografi” perjalanan
masa, katakanlah, semenjak munculnya sebuah cerita dengan tradisi oral hingga
ke tradisi tulis pada saat sekarang. Masa atau zaman yang panjang itu—terlihat
mencengangkan—dapat
dimampatkan dalam satu kerangka panggung dengan
durasi cerita yang singkat oleh sutradara teater.
Tafsir terhadap teks telah menjadi wilayah kuasa
sutradara teater yang paling absolut. Pada wilayah teks budaya yang maha luas
itu, sutradara merambah belantara ikon, simbol budaya, dan penanda sosial
lainnya untuk diwujudkan dalam estimasi ruang dan waktu dalam satu frame
panggung dengan pertanggungjawaban kreatif sutradara.
Tafsir terhadap representasi identitas etinik,
taruhlah cerita atau kaba Sabai Nan Aluih, Anggun Nan Tongga, Malin Kundang,
Cindua Mato, Puti Bungsu, dan cerita-cerita
lainnya yang berasal dari etnis Minangkabau, yang pernah ditafsirkan di
atas panggung teater modern, adalah tanda yang ditandai dengan memakai
perangkat kekinian.
Kaba mengalami reaktualisasi, restorasi, dan
panggung teater telah membentangkan “kaba” baru bagi audiensnya. Pertunjukan
yang berangkat dari spirit kaba itu mengalami metamorfosis dan pengerucutan
simbolisasi dengan menafikan kekuatan tradisi oral (lisan) budaya etnik
Minangkabau. Bagi perjalanan seni (teater) kontemporer (modern), “kaba” baru
itu bukankah bentuk inovasi dan kreativitas seni? Tentu saja.
Dalam catatan saya, tak banyak kelompok teater di
Sumatera Barat yang berhasil mencapai hal seperti ini. Jika disebutkan, ada
dua, yaitu Bumi Teater dengan Anggun Nan Tongga dan Cindua Mato, serta pertunjukan teater Perempuan
itu Bernama Sabai, yang dipentaskan Teater Noktah Padang pada 2005.
Memang, Sumatera Barat memiliki banyak kelompok
teater, tapi nyaris tak punya “kekuatan” dan identitas yang khas, yang kelak
membedakannya dengan yang lain. Identitas kelompok nyaris seragam.
Satu-dua kelompok teater bolehlah dikatakan punya
“identitas” tersendiri. Sebutlah Komunitas Seni
Hitam-Putih Padangpanjang dengan identitas tubuh dan minimalis daya ucap
dalam setiap garapannya. Teater Noktah Padang, yang lima tahun belakang
memokuskan diri pada naskah berlatar budaya dan spirit Minangkabau. Sementara Bumi Teater, semenjak kepergian Wisran
Hadi, tampaknya Bumi Teater, sulit
mencari pengganti Wisran Hadi.
Lalu, bagaimana dengan kelompok-kelompok teater
lainnya itu? Jelas masih terkesan bauru-uru
walau dalam kerangka yang
positif, tentunya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar