OLEH Nasrul Azwar
Sekjen Aliansi Komunitas Seni Indonesia
Festival Teater Remaja di Padang, 2011 (foto: inioke.com) |
Selain dua festival
itu—masing-masing iven yang diikuti minimal 9 grup teater dari Sumatera
Barat—Taman Budaya juga menghadirkan alek teater remaja, yang juga sudah dua kali digelar: pada 2011-2012.
Alek teater yang mengutamakan usia remaja dan komunitas teater di sekolah serta
kampus ini, terus berlanjut pada 2013 ini. Pesertanya cukup signifikan.
Namun, beda dengan
iven festival teater Sumatera Barat. Umurnya singkat. Hanya dua kali penyelenggaraan. Dari
informasi yang diperoleh, pada 2013 festival teater yang sempat memperpanjang
napas seni kolektif ini, pupus. Dana tak dialokasikan pemerintah. Bisa
diperkirakan, semangat berteater di negeri perempuan ini, akan loyo lagi. Kerja
keras lagi untuk menghidupkannya.
Maka, dengan
begitu, peristiwa budaya yang
mengakomodasi kelompok dan bersifat kolektif, tak kita temukan pada tahun ini.
Pemerintah dengan telah sengaja menghilang sebuah festival seni untuk rakyat.
Lalu, apa peristiwa
budaya (teater) yang representatif dan masif hadir di Sumatera Barat pada tahun
ini? Tak ada!
Cukup menarik memang
membaca kembali latar belakang munculnya festival teater Sumatera Barat itu.
Awalnya dihadirkan sebagai penghormatan terhadap Wisran Hadi dengan mengangkat
naskah-naskahnya, lalu berkembang pada iven kedua dengan luasan tema spirit
seni tradisi Minangkabau dalam teater. Kedua festival menghadirkan tiga
pengamat jalannya pertunjukan. Satu pengamat dipilih dari luar Sumatera Barat:
2012 ada Halim HD dan 2011 hadir Afrizal Malna. Selebihnya lokal: Yusrizal KW,
Gusdi Sastra, dan Nasrul Azwar.
Kelompok-kelompok
teater yang ikut berpartisipasi, antara lain Old Track, Noktah, Gaung Ekspose,
Ranah, Imaji, Hitam-Putih, Kamus. Kelompok ini telah malang melintang di dunia
teater Sumatera Barat. Dari kalangan lebih muda, ada Teater Nan Tumpah, Rumah
Teduh, dan lain sebagainya.
Tanpa menutupi
kelemahan manajerial dan pengelolaan festival teater ini, sesungguhnya iven ini
sangat terbuka dan memungkinkan berkembang ke arah yang lebih baik dan menjadi
besar. Dua kali penyelenggaraannya, dampaknya cukup terasa, kendati belum dapat
dikatakan mewarnai teater itu sendiri, tapi eksistensinya membekas.
Tak Punya Festival
Sumatera Barat tak
punya festival seni berkala dan berkesinambungan, baik dalam skala lokal maupun
nasional, apalagi internasional. Tentu tanpa mengecilkan Sawahlunto
International Music Festival (SIMFest) yang telah berlangsung empat kali. Di
luar itu, tak ada festival yang sungguh-sungguh dilaksanakan.
Pertunjukan teater di Padang Panjang (dok: babab) |
Lenyapnya festival
teater itu, tentu menambah panjang daftar iven-iven kesenian (teater) yang
“mati”di Sumatera Barat. Jikapun sebelumnya, pernah hadir pentas seni, yang
dikelola Dewan Kesenian Sumatera Barat—beberapa kelompok teater dalam iven itu,
selain seni lainnya, ikut menyemarakkan, juga tak bertahan seiring pergantian
pengurus baru lembaga ini.
Periode 2001-2006,
Dewan Kesenian Sumatera Barat menggelar iven seni berkala dengan nama Pentas
Seni, yang setiap tahun digelar. Sepanjang periode itu, Pentas Seni sudah enam
kali digelar. Kendati menampilkan banyak cabang seni, namun seni teater saat itu,
mendapat “napas” kreativitasnya. Publikasi pun cukup memadai. Dua media
nasional, Kompas dan Media Indonesia, meliput langsung
jalannya Pentas Seni itu, ditambah semua harian lokal.
Memang dasar
pemikiran menggelar Pentas Seni sebagai program utama DKSB saat itu, berangkat
dari kerinduan hadirnya sebuah festival seni yang representatif. Dan dengan
pembenahan terus menerus, Pentas Seni dikesankan kelak jadi panggung seni yang
berwibawa.
Mengelola festival
memang tak mudah. Apa lagi ia berangkat dari beragam pemikiran, alokasi dana
yang sangat terbatas dan minim, dan ditambah lagi tak ada komitmen dari
pengelolanya. Maka, Pentas Seni selanjutnya jadi fosil dan kisah-kisah saja.
Dampak
Konsekuensi dan
dampak “dihapusnya” festival teater itu, cukup besar, terutama terhadap grup
teater yang masih menggantungkan programnya pada iven bersama berupa festival.
Kini, praktis, tak banyak kelompok teater yang berproses dan mengasah talenta
anggotanya. Kendati pun ada, tapi manajernya belum bisa menjanjikan untuk
sebuah pementasan.
Tak bisa dipungkiri,
pada batas ini, seni pertunjukan teater merupakan seni yang paling menarik
untuk diamati dan dibaca karena kelengkapan seninya. Tentu saja bukan semata
masalah pertunjukan itu sendiri, tapi wacana dan gagasan yang diangkat,
kolektivitas, kolaborasi berbagai cabang seni (rupa, musik, tari, multimedia,
akting), peristiwa teater di panggung, dan bersifat langsung.
Di luar ini, kerja
teater juga menuntut keseriusan penggalangan dana untuk biaya produksi. Terkait
biaya produksi, di sinilah masalah paling krusial. Tak banyak kelompok teater
yang mampu bertahan di tengah kemiskinan itu. Maka, masuk akal sekali, jika
iven festival menjadi sangat penting bagi kelompok teater.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar