Sabtu, 13 Juli 2013

Teater dan Raibnya Festival

OLEH Nasrul Azwar
Sekjen Aliansi Komunitas Seni Indonesia


Festival Teater Remaja di Padang, 2011 (foto: inioke.com)
Dua tahun terakhir, “darah” perteateran di Sumatera Barat agak berdenyut. Urat nadinya mulai terisi. Kendati masih perlu dibenahi di sana-sani, iven festival teater yang digelar Taman Budaya Sumatera Barat, pada 2011 dan 2012, tak bisa dipungkiri, memberi kontribusi kegairahan pada seni yang telah tua ini.

Selain dua festival itu—masing-masing iven yang diikuti minimal 9 grup teater dari Sumatera Barat—Taman Budaya juga menghadirkan alek teater remaja, yang  juga sudah dua kali digelar: pada 2011-2012. Alek teater yang mengutamakan usia remaja dan komunitas teater di sekolah serta kampus ini, terus berlanjut pada 2013 ini. Pesertanya cukup signifikan.


Namun, beda dengan iven festival teater Sumatera Barat. Umurnya singkat.  Hanya dua kali penyelenggaraan. Dari informasi yang diperoleh, pada 2013 festival teater yang sempat memperpanjang napas seni kolektif ini, pupus. Dana tak dialokasikan pemerintah. Bisa diperkirakan, semangat berteater di negeri perempuan ini, akan loyo lagi. Kerja keras lagi untuk menghidupkannya.

Maka, dengan begitu,  peristiwa budaya yang mengakomodasi kelompok dan bersifat kolektif, tak kita temukan pada tahun ini. Pemerintah dengan telah sengaja menghilang sebuah festival seni untuk rakyat.

Lalu, apa peristiwa budaya (teater) yang representatif dan masif hadir di Sumatera Barat pada tahun ini? Tak ada!

Cukup menarik memang membaca kembali latar belakang munculnya festival teater Sumatera Barat itu. Awalnya dihadirkan sebagai penghormatan terhadap Wisran Hadi dengan mengangkat naskah-naskahnya, lalu berkembang pada iven kedua dengan luasan tema spirit seni tradisi Minangkabau dalam teater. Kedua festival menghadirkan tiga pengamat jalannya pertunjukan. Satu pengamat dipilih dari luar Sumatera Barat: 2012 ada Halim HD dan 2011 hadir Afrizal Malna. Selebihnya lokal: Yusrizal KW, Gusdi Sastra, dan Nasrul Azwar.

Kelompok-kelompok teater yang ikut berpartisipasi, antara lain Old Track, Noktah, Gaung Ekspose, Ranah, Imaji, Hitam-Putih, Kamus. Kelompok ini telah malang melintang di dunia teater Sumatera Barat. Dari kalangan lebih muda, ada Teater Nan Tumpah, Rumah Teduh, dan lain sebagainya. 

Tanpa menutupi kelemahan manajerial dan pengelolaan festival teater ini, sesungguhnya iven ini sangat terbuka dan memungkinkan berkembang ke arah yang lebih baik dan menjadi besar. Dua kali penyelenggaraannya, dampaknya cukup terasa, kendati belum dapat dikatakan mewarnai teater itu sendiri, tapi eksistensinya membekas.

Tak Punya Festival

Sumatera Barat tak punya festival seni berkala dan berkesinambungan, baik dalam skala lokal maupun nasional, apalagi internasional. Tentu tanpa mengecilkan Sawahlunto International Music Festival (SIMFest) yang telah berlangsung empat kali. Di luar itu, tak ada festival yang sungguh-sungguh dilaksanakan.

Pertunjukan teater di Padang Panjang (dok: babab)
Jika pun ada  menyebut Festival Langkisau (Pesisir Selatan), Pekan Budaya Sumatera Barat, Festival Pagaruyung (Tanah Datar), Festival Serambi Mekah (Padang Panjang), Festival Sitti Nurbaya, dan banyak festival-festival dengan nama lainnya, mengesankan sekadar proyek dinas-dinas pariwisata.

Lenyapnya festival teater itu, tentu menambah panjang daftar iven-iven kesenian (teater) yang “mati”di Sumatera Barat. Jikapun sebelumnya, pernah hadir pentas seni, yang dikelola Dewan Kesenian Sumatera Barat—beberapa kelompok teater dalam iven itu, selain seni lainnya, ikut menyemarakkan, juga tak bertahan seiring pergantian pengurus baru lembaga ini.

Periode 2001-2006, Dewan Kesenian Sumatera Barat menggelar iven seni berkala dengan nama Pentas Seni, yang setiap tahun digelar. Sepanjang periode itu, Pentas Seni sudah enam kali digelar. Kendati menampilkan banyak cabang seni, namun seni teater saat itu, mendapat “napas” kreativitasnya. Publikasi pun cukup memadai. Dua media nasional, Kompas dan Media Indonesia, meliput langsung jalannya Pentas Seni itu, ditambah semua harian lokal.  

Memang dasar pemikiran menggelar Pentas Seni sebagai program utama DKSB saat itu, berangkat dari kerinduan hadirnya sebuah festival seni yang representatif. Dan dengan pembenahan terus menerus, Pentas Seni dikesankan kelak jadi panggung seni yang berwibawa.

Mengelola festival memang tak mudah. Apa lagi ia berangkat dari beragam pemikiran, alokasi dana yang sangat terbatas dan minim, dan ditambah lagi tak ada komitmen dari pengelolanya. Maka, Pentas Seni selanjutnya jadi fosil dan kisah-kisah saja.

Dampak

Konsekuensi dan dampak “dihapusnya” festival teater itu, cukup besar, terutama terhadap grup teater yang masih menggantungkan programnya pada iven bersama berupa festival. Kini, praktis, tak banyak kelompok teater yang berproses dan mengasah talenta anggotanya. Kendati pun ada, tapi manajernya belum bisa menjanjikan untuk sebuah pementasan. 

Tak bisa dipungkiri, pada batas ini, seni pertunjukan teater merupakan seni yang paling menarik untuk diamati dan dibaca karena kelengkapan seninya. Tentu saja bukan semata masalah pertunjukan itu sendiri, tapi wacana dan gagasan yang diangkat, kolektivitas, kolaborasi berbagai cabang seni (rupa, musik, tari, multimedia, akting), peristiwa teater di panggung, dan bersifat langsung. 

Di luar ini, kerja teater juga menuntut keseriusan penggalangan dana untuk biaya produksi. Terkait biaya produksi, di sinilah masalah paling krusial. Tak banyak kelompok teater yang mampu bertahan di tengah kemiskinan itu. Maka, masuk akal sekali, jika iven festival menjadi sangat penting bagi kelompok teater.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...