Rumah Gadang di Nagari Pariangan, Tanah Datar (gogel-sonay.blogspot.com ) |
Kota Solok, salah satu bagian ranah Minang, yang sebagian besar rumah gadang yang tak lagi dipelihara dengan baik, banyak perkayuan lapuk dimakan usia, atapnya yang sudah diganti dengan seng.
Galibnya
rumah gadang di Minangkabau, atapnya terbuat dari ijuk dan tak menggunakan
seng. Kadang, terjadinya perubahan demikian memang tak bisa dipungkiri karena
untuk mencari ijuk itu tidak gampang zaman sekarang, maka yang paling mudah
pergantian atap rumah gadang dengan seng.
Risnawati,
pemilik rumah gadang, Kelurahan VI Suku Kota Solok, mengaku rumah gadang milik
keluarganya sudah dibangun orangtuanya sejak zaman penjajahan Belanda dulu.
Kala itu rumah gadang tempat berkumpul para keluarga, ninik mamak dalam kaum.
“Namun
sejalan dengan perkembangan zaman, rumah gadang yang ditempati sudah mulai
ketirisan karena atapnya ijuk dan untuk mempertahankannya digantilah atapnya
dengan seng,” terangnya.
Hari
terus berganti, bulan datang dan tahun bertambah, kemudian juga diiringi dengan
pertambahan keluarga, maka rumah gadang yang dia miliki tak lagi terawat dengan
baik, sekarang rumah gadangnya hampir roboh.
“Awalnya
memang pihak keluarga berkeinginan untuk merehabnya, namun karena kekurangan
biaya kemudian perkayuan yang sulit diperoleh, maka rehab rumah gadang
terabaikan,” katanya.
Akhirnya
pihak keluarga memutuskan untuk membangun rumah biasa yang bersebelahan dengan
rumah gadang. Kalau membangun rumah biasa, memperoleh materialnya lebih gampang,
banyak toko bangunan yang menyediakan. Sejalan dengan itu, untuk mencari motif
yang baik dan sesuai selera bisa dibuatkan oleh arsitek.
Risnawati
sendiri bersama ninik mamak dalam kaumnya memang belum punya niat untuk merehab
rumah gadangnya dikarenakan biaya cukup bahal. Dalam hitungannya, setidaknya
Rp500 juta untuk merahap rumah gadang tersebut.
Keberadaan
rumah gadang di Kota Solok memang hampir punah. Satu per satu mulai dirobohkan
pemiliknya.
Dalam
tradisi kultural Minangkabau, rumah gadang itu merupakan sandi Minangkabau.
Logikanya, jika sandi sudah ambruk, maka dikhawatirkan adat istiadat
Minangkabau ambruk bersama deengan lanyapnya rumah gadang.
Maka,
walau bagaimanapun ninik mamak kepala kaum harus tetap mempertahankan rumah
gadang yang dimiliki kaumnya.
“Kalau
alasan uang tidak ada, ninim mamak dalam kaum bisa saja menggadai harta warisan
karena dibenarkan dalam hukum adat. Ada 4 perkara jika ingin manggadai yakni
rumah gadang katirisan, gadiah gadang indak balaki, parik tarampa, maik tabuju
di atas rumah. Kalau 4 perkara itu ditemui, ninik mamak boleh manggadai,” jelas
Penghulu Suku Nan Balimo M Dt Ganjie.
Menurutnya,
dari rumah gadang saja orang dapat menebak pangkat dari ninik mamak dalam
kaumnya. Jika rumah gadang itu 4 ruang berarti pangkat mamaknya manti. Jika
rumah gadang 5 ruang pangkat ninik mamaknya penghulu dan jika 9 ruang pangkat
ninik mamaknya Rajo (raja).
Untuk
merehab dan membenahi rumah gadang di Kota Solok, sebenarnya juga perlu
dukungan dari Kota Solok karena rumah gadang merupakan simbol kebudayaan
Minangkabau.
“Pemko
Solok harus membuat regulasi tentang pembangunan rumah gadang. Harus ada aturan
untuk menyelamatkan rumah gadang. Sekarang warga cenderung membangun rumah
dengan simbol dan arsitek Barat. Sementara rumah gadang dibiarkan roboh
berlahan,” kata M Dt Ganjie.
solok
selatan: Nagari
Seribu Rumah Gadang
Keberadaannya rumah gadang
hari ini hanyalah sebagai simbol adat, sedangkan kompleksitas fungsi yang
dimiliki rumah gadang sudah mulai memudar. Perhatian pemerintah terhadap rumah
gadang ternyata tak sehebat julukannya.
Rumah Gadang di Solok Selatan |
Pelestarian rumah gadang di Kabupaten
Solok Selatan belum mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah Kabupaten
Solok Selatan. Ironisnya, kabupaten berjulukan “Nagari Seribu Rumah Gadang” itu tidak memasukkan anggaran
pelestarian (renovasi-red) rumah gadang
pada APBD 2012 ini.
Solok Selatan dengan
taglinenya “Bumi Sarantau Sasurambi”
yang penamaan itu dibangun atas dasar filosofi bahwa di Kabupaten Solok Selatan
ini terdapat dua kerajaan besar. Kerajaan besar tersebut adalah Kerajaan Alam
Surambi Sungai Pagu berpusat di Kecamatan Sungai Pagu dan Kerajaan Rantau XII
Koto berpusat di Kecamatan Sangir. Untuk menyatukan dua kerajaan besar itu,
maka diusulkan dan ditetapkan Bumi Sarantau
Sasurambi sebagai filosofi daerah. Selain itu, masih terdapat raja-raja
adat yang memiliki ulayat.
Selain itu, Kabupaten Solok
Selatan juga berjulukan “Nagari Seribu
Rumah Gadang”. Alasan penetapan Nagari
Seribu Rumah Gadang dikarenakan
banyaknya ditemukan rumah gadang di daerah ini.
Kalau Anda berkunjung ke Kabupaten
Solok Selatan, mulai dari Kecamatan Koto Parik Gadang Diateh sampai Kecamatan
Sangir Batang Hari, akan ditemukan rumah gadang kaum. Saking banyaknya rumah gadang
itu, sampai-sampai Dinas Kebudayaan setempat belum mendapatkan data pasti
berapa jumlah rumah gadang di Solok Selatan, dan termasuk kondisi kelayakan rumah
gadang saat ini. Jumlah yang banyak itu juga menjadikan Kabupaten Solok Selatan
mendapat sebutan “Nagari Seribu Rumah
Gadang”.
Pemerintah Kabupaten Solok
Selatan belum sempat menganggarkan renovasi rumah gadang. Kata Kepala Bidang
Kebudayaan Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Afrizon,
pemerintah daerah bukannya tidak menganggarkan renovasi rumah gadang, tapi kabupaten
dalam keterbatasan dana.
“Pelestarian rumah gadang
sudah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Solok Selatan,
dan perencanaan renovasi juga sudah selesai, namun belum bisa direalisasikan
tahun ini,” jelas Afrizon.
Selain dari keterbatasan dana,
renovasi rumah gadang tidak begitu mudah. Setidaknya melibatkan banyak
stakeholder, seperti Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (PB3) untuk kajian
kelayakan renovasi, Dinas Kebudayaan Provinsi, Dinas Pekerjaan Umum Provinsi
Sumatera Barat, bahkan melibatkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Nasional Republik Indonesia.
Sementara itu, Sekretaris Lembaga
Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Kabupaten Solok Selatan Muhammad Zein
Dt. Bandaro menjelaskan, rumah gadang sebagai tempat tinggal bersama kaum,
mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Jumlah kamar bergantung kepada jumlah
perempuan yang tinggal di dalamnya. Perempuan dalam kaum yang telah bersuami
memperoleh sebuah kamar, perempuan tua dan anak-anak di kamar dekat dapur,
gadis remaja memperoleh kamar bersama di ujung yang lain.
“Sebenarnya, rumah gadang
boleh saja direnovasi, bahan dasar dari kayu bisa saja dijadikan permanen,
asalkan renovasi itu tidak merubah ciri khas dan bentuknya,” ucap Muhammad
Zein.
Ia menjelaskan, rumah gadang
biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku atau
kaum tersebut secara turun temurun. Di halaman depan, biasanya terdapat dua unit
bangunan rangkiang,
digunakan untuk menyimpan padi. Tidak jauh dari komplek rumah gadang, juga dibangun
sebuah surau kaum yang
berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat pendidikan, dan sekaligus menjadi
tempat tinggal lelaki dewasa yang belum menikah.
Lebih
jauh Muhammad Zein mengungkapkan, melemahnya eksistensi rumah gadang saat ini
dikarenakan dua faktor. Pertama,
kurangnya kebersamaan kaum dan ekonomi lemah menjadi kendala. Kurangnya
kebersamaan kaum, maksudnya kemenakan indak saparentah (tidak
patuh) mamak lagi. Banyak juga mamak yang tidak berwibawa (credible) di
mata kaumnya. Kedua, ekonomi kaum lemah, sehingga tidak memiliki dana untuk
melestarikan rumah gadang.
Untuk
mengatasi faktor pendorong lemahnya eksistensi rumah gadang itu, meningkatkan
kesadaran bakaum mamak-kemenakan,
dan pentingnya dukungan dan fasilitasi pemerintah daerah.
“Kesadaran
kaum akan tumbuh bila mamak-kemenakan kembali meluangkan waktu untuk baiyo
batido di Rumah Gadang, bukan maota
(bercerita) di kadai (warung). Sementara,
dukungan pemerintah daerah bisa dalam wujud pendanaan renovasi rumah gadang dan
peningkatan kompetensi ninik mamak,” jelas Muhammad Zein.
Kini
fungsi rumah gadang sudah diluruhkan oleh perkembangan zaman. Dulu di rumah gadang
dilewakan semua upacara adat, termasuk upacara menikah.
“Kini,
baralek (upacara adat-red) di
adakan di rumah masing-masing, bahkan ada yang merental gedung untuk pesta,”
katanya.
Begitu
juga dengan fungsi surau di
samping rumah gadang sebagai tempat menuntut ilmu agama dan adat. kini, kalau
kemenakan yang ingin menuntut ilmu agama dan adat, cukup hanya mendatangi rumah
mamak atau datuknya.
Muhammad
Zein berharap, masyarakat Solok Selatan dengan filosofi “Bumi Sarantau Sasurambi dan “Nagari Seribu Rumah Gadang” hendaknya
benar-benar mengaplikasikan pepatah, adat
basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. “Zaman boleh berubah, tetapi budaya
Adat Minangkabau jangan ditinggalkan,” pungkasnya.
Rumah Gadang, Baanjuang, Bagonjong
Rumah
gadang atau rumah godang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau yang
merupakan rumah tradisional dan banyak dijumpai di Provinsi Sumatera Barat.
Rumah ini juga disebut dengan nama lain oleh masyarakat dengan nama Rumah
Bagonjong atau ada juga yang menyebut dengan nama Rumah Baanjung..
Rumah
dengan model ini juga banyak dijumpai di Negeri Sembilan, Malaysia. Namun
demikian tidak semua kawasan di Minangkabau (darek) yang boleh didirikan rumah
adat ini, hanya pada kawasan yang sudah memiliki status sebagai nagari saja
rumah gadang ini boleh didirikan. Begitu juga pada kawasan yang disebut dengan
rantau, rumah adat ini juga dahulunya tidak ada yang didirikan oleh para
perantau Minangkabau.
Rumah
gadang sebagai tempat tinggal bersama, mempunyai ketentuan-ketentuan
tersendiri. Jumlah kamar bergantung kepada jumlah perempuan yang tinggal di
dalamnya. Setiap perempuan dalam kaum tersebut yang telah bersuami memperoleh
sebuah kamar. Sementara perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar
dekat dapur. Gadis remaja memperoleh kamar bersama di ujung yang lain.
Seluruh
bagian dalam rumah gadang merupakan ruangan lepas kecuali kamar tidur. Bagian
dalam terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang itu
berbanjar dari muka ke belakang dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar
dari depan ke belakang menandai lanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan
menandai ruang. Jumlah lanjar bergantung pada besar rumah, bisa dua, tiga dan
empat. Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas.
Rumah
Gadang biasanya dibangun diatas sebidang tanah milik keluarga induk dalam
suku/kaum tersebut secara turun temurun dan hanya dimiliki dan diwarisi dari
dan kepada perempuan pada kaum tersebut. Di halaman depan rumah gadang biasanya
selalu terdapat dua buah bangunan rangkiang, digunakan untuk menyimpan padi.
Rumah
gadang pada sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya terdapat ruang anjung
sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat, karena
itu rumah gadang dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang. Anjung pada kelarasan
Bodi-Chaniago tidak memakai tongkat penyangga di bawahnya, sedangkan pada
kelarasan Koto-Piliang memakai tongkat penyangga.
Hal
ini sesuai filosofi yang dianut kedua golongan ini yang berbeda, salah satu
golongan menganut prinsip pemerintahan yang hirarki menggunakan anjung yang
memakai tongkat penyangga, pada golongan lainnya anjuang seolah-olah mengapung
di udara.
Tidak
jauh dari komplek rumah gadang tersebut biasanya juga dibangun sebuah surau
kaum yang berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat pendidikan dan juga sekaligus
menjadi tempat tinggal lelaki dewasa kaum tersebut yang belum menikah.
Rumah
adat ini memiliki keunikan bentuk arsitektur dengan bentuk puncak atapnya
runcing yang menyerupai tanduk kerbau dan dahulunya dibuat dari bahan ijuk yang
dapat tahan sampai puluhan tahun namun belakangan atap rumah ini banyak
berganti dengan atap seng.
Rumah
gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bahagian
muka dan belakang. Dari bagian dari depan rumah gadang biasanya penuh dengan
ukiran ornamen dan umumnya bermotif akar, bunga, daun serta bidang persegi
empat dan genjang. Sedangkan bagian luar belakang dilapisi dengan belahan
bambu. Rumah tradisional ini dibina dari tiang-tiang panjang, bangunan rumah
dibuat besar ke atas, namun tidak mudah rebah oleh goncangan[1], dan setiap
elemen dari rumah gadang mempunyai makna tersendiri yang dilatari oleh tambo
yang ada dalam adat dan budaya masyarakat setempat.
Pada
umumnya rumah gadang mempunyai satu tangga yang terletak pada bagian depan.
Sementara dapur dibangun terpisah pada bagian belakang rumah yang didempet pada
dinding.
Ragam
ukir khas Minangkabau pada dinding bagian luar dari rumah gadang. Pada bagian
dinding rumah gadang dibuat dari bahan papan, sedangkan bagian belakang dari
bahan bambu. Papan dinding dipasang vertikal, sementara semua papan yang
menjadi dinding dan menjadi bingkai diberi ukiran, sehingga seluruh dinding
menjadi penuh ukiran. Penempatan motif ukiran tergantung pada susunan dan letak
papan pada dinding rumah gadang.
Pada
dasarnya ukiran pada rumah gadang merupakan ragam hias pengisi bidang dalam
bentuk garis melingkar atau persegi. Motifnya umumnya tumbuhan merambat, akar
yang berdaun, berbunga dan berbuah. Pola akar biasanya berbentuk lingkaran,
akar berjajaran, berhimpitan, berjalinan dan juga sambung menyambung. Cabang
atau ranting akar berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas dan ke bawah.
Disamping
motif akar, motif lain yang dijumpai adalah motif geometri bersegi tiga, empat
dan genjang. Motif daun, bunga atau buah dapat juga diukir tersendiri atau
secara berjajaran. (Laporan: Alfian, Icol Dianto, Nasrul Azwar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar