Minggu, 28 Juli 2013

RUMAH GADANG DI AMBANG KEPUNAHAN: Terbitkan Aturan Penyelamatan Rumah Gadang


Rumah Gadang di Nagari Pariangan, Tanah Datar (gogel-sonay.blogspot.com )
Nyaris semua rumah gadang di Ranah Minang, lapuk dan kumal, dan tak lagi asli karena telah banyak bergani bentuk dan material. Dan ada juga rumah gadang menunggu roboh. Mendesak, dikeluarkan regulasi untuk penyelamatan rumah gadang yang berada di ambang kepunahan.

Kota Solok, salah satu bagian ranah Minang, yang sebagian besar rumah gadang yang tak lagi dipelihara dengan baik, banyak perkayuan lapuk dimakan usia, atapnya yang sudah diganti dengan seng.
Galibnya rumah gadang di Minangkabau, atapnya terbuat dari ijuk dan tak menggunakan seng. Kadang, terjadinya perubahan demikian memang tak bisa dipungkiri karena untuk mencari ijuk itu tidak gampang zaman sekarang, maka yang paling mudah pergantian atap rumah gadang dengan seng.
Risnawati, pemilik rumah gadang, Kelurahan VI Suku Kota Solok, mengaku rumah gadang milik keluarganya sudah dibangun orangtuanya sejak zaman penjajahan Belanda dulu. Kala itu rumah gadang tempat berkumpul para keluarga, ninik mamak dalam kaum.
“Namun sejalan dengan perkembangan zaman, rumah gadang yang ditempati sudah mulai ketirisan karena atapnya ijuk dan untuk mempertahankannya digantilah atapnya dengan seng,” terangnya.
Hari terus berganti, bulan datang dan tahun bertambah, kemudian juga diiringi dengan pertambahan keluarga, maka rumah gadang yang dia miliki tak lagi terawat dengan baik, sekarang rumah gadangnya hampir roboh.
“Awalnya memang pihak keluarga berkeinginan untuk merehabnya, namun karena kekurangan biaya kemudian perkayuan yang sulit diperoleh, maka rehab rumah gadang terabaikan,” katanya.
Akhirnya pihak keluarga memutuskan untuk membangun rumah biasa yang bersebelahan dengan rumah gadang. Kalau membangun rumah biasa, memperoleh materialnya lebih gampang, banyak toko bangunan yang menyediakan. Sejalan dengan itu, untuk mencari motif yang baik dan sesuai selera bisa dibuatkan oleh arsitek.
Risnawati sendiri bersama ninik mamak dalam kaumnya memang belum punya niat untuk merehab rumah gadangnya dikarenakan biaya cukup bahal. Dalam hitungannya, setidaknya Rp500 juta untuk merahap rumah gadang tersebut.
Keberadaan rumah gadang di Kota Solok memang hampir punah. Satu per satu mulai dirobohkan pemiliknya.
Dalam tradisi kultural Minangkabau, rumah gadang itu merupakan sandi Minangkabau. Logikanya, jika sandi sudah ambruk, maka dikhawatirkan adat istiadat Minangkabau ambruk bersama deengan lanyapnya rumah gadang.
Maka, walau bagaimanapun ninik mamak kepala kaum harus tetap mempertahankan rumah gadang yang dimiliki kaumnya.
“Kalau alasan uang tidak ada, ninim mamak dalam kaum bisa saja menggadai harta warisan karena dibenarkan dalam hukum adat. Ada 4 perkara jika ingin manggadai yakni rumah gadang katirisan, gadiah gadang indak balaki, parik tarampa, maik tabuju di atas rumah. Kalau 4 perkara itu ditemui, ninik mamak boleh manggadai,” jelas Penghulu Suku Nan Balimo M Dt Ganjie.
Menurutnya, dari rumah gadang saja orang dapat menebak pangkat dari ninik mamak dalam kaumnya. Jika rumah gadang itu 4 ruang berarti pangkat mamaknya manti. Jika rumah gadang 5 ruang pangkat ninik mamaknya penghulu dan jika 9 ruang pangkat ninik mamaknya Rajo (raja).
Untuk merehab dan membenahi rumah gadang di Kota Solok, sebenarnya juga perlu dukungan dari Kota Solok karena rumah gadang merupakan simbol kebudayaan Minangkabau.
“Pemko Solok harus membuat regulasi tentang pembangunan rumah gadang. Harus ada aturan untuk menyelamatkan rumah gadang. Sekarang warga cenderung membangun rumah dengan simbol dan arsitek Barat. Sementara rumah gadang dibiarkan roboh berlahan,” kata M Dt Ganjie.
solok selatan: Nagari Seribu Rumah Gadang
Keberadaannya rumah gadang hari ini hanyalah sebagai simbol adat, sedangkan kompleksitas fungsi yang dimiliki rumah gadang sudah mulai memudar. Perhatian pemerintah terhadap rumah gadang ternyata tak sehebat julukannya.
Rumah Gadang di Solok Selatan
Pelestarian rumah gadang di Kabupaten Solok Selatan belum mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah Kabupaten Solok Selatan. Ironisnya, kabupaten berjulukan “Nagari Seribu Rumah Gadang” itu tidak memasukkan anggaran pelestarian (renovasi-red)  rumah gadang pada APBD 2012 ini.
Solok Selatan dengan taglinenya “Bumi Sarantau Sasurambi” yang penamaan itu dibangun atas dasar filosofi bahwa di Kabupaten Solok Selatan ini terdapat dua kerajaan besar. Kerajaan besar tersebut adalah Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu berpusat di Kecamatan Sungai Pagu dan Kerajaan Rantau XII Koto berpusat di Kecamatan Sangir. Untuk menyatukan dua kerajaan besar itu, maka diusulkan dan ditetapkan Bumi Sarantau Sasurambi sebagai filosofi daerah. Selain itu, masih terdapat raja-raja adat yang memiliki ulayat.
Selain itu, Kabupaten Solok Selatan juga berjulukan “Nagari Seribu Rumah Gadang”. Alasan penetapan Nagari Seribu Rumah Gadang dikarenakan banyaknya ditemukan rumah gadang di daerah ini.
Kalau Anda berkunjung ke Kabupaten Solok Selatan, mulai dari Kecamatan Koto Parik Gadang Diateh sampai Kecamatan Sangir Batang Hari, akan ditemukan rumah gadang kaum. Saking banyaknya rumah gadang itu, sampai-sampai Dinas Kebudayaan setempat belum mendapatkan data pasti berapa jumlah rumah gadang di Solok Selatan, dan termasuk kondisi kelayakan rumah gadang saat ini. Jumlah yang banyak itu juga menjadikan Kabupaten Solok Selatan mendapat sebutan “Nagari Seribu Rumah Gadang”.
Pemerintah Kabupaten Solok Selatan belum sempat menganggarkan renovasi rumah gadang. Kata Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Afrizon, pemerintah daerah bukannya tidak menganggarkan renovasi rumah gadang, tapi kabupaten dalam keterbatasan dana.
“Pelestarian rumah gadang sudah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Solok Selatan, dan perencanaan renovasi juga sudah selesai, namun belum bisa direalisasikan tahun ini,” jelas Afrizon.
Selain dari keterbatasan dana, renovasi rumah gadang tidak begitu mudah. Setidaknya melibatkan banyak stakeholder, seperti Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (PB3) untuk kajian kelayakan renovasi, Dinas Kebudayaan Provinsi, Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Sumatera Barat, bahkan melibatkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional Republik Indonesia.
Sementara itu, Sekretaris Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Kabupaten Solok Selatan Muhammad Zein Dt. Bandaro menjelaskan, rumah gadang sebagai tempat tinggal bersama kaum, mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Jumlah kamar bergantung kepada jumlah perempuan yang tinggal di dalamnya. Perempuan dalam kaum yang telah bersuami memperoleh sebuah kamar, perempuan tua dan anak-anak di kamar dekat dapur, gadis remaja memperoleh kamar bersama di ujung yang lain.
“Sebenarnya, rumah gadang boleh saja direnovasi, bahan dasar dari kayu bisa saja dijadikan permanen, asalkan renovasi itu tidak merubah ciri khas dan bentuknya,” ucap Muhammad Zein.
Ia menjelaskan, rumah gadang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku atau kaum tersebut secara turun temurun. Di halaman depan, biasanya terdapat dua unit bangunan rangkiang, digunakan untuk menyimpan padi. Tidak jauh dari komplek rumah gadang, juga dibangun sebuah surau kaum yang berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat pendidikan, dan sekaligus menjadi tempat tinggal lelaki dewasa yang belum menikah.
Lebih jauh Muhammad Zein mengungkapkan, melemahnya eksistensi rumah gadang saat ini dikarenakan dua faktor. Pertama, kurangnya kebersamaan kaum dan ekonomi lemah menjadi kendala. Kurangnya kebersamaan kaum, maksudnya kemenakan indak saparentah (tidak patuh) mamak lagi. Banyak juga mamak yang tidak berwibawa (credible) di mata kaumnya. Kedua, ekonomi kaum lemah, sehingga tidak memiliki dana untuk melestarikan rumah gadang.
Untuk mengatasi faktor pendorong lemahnya eksistensi rumah gadang itu, meningkatkan kesadaran bakaum mamak-kemenakan, dan pentingnya dukungan dan fasilitasi pemerintah daerah.
“Kesadaran kaum akan tumbuh bila mamak-kemenakan kembali meluangkan waktu untuk baiyo batido di Rumah Gadang, bukan maota (bercerita) di kadai (warung). Sementara, dukungan pemerintah daerah bisa dalam wujud pendanaan renovasi rumah gadang dan peningkatan kompetensi ninik mamak,” jelas Muhammad Zein.
Kini fungsi rumah gadang sudah diluruhkan oleh perkembangan zaman. Dulu di rumah gadang dilewakan semua upacara adat, termasuk upacara menikah.
“Kini, baralek (upacara adat-red) di adakan di rumah masing-masing, bahkan ada yang merental gedung untuk pesta,” katanya.
Begitu juga dengan fungsi surau di samping rumah gadang sebagai tempat menuntut ilmu agama dan adat. kini, kalau kemenakan yang ingin menuntut ilmu agama dan adat, cukup hanya mendatangi rumah mamak atau datuknya.
Muhammad Zein berharap, masyarakat Solok Selatan dengan filosofi “Bumi Sarantau Sasurambi dan “Nagari Seribu Rumah Gadang” hendaknya benar-benar mengaplikasikan pepatah, adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. “Zaman boleh berubah, tetapi budaya Adat Minangkabau jangan ditinggalkan,” pungkasnya.
Rumah Gadang, Baanjuang, Bagonjong
Rumah gadang atau rumah godang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau yang merupakan rumah tradisional dan banyak dijumpai di Provinsi Sumatera Barat. Rumah ini juga disebut dengan nama lain oleh masyarakat dengan nama Rumah Bagonjong atau ada juga yang menyebut dengan nama Rumah Baanjung..
Rumah dengan model ini juga banyak dijumpai di Negeri Sembilan, Malaysia. Namun demikian tidak semua kawasan di Minangkabau (darek) yang boleh didirikan rumah adat ini, hanya pada kawasan yang sudah memiliki status sebagai nagari saja rumah gadang ini boleh didirikan. Begitu juga pada kawasan yang disebut dengan rantau, rumah adat ini juga dahulunya tidak ada yang didirikan oleh para perantau Minangkabau.
Rumah gadang sebagai tempat tinggal bersama, mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Jumlah kamar bergantung kepada jumlah perempuan yang tinggal di dalamnya. Setiap perempuan dalam kaum tersebut yang telah bersuami memperoleh sebuah kamar. Sementara perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Gadis remaja memperoleh kamar bersama di ujung yang lain.
Seluruh bagian dalam rumah gadang merupakan ruangan lepas kecuali kamar tidur. Bagian dalam terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang itu berbanjar dari muka ke belakang dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang menandai lanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan menandai ruang. Jumlah lanjar bergantung pada besar rumah, bisa dua, tiga dan empat. Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas.
Rumah Gadang biasanya dibangun diatas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku/kaum tersebut secara turun temurun dan hanya dimiliki dan diwarisi dari dan kepada perempuan pada kaum tersebut. Di halaman depan rumah gadang biasanya selalu terdapat dua buah bangunan rangkiang, digunakan untuk menyimpan padi.
Rumah gadang pada sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya terdapat ruang anjung sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat, karena itu rumah gadang dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang. Anjung pada kelarasan Bodi-Chaniago tidak memakai tongkat penyangga di bawahnya, sedangkan pada kelarasan Koto-Piliang memakai tongkat penyangga.
Hal ini sesuai filosofi yang dianut kedua golongan ini yang berbeda, salah satu golongan menganut prinsip pemerintahan yang hirarki menggunakan anjung yang memakai tongkat penyangga, pada golongan lainnya anjuang seolah-olah mengapung di udara.
Tidak jauh dari komplek rumah gadang tersebut biasanya juga dibangun sebuah surau kaum yang berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat pendidikan dan juga sekaligus menjadi tempat tinggal lelaki dewasa kaum tersebut yang belum menikah.
Rumah adat ini memiliki keunikan bentuk arsitektur dengan bentuk puncak atapnya runcing yang menyerupai tanduk kerbau dan dahulunya dibuat dari bahan ijuk yang dapat tahan sampai puluhan tahun namun belakangan atap rumah ini banyak berganti dengan atap seng.
Rumah gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bahagian muka dan belakang. Dari bagian dari depan rumah gadang biasanya penuh dengan ukiran ornamen dan umumnya bermotif akar, bunga, daun serta bidang persegi empat dan genjang. Sedangkan bagian luar belakang dilapisi dengan belahan bambu. Rumah tradisional ini dibina dari tiang-tiang panjang, bangunan rumah dibuat besar ke atas, namun tidak mudah rebah oleh goncangan[1], dan setiap elemen dari rumah gadang mempunyai makna tersendiri yang dilatari oleh tambo yang ada dalam adat dan budaya masyarakat setempat.
Pada umumnya rumah gadang mempunyai satu tangga yang terletak pada bagian depan. Sementara dapur dibangun terpisah pada bagian belakang rumah yang didempet pada dinding.
Ragam ukir khas Minangkabau pada dinding bagian luar dari rumah gadang. Pada bagian dinding rumah gadang dibuat dari bahan papan, sedangkan bagian belakang dari bahan bambu. Papan dinding dipasang vertikal, sementara semua papan yang menjadi dinding dan menjadi bingkai diberi ukiran, sehingga seluruh dinding menjadi penuh ukiran. Penempatan motif ukiran tergantung pada susunan dan letak papan pada dinding rumah gadang.
Pada dasarnya ukiran pada rumah gadang merupakan ragam hias pengisi bidang dalam bentuk garis melingkar atau persegi. Motifnya umumnya tumbuhan merambat, akar yang berdaun, berbunga dan berbuah. Pola akar biasanya berbentuk lingkaran, akar berjajaran, berhimpitan, berjalinan dan juga sambung menyambung. Cabang atau ranting akar berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas dan ke bawah.
Disamping motif akar, motif lain yang dijumpai adalah motif geometri bersegi tiga, empat dan genjang. Motif daun, bunga atau buah dapat juga diukir tersendiri atau secara berjajaran. (Laporan: Alfian, Icol Dianto, Nasrul Azwar)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...