OLEH Nasrul Azwar
Bernhart Bart dan Erika Dubler |
Pada tahun
1977-1978, selama 6 bulan, Bernhard Bart bersama isterinya, Erika Dubler,
berkeliling Indonesia. Berdua menjelajahi daerah Bohorok di Sumatra Utara
sampai Amboina di Mateng. Beberapa hari di Sumatra Barat, mereka menyinggahi
Kota Bukittinggi dan Ngarai Sianok dan Koto Gadang di Kabupaten Agam.
Perjalanan diteruskan melewati Danau Singgarak dan Solok terus ke Padang.
Tentu, perjalanan selama setengah tahun itu, terasa sangat menyenangkan.
Enam tahun kemudian, tepatnya tahun 1994, mereka datang lagi ke Indonesia.
Waktu itu, mereka melakukan perjalanan dengan menaiki kapal kargo dari Amboina
ke Dili. Tujuannya untuk menikmati keindahan alam tanah Kei, Tanimbar, Kisar,
dan Dili. Dari pelabuhan Dili, dilanjutkan dengan naik bis dan singgah di
kampung-kampung di Provinsi Timor-Timur (setelah melepaskan diri dari Indonesia
sebagai konsekuensi referendum tahun 1999, namanya menjadi Republik Timor
Leste-Red) menuju Kupang. Kemudian, dari Kupang ke Surabaya untuk mengunjungi
peninggalan sejarah berupa candi-candi dan prasasti di Jawa Timur.
“Semuanya sangat mengesankan saya, dan itu pula yang “memaksa” saya untuk
datang lagi ke Indonesia,” katanya.
Jatuh Cinta kepada Songket Minangkabau
Tahun 1996 merupakan awal ketertarikannya pada songket lama Minangkabau.
Ini untuk kedua kalinya dia menginjakkan kakinya di ranah Minang. Lalu dia
mengunjungi Museum Adityawarman Provinsi Sumatra Barat di Padang. Museum ini
memiliki koleksi kain songket tradisi Minangkabau dari beberapa tempat tenun
yang dulu masih "aktif" di Minangkabau. Seperti, antara lain motif
“Basa Hitam” dari Tanjung Sungayang dan kain tenun Nagari Kota Gadang. Selain
mengoleksi kain songket tradisi Minangkabau, museum ini juga memiliki koleksi
songket komersial yang sekarang masih ditenun masyarakat Pandai Sikek, Kubang,
dan Silungkang.
Dia terpesona memandang kain songket “Basa Hitam” yang dihiasi corak dan
motif penuh dengan nilai kearifan adat Minangkabau. Dalam pukauan motif-motif
songket itu, hatinya bergetar sembari berucap, “Saya harus menemukan lebih
banyak corak-motif lama songket Minangkabau, jika tidak, semua akan
hilang. Saya harus mengetahui teknik, corak, dan makna corak ini.”
Di ranah Minang, di sela-sela memperdalam belajar bahasa Indonesia, dia pun
mengunjugi tempat pariwisata di Sumatra Barat dan sentra-sentra industri
rakyat. Di sini, dia bertemu dengan menyarakat yang mahir dalam kerajinan
tangan, seperti pengukir kayu (di Nagari Pandai Sikek), tukang besi dan
perunggu (Sungai Puar), pandai sapu (Silungkang), dan penenun-penenun songket
di Kubang, Koto nan Gadang, Silungkang, dan Pandai Sikek.
Dari sinilah semua mulai bergerak. Gagasan dan ide yang berkelebat di
pikirannya jadi pemicu untuk melakukan sebuah pekerjaan: penelitian. Perjalanan
ke ranah Minang tampaknya tidak sia-sia. Dia jatuh cinta kepada kain songket
Minangkabau lama yang mempunyai corak yang luar biasa rumit (Koto Gadang) dan
"Basa Hitam" yang masih ditenun Hj Rohani di Tanjung Sungayang dengan
teknik yang benar, yaitu sisinya kain dibalik, yang bagus ke bawah. Galibnya
corak lama songket Minangkabau ’tempo dahoeloe’ memang ditenun dengan teknik
seperti ini. Dalam beberapa buku tentang peneltian songket Minangkabau,
disebutkan Hj Rohani satu-satunya penenun di ranah Minang yang masih menenun
berupa kain “Basa Hitam” yang belum dimodifikasi untuk pasaran.
Sebelum mencecahkan kakinya di ranah Minang, dia mengaku sudah lama
menyenangi karya-karya seni tenun tradisi. Di berbagai tempat di negara-negara
Asia, dia melihat orang menenun dengan bermacam-macam teknik. Dari perjalanan
panjang itu, dia meraup banyak pengalaman dan membuka matanya. Di titik itu
pula, dia dapat membandingkan seni tenun songket Minangkabau dengan kain songket
dari negara-nagara lainnya, seperti India, Thailand, dan Laos.
Pengalaman, jelas, jadi guru yang baik baginya. Petualangannya ke perbagai
negara di Asia, mempertegas keyakinannya bahwa songket Minangkabau memiliki
keunikan dan penuh makna. Setiap corak yang ada dalam karya songket Minangkabau
mengemban demikian banyak makna filosofis tentang ajaran dan nilai kehidupan
manusia.
“Kekuatan kultural masyarakat Minangkabau bersemayam di bentangan kain
songket hasil tenunan anak nagari Minangkabau. Sedangkan di daerah lain dan
juga di negara-negara lain, corak songket hanya sebagai ornamen ataupun hiasan
saja. Inilah yang menguatkan diri saya untuk menjatuhkan pilihan pada songket
Minangkabau,” katanya. Setelah mengenal lebih dekat kain songket “Basa Hitam” Tanjung Sungayang,
Bernhard Bart pun ingin menemui penenunnya. Karena demikian terpukau keindahan
kain tenun ini, dia sangat berminat mengenal lebih jauh sosok yang melahirkan
kain tenun tradisi Minangkabau nan langka itu. Dalam tradisi Minangkabau, kain
songket Basa Hitam yang digunakan untuk tangkuluak (penutup kepala) oleh
perempuan dan selendang oleh laki-laki (penghulu).
Penelusuran informasi dilakukan. Beberapa sumber yang dekat dengan historis
kain songket itu, dia temui. Dari perjalanan itu, dia dapat membandingkan
beragam alat tenun, cara menenun (teknik) maupun corak. Pengalaman itu sangat
membantunya memahami tenun yang dibuat dengan kepiawaian dan ketelatenan tangan
para penenun. Dan akhirnya, tahun 1996, dia bertemu dengan Hj. Rohani yang
berusia 76 tahun di Nagari Tanjung Sungayang, Kabupaten Tanahdatar, Sumatra
Barat, lebih kurang 120 km dari Kota Padang. Saat itu—cerita Hj Rohani pada
Bernhard Bart—dia belajar menenun kain songket khas “Basa Hitam” pada tahun
1965 secara otodidak saat usianya sudah 45 tahun. Ibunya, yang juga
seorang penenun yang piawai, meninggal saat Hj Rohani belum menjelang usia
dewasa. Dari penuturan Hj Rohani, dia tidak bisa belajar seni tenun semenjak
kecil karena kondisi negara Indonesia saat itu masih dalam pendudukan Jepang
dan situasi ekonomi yang belum stabil. Hj Rohani, ketika itu, memiliki sebuah
alat yang masih berfungsi dan sehelai kain songket “Basa Hitam”. Kain songket
yang dikoleksi Museum Adityawarman Provinsi Sumatra Barat—yang menyihir Bart
itu—merupakan hasil tenunan replika karya Hj. Rohani.
“Banyak motif-motif songket Minangkabau yang menarik perhatian saya. Dan
uniknya, hampir di setiap nagari memiliki daya tarik tersendiri. Kain Koto
Gadang misalnya, memiliki motif-motif berukuran besar, kain Pitalah memiliki
banyak variasi dalam satu kain, atau kain ikek dari Solok misalnya yang juga
menggunakan teknik tapestry weaving dalam kain ikeknya,” jelasnya.
“Karena saya sudah lama menyukai kain yang ditenun dengan tangan dan selalu
singgah di tempat tenun diberbagai negara Asia, tentu saya memiliki pengalaman
yang berbeda-beda dari setiap tempat yang disinggahi. Misalnya, di India ada
teknik tenun seperti ikat, ikat dobel (patola), songket, tapis, dan sebagainya.
Ada juga teknik hiasan kain seperti sulaman, batik, dan plangi. Penenun
dari kota Mandalay di Myanmar terkenal dengan tenenun kain yang amat halus
dengan menggunakan teknik “tapestry weaving”,” tutur Bernhard
Bart.
Perjalanan panjang dan kecintaannya pada kain songket, bukan saja memberi
pengalaman batin yang luar biasa, tapi juga menimbulkan kecemasan dalam
dirinya. Dia khawatir, seni menenun kain songket tradisi akan lenyap di
tengah-tengah masyarakat Minang khususnya, dan di Nusantara umumnya. Kondisi
dan situasi yang tidak kondusif dan perhatian pemerintah yang minim, keberadaan
kain tenun songket terancam punah.
Dia memperkirakan kesulitan yang dialami Hj Rohani di Tanjung Sunggayang
persis terjadi di semua tempat tenun yang dulu ada di nagari-nagari di Sumatra
Barat, seperti di Nagari Pitalah, Nagari Padang Magek, Solok, Muara Labuh.
Selain itu, krisis ekonomi dan pendudukan Jepang juga menjadi faktor yang
menyebabkan terhentinya perkembangan songket lama Minangkabau.
Setelah tahun 1942, banyak peralatan tenun dan bahan tenun tidak dirawat
dan dijaga pemiliknya. Hal ini juga menjadi penyebab semakin berkurangnya seni
tradisi menenun di Minangkabau, dan juga di tempat-tempat lain.
Kondisi seperti ini, menurutnya, juga terjadi di Nagari Kubang. Imbas dari
krisis moneter yang melanda negara Indonesia pada tahun 1997-1998, banyak
penenun yang tidak mampu menjalankan alat tenunnya, dan tidak sedikit alat
tenun itu yang dipindahkan pemiliknya ke luar rumah hingga kayunya lapuk dan
suri besinya berkarat.
“Lalu, siapa akan melanjutkan tradisi menenun ini tanpa memiliki alat
tenun, dan juga tanpa mengetahui motif, teknik, dan bahan? Kecuali jika ada
bantuan modal dari pemerintah daerah. Akan tetapi, apakah pemodal atau
pemerintah mengetahui seluk-beluk tentang adat, motif, teknik, dan sebagainya
yang berkaitan seni tenun khas Minangkabau? Kondisi seperti ini terjadi di
Pandai Sikek dan Silungkang. Yang kita temukan hilangnya spirit Minangkabau
dalam motif tenunan itu,” jelasnya.
Dia menduga, inilah yang menyebabkan hilang atau sulitnya menemukan teknik,
peralatan tenun, dan corak tenun di Minangkabau saat sekarang ini.
Kecemasannya sangat masuk akal. Buktinya, pada tahun 1996 di ranah Minang, dia
hanya menemukan Hj Rohani, penenun satu-satunya di ranah Minang yang masih
menenun dengan cara yang benar, yakni bagian kain yang bagus menghadap ke
bawah, dan bagian belakang kain menghadap ke atas.
“Kain “Basa Hitam” Hj Rohani dan sebuah kain dari Kota Gadang, di Museum
Adhityawarman yang ditenun dengan corak yang amat rumit yang membuat saya
sangat terkesan. Sebenarnya, kedua kain itulah “induk” penelitian saya,”
katanya.
Bernhard Bart mendeskripsikan, teknik pengerjaan tenun dalam tradisi
Minangkabau, menenun dengan cara terbalik memang sesuatu yang lazim dikerjakan
oleh penenun-penenun masa lalu di nagari-nagari Minangkabau. Jika bagian
belakang kain menghadap ke atas, tentu penenun dapat mengontrol bagian belakang
yang biasanya terabaikan, sehingga kedua sisi kain tenun yang dihasilkan
menjadi sangat rapi.
Sementara pada masa kini, para penenun di ranah Minang bertenun dengan cara
sebaliknya: sisi depan menghadap ke atas, dan sisi belakang menghadap ke bawah,
sehingga penenun hanya mengontrol sisi depan dan mengabaikan bahagian belakang
kain. Hj Rohani mampu menenun kain dengan corak “Basa Hitam” dengan cara yang
sangat tepat, yakni sisi belakang menghadap ke atas dan sisi depan menghadap ke
bawah. Dengan cara terbalik ini, penenun dapat mengontrol kerapian kerja, apa
lagi sat penenun motif bertabur sambungan benang makau bisa dikerjakan dengan
lebih rapi, dan hasil tenun songket bertabur menjadi bagus dan indah. Inilah
kelebihannya menenun dengan cara terbalik.
Selain minimnya kepedulian berbagai pihak terhadap kekayaan tenunan songket
Minangkabau, juga yang menjadi persoalan serius adalah tidak tersedianya bahan
dasar yang berkualitas untuk menenun. Menurut Bernhard Bart, untuk membuat
songket yang berkualitas seperti yang pernah ditenun oleh penenun masa lalu,
diperlukan bahan yang berkualitas, baik katun, sutra atau pun benang emas untuk
motif. Sementara bahan yang tersedia di Indonesia sangat terbatas. Misalnya,
untuk bahan tenun berupa benang sutra, sangat sulit mendapatkan yang bermutu.
Sutra yang beredar di pasar Indonesia saat ini adalah produk yang diimpor dari
Cina dengan mutu yang sangat rendah (potong-potongan sutra yang dipintal, bukan
sutra ulat yang dihasilkan langsung dari kokon). Begitu juga benang emas atau
benang makau yang dipakai penenun di Sumatra Barat saat ini hanya ada satu pilihan
kualitas. Benang makau yang dijual di Indonesia termasuk kualitas rendah,
terlalu tebal, berat, dan warna emas sangat mudah luntur.
Memang, beberapa tahun yang lalu, kesulitan mendapatkan sutra yang bagus
mulai terjawab. Ada harapan bahwa perkebunan murbei di Sumatra Barat dan
Sumatra Utara akan mampu memproduksi sutra dengan kualitas cukup baik tetapi
saat ini tidak jelas lagi nasib perkebunan itu. Sutra yang dihasilkan
perkebunan itu, misalnya yang di Payakumbuh atau pun yang di Kota Nopan, kini
hanya sebatas industri hulu dan bahan baku itu diekspor ke negara lain untuk
pemrosesan lebih lanjut. Tampaknya ada
kendala peralatan dan teknologi.
Maka, untuk mengatasi masalah sulitnnya mendapat bahan yang berkualitas,
Bernhard Bart membuka jaringan dengan produsen benang makau yang bermutu di
negara lain. Baginya, ini merupakan salah satu langkah untuk mengatasi masalah
pengadaan bahan berkualitas.
Menapak Jalan Panjang Tenun Minangkabau
Songket Minang meraih perhargaan dari UNESCO |
Latar pendidikan Bernhard Bart memang bukan berangkat untuk mendalami tenun
songket, keahliannya di bidang arsitektur. Akan tetapi, karena kegemarannya
berkeliling dunia dan berkunjung ke situs-situs sejarah dan sentra-sentra
kerajinan rakyat di pelosok Nusantara ini—terutama kerajinan menenun—“memaksa”
dirinya sejenak meninggalkan dunia arsitektur.
Bernhard menyadari, sepintas, tampaknya, hasil seni tenun dan arsitektur
jauh berbeda, tetapi pada sisi cara bekerjanya hampir sama. Seorang arsitek,
kantanya, harus tahu tentang statik, teknik atau fungsi listrik, air, saluran,
mutu bahan bangunan, aturan pemerintah, pengaruh warna kepada orang, mencari
solusi yang harmonis di antara lingkungan, gedung, dan masyarakat yang
tinggal/bekerja di dalam gedung itu.
“Saya hanya bisa berhasil dengan baik, kalau saya mendapat sebuah solusi
yang optimal (tak pernah mungkin maksimal, selalu ada kompromi) bersama orang
yang ingin membangun gedung. Hampir sama dengan seni tenun. Saya harus tahu
fungsi alat tenun, seperti ATBM, alat tenun gedogang, sistem dobi, pelengkapan
atau penambahan alat tenun (karok, sisir, turak, dan lain-lain), teknik tenun
(ikat, songket, tapestry weaving dan lain-lain), mutu bahan (sutra ulat,
katun, rami, polyester, benang makau, dan lain-lain),” paparnya.
Selain yang bersifat teknis tadi, tambahnya, kita harus memahami dengan
baik sisi filosofi Minangkabau yang sangat berkait dengan adatnya. Kain songket
ditenun sesuai dengan aturan fungsi dan tujuan penggunaannya (deta, selendang,
sarung, ikek pinggang, dan lain-lain). Juga, ada corak yang spesifik atau unik
dalam kain songket, misalnya, corak kepala kain ("tumpal-dobel", pucuak-rabuang
timba baliak) hanya untuk selembar sarung, tak pernah untuk selendang.
Semua ini harus diteliti/diperiksa sebelum menggambar kain songket Minangkabau
dengan corak lama, yang nanti ditenun dengan tehnik yang dipakai
penenun-penenun Minangkabau ratusan tahun sebelum masa kini. Semua memiliki
kandungan filosofi.
Di ranah Minang, Bernhard Bart sungguh-sungguh menekuni seni menenun kain
songket. Telah berpuluh kali Bernhard pulang-balik Swiss-ranah Minang dan
dilanjutkan menelusuran ke sentra kerajinan tenun di nagari-nagari di
Minangkabau. Semua dilakukannya tanpa ada dukungan dana dari sponsor.
“Saya tidak didukung oleh sponsor. Semuanya menggunakan dana saya sendiri.
Tapi, di ranah Minang, saya banyak dibantu teman-teman, terutama keluarga
Nina-Alda. Dan semua itu sangat besar artinya bagi saya. Namun, sampai sekarang
saya tidak ingin mencari perhatian pemerintah, karena kerja ini seperti hobi
pada waktu saya libur di Sumatra Barat,” katanya.
Di Swiss, kata Bernhard, dia didukung Professor Wolfgang Marschall jurusan
ilmu bangsa-bangsa di Universität Bern dan beberapa orang kurator di
museum-museum di Swiss yang mempunyai barang kuno dari Indonesia.
Kini, Bernhard Bart telah menikmati hasil jerih payahnya. Paling tidak,
untuk saat kini, lebih 1000 corak songket Minang telah dikembangkannya, dari yang
paling sederhana (hanya 2 baris yang berbeda) sampai corak yang sangat rumit
dengan 110 baris dan lebar sampai 260 “gigi” sisir tenun. Katanya, yang sebesar
260 “gigi” hanya ditemukan di dalam kain songket Koto Gadang yang sangat khas.
“Kain songket lama Koto Gadang yang paling halus di dunia sebagai hasil
tenunan tangan. Di India Selatan, penenun juga menyongket kain “sari”
(pakaian perempuan India) juga lebih halus, tetapi dengan mengunakan sistem
“jaquard“. Penenun tidak mencukie sendiri, corak langsung digambar
dengan bantuan teknologi komputer,” ujarnya.
“Karena saya ingin membuat replika songket Minangkabau lama (tradisi), maka
saya tidak harus memodifikasi corak “tempo doeloe“ ini secara keseluruhan.
Karena ada corak yang dibuat di atas ukiran bukan dalam tenunan. Tapi ada
beberapa corak ukiran yang telah saya modifikasi untuk corak tenunan. Misalnya,
corak “daun sirih gadang”. Saya ingin mengatakan, tidak semua corak ukiran di
Minangkabau bisa dimodifikasi dalam corak tenunan songket. Banyak gambar ukiran
tidak cocok untuk tenunan. Yang jelas, teknik tenun dan teknik ukiran jauh
berbeda. Ada aturan dan pola yang lebih rumit dan detail untuk memindahkan
corak ukiran, seperti corak ukiran “daun sirih gadang“ ke dalam corak tenunan
songket.”
Menyangkut pengembangan teknik bertenun yang benar, Bernhard Bart
berpendapat, teknik bertenun yang dipakai oleh penenun di Sumatra Barat saat
ini bisa disempurkan dengan memodifikasi peralatan.
“Saya telah mencoba mendesain sendiri alat tenun yang bisa dipergunakan
oleh penenun di Sumatra Barat, dan membuatnya dengan bantuan seorang tukang
kayu yang cukup ahli. Beberapa alat tenun telah saya buat dan alat itu pun kini
telah menghasilkan beberapa lembar replika kain songket lama. Sekarang, saya
sudah punya mesin tenun sesuai dengan desain saya, dan juga mesin untuk
menggintir benang dari sutra tunggal yang cukup kuat untuk losen dan pakan.”
Pada awal penelitiannya, Bernhard Bart sudah mempunyai rencana untuk
menghidupkan kembali corak lama songket Minangkabau. Jika tidak dilakukan
semenjak sekarang, kekhawatiran punahnya tradisi menenun motif lama Minang akan
terbukti. Dia melihat, kain tenun songket yang beredar di Sumatra Barat saat
ini, motif-motifnya terasa membosankan karena sudah masuk dalam industri yang massif.
Tidak ada perkembangan corak lagi. Komposisi kain tetap
(statis), selalu sama: pinggir kiri-kanan lebar, di antaranya banyak
pengulangan baris bercorak kecil. Tentu tidak jadi masalah jika dipakai untuk
sarung atau selendang, karena pinggirnya harus sama lebar. Yang divariasikan
dan selalu dikembangkan pada kain songket di pasaran saat ini adalah kain
dengan warna yang kerap menggunakan warna tren pada masa kini. Hampir tidak
terlihat warna yang menjadi tradisi Minangkabau, misalnya merah terang, merah
hati, biru tua (indigo), kuning, coklat, dan lain sebagainya. Banyak hal harus
diteliti lebih dulu untuk menenun kain songket seperti yang ditenun 100 tahun
yang lalu.
“Untuk mengembangkan lebih jauh teknik menenun secara benar, saya
mengunjungi tempat tenun dan berbicara dengan penenun, pandai sisir, pandai
karok, dan pencelup. Dari situ, kemudian saya mengetahui tentang teknik tenun,
warna, alat, dan sebagainya. Karena saya sudah singgah belasan tempat berada di
beberapa negara Asia Selatan dan Asia Tenggara, saya dapat membandingkan
kelebihan dan kekurangan masing-masing tempat yang saya kunjungi itu. Saya
mencoba mengintroduksikan cara simpan baris motif dengan karok motif.
Ini lebih efisien untuk corak yang rumit dan besar, namun tidak efisien untuk
corak sederhana. Motif sederhana mungkin cukup dengan menyimpan baris motif di
bagian belakang alat tenun dengan menggunakan lidi. Tetapi untuk motif dengan
baris motif yang banyak, perlu sistem yang lebih efektif dengan
menggunakan karok motif,” tutur Bernhard Bart.
Katanya, cara simpan motif ke dalam karok motif sudah lama terkenal di
bagian utara negara Thailand. Tetapi untuk menenun kain songket Minangkabau,
sistem ini harus disesuaikan dengan kondisi di Sumatra Barat karena corak yang
ditenun di Thailand kurang rumit dan teknik tenun juga berbeda dengan yang ada
yang di Sumatra Barat.
Untuk itu pula, agar program yang dilakukan Bernhard Bart berkelanjutan dan
teknik penenun yang dikembangkannya dapat berjalan baik, maka dia mencoba
“membina” penenun untuk mentransformasikan penemuannya. Sementara, kata
Barnhard Bart, saat sekarang hanya dua tempat saja yang mampu dibina. Dan
prospeknya belum bisa diprediksi dengan pasti. “Tapi saya tetap berusaha,
walaupun selalu ada kendala dalam masalah tranformasi teknologi. Namun saya
tetap berupaya menemukan solusi terbaik.”
Memang, pada masa lalu kerajinan tangan masih hidup dan menjadi bagian
aktivitas sehari-hari, termasuk kerajinan tenun songket yang saat itu bukanlah
benda langka. Peneliti pada masa itu mungkin bisa mengoleksi tenun songket
dengan mudah dan tidak perlu ada revitalisasi karena semua tumbuh berkembang
dengan baik. Tenun songket bukan benda langka yang perlu direvitalisasi.
Penelitian di masa kini yang diikuti dengan gagasan revitalisasi muncul
disebabkan benda yang menjadi obyek penelitian menjadi langka. Pendataan dan
inventarisasi serta membukukannya, apalagi jika ada upaya untuk menghadirkannya
kembali, ini tentu lebih empatis.
Melangkah di Ketiak Globalisasi
Motif-motif songket Minangkabau penuh dengan nilai-nilai filosofis dan
semuanya bermuara pada kerangka „alam takambang jadi guru dalam
tradisi dialektika kultural Minangkabau. Motif-motif songket Minangkabau
merupakan representasi pola berpikir dan bersikap dari alam takambang jadi
guru itu. Motif-motif songket Minangkabau umumnya merupakan simbol-simbol
alam. Agaknya ini sebuah pencatatan dari ajaran-ajaran filosofi
Minangkabau.
Namun demikian, saat sekarang, songket Minangkabau yang beredar dan membanjiri
sentra dan toko-toko sovenir di pasaran, dapat disebut wajah dari kekuatan
kapitalisme dan bisnis. Songket itu hadir tanpa filosofis dan makna yang
mendalam. Dasar pemikiran hadirnya adalah untung rugi. Keperkasaan pasar terus
berlangsung demikian dasyatnya. Akibatnya, ia melenyapkan songket-songket
tradisi di Minangkabau (Sumatra Barat) dan juga mungkin di berbagai
negara-negara di dunia ini. Dan ini jelas
tantangan yang sangat berat.
Melihat problem itu, Bernhard Bart mengatakan, perlu langkah konkret dan
upaya bersama untuk mempengaruhi selera pasar dengan menawarkan rasa bangga
terhadap budaya yang diwarisi dari nenek moyang. Alangkah baiknya jika rasa bangga ini menjadi tren. Walau Bernhard Bart
tidak yakin sepenuhnya berhasil, tapi setidaknya, katanya, dapat menularkan
rasa bangga memiliki karya tenun songket yang berkualitas.
Lebih jauh Bernhard Bart memaparkan, globalisasi yang berpengaruh terhadap
perkembangan budaya-budaya dunia adalah satu hal. Keinginan untuk menghidupkan
kembali motif-motif lama songket Minangkabau adalah hal lain. Namun bukan berarti keduanya saling berhadapan atau berbenturan. Keduanya
bisa menjadi arus yang berjalan searah. Sekarang, masalahnya adalah bagaimana
membuat relevansi arus deras globalisasi dengan arus revitalisasi budaya lokal.
Sehingga sederas apapun arus globalisasi, ia tetap membawa identitas budaya
lokal. “Yang saya baca dalam hal ini adalah Minangkabau tidak melawan arus atau
pun terbawa arus, melainkan bisa mengikuti arus atau menunggangi arus.
Tentu, paling tidak—dari perjalanan merevitalisasi songket lama
Minangkabau—memicu kesadaran agar sentra-sentra tenun di Sumatra Barat
termotivasi untuk merevitalisasi motif lama dan mempertahankannya bahkan
meningkatkan kualitas produksi songket Minangkabau seperti yang pernah
dikerjakan oleh penenun-penenun terdahulu.
“Mungkin penelitian saya berakhir dalam waktu satu atau dua tahun lagi.
Tetapi saya perpikir, kesinambungan, pengembangan dan revitalisasi songket
tradisi Minangkabau harus dilakukan terus menerus. Saya kira ini dapat
dilakukan dengan baik, sebab sudah banyak orang yang dilatih dan mampu
menggunakan teknik, alat, dan corak yang dikembangkan itu. Dan kita berharap
semuanya berjalan dengan baik. Pembinaan dan persiapan yang telah dilakukan saat
ini antara lain membina beberapa penenun di beberapa sentra tenun untuk bekerja
sama mereproduksi songket lama Minangkabau. Dan kegiatan ini telah menghasilkan
beberapa helai kain songket: selendang/tangkuluak, sisamping, sarung (gaya Koto
Gadang), dalamak dan ikek pinggang.
Kontemplasi
Salah satu kekayaan tradisi di Minangkabau adalah corak tenun songket.
Beragam rupa corak songket berkembang dengan baik di tengah masyarakat tradisi
Minangkabau. Beberapa nagari di Minangkabau memiliki kekayaan corak dan rupa
songket dan merupakan karya seni yang sangat kaya kadar filosofi, ajaran, dan
nilai-nilai kehidupan.
Beberapa peneliti (Jaspers, 1912) pada masa lalu pernah mencatat, sekitar
90 lebih ragam corak pada kain songket lama Minangkabau telah muncul di ranah
Minang. Namun, saat ini, corak-corak tersebut sudah jarang ditemui. Kalau pun
ada, hanya sebagian saja dan terbatas pada corak-corak sederhana. Itu pun sudah
dimodifikasi sesuai dengan kehendak pasar dan massif. Bentuk dan coraknya tidak
berkembang. Sementara, beberapa corak lainnya hampir hilang terkubur oleh
zaman, bahkan tidak dikenal lagi oleh para penenun masa kini.
Corak songket Minangkabau yang telah langka (bahkan nyaris punah) itu, kini
direvilatisasi oleh Bernhard Bart, 59 tahun, seorang arsitek berkebangsaan
Swiss. Dia 10 tahun terakhir sangat intens meneliti corak-corak songket lama
Minangkabau.
Apa yang telah dilakukan Bernhard Bart memang menakjubkan. Beberapa corak
songket lama Minangkabau yang pernah berkembang dan menjadi simbol-simbol kultural
Minangkabau yang penuh ajaran dan nilai kearifan itu, kini telah berhasil
dikembangkan, direvitalisasi, dan direplika. Tapi, mengapa orang lain yang
peduli?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar