Selasa, 23 Juli 2013

Merawat Spirit Seni Tradisi Minang


Oleh: Asril Muchtar
Pemerhati seni dan dosen ISI Padangpanjang
Jenis seni tontonan berbasis tradisi yang lebih awal dikenal di Sumatra Barat adalah musik dan tari kreasi baru. Jenis seni tontonan ini muncul di era tahun 1970-an. Musik kreasi baru adalah musik-musik yang bersumber dari musik tradisi yang ditata atau diaransemen dalam format baru. Misalnya, dendang atau lagu “Tak Tontong”, “Talago Biru” dimainkan dengan talempong yang ditala dengan tangga nada diatonis sebanyak 10-12 buah sebagai pembawa melodi utama, dan dibuatkan iringannya dari talempong dan canang masing-masing delapan buah yang berfungsi sebagai akord. Musik ini dipelopori oleh, Yusaf Rahman, Akhyar Adam, Irsyad Adam, dan Murad Sutan Saidi.

Pada tarian muncul karya-karya tari kreasi baru, seperti: tari Cewang, tari Rantak, tari Nelayan, tari Piring (versi Hoerijah Adam dan Syofyani Yusaf) dan lain sebagainya. Tokoh penting di bidang ini di Minangkabau dapat disebut Hoerijah Adam, Syofyani Yusaf, dan Gusmiati Suid pada generasi awal. Setelah itu bermunculan generasi berikutnya, sekedar menyebutkan contoh, Zuriati Zubir, Syaiful Erman, Eri Mefri, Deslenda, Indra Yuda, Susasrita Lora, Rasmida, dsb.
Seiring dengan perjalanan waktu, perkembangan kekaryaan yang berbasis tradisi, dan bahkan yang bukan dari tradisi pun sangat kuat di Minangkabau. Pendekatan garap kekaryaan tidak lagi pendekaatan kreasi, tetapi telah merambah pada wilayah eksperimental, eksplorasi, modern, kontemporer, pop, elektro-akustik, dodekafonik, dan banyak lagi cara atau metode yang dikembangkan oleh para komposer dan koreografer dalam menyulam ruang estetika mereka. Seni tontonan berkembang dengan pesat. Bahkan mungkin dengan sedikit bangga kita bisa mengatakan, bahwa Sumatra Barat merupakan salah satu lokus kiblat kreativitas seni di Indonesia.
Di sini, seni tontonan telah menampakkan “wajah” kreativitas lebih ditonjolkan. Akibat perkembangan ini, berimbas pula pada  ruang tontonan dan penontonnya. Penonton dan ruang tontonan menjadi terbelah. Mereka yang memiliki apresiasi seni yang “tinggi” lebih memilih karya-karya seni yang lebih serius yang ditampilkan di gedung-gedung pertunjukan yang representatif pula. Sementara mereka yang memiliki apresiasi seni “sekedarnya”, mungkin lebih suka menonton karya-karya seni yang lebih mudah dinikmati, tidak rumit, dan nilai hiburannya lebih banyak. Misalnya, musik-musik popular, tari-tari tataan ringan (kreasi), dan sebagainya.
Beberapa nama seniman pelaku di bidang ini yang perlu disebutkan antara lain: di bidang tari Ery Mefri, Syaiful Erman, Indra Utama, Indra Yuda, Zuriati Zubir, Susasrita Lora, Rasmida, Deslenda, Syahril Alek, Angga, Sukri, dsb. Sementara di bidang musik antara lain: Hajizar, M. Halim, Elizar Koto, Joesbar Djaelani, Nedi Winuza, Rafiloza, Joni Muda, Susandara Jaya, Andranova, Wimbrayardi, Nur Cholis, Alfalah, Hen Ambo, dan lain sebagainya. Menariknya beberapa seniman di atas membuat wadah sendiri untuk berkreativitas melalui grup. Misalnya, Talago Buni, Nan Jombang, Galang Dance Company, Sikambang Manih, Titian Aka, Satampang Baniah, Minangpentagong, La Gandie, Flame, Mahatam Ensamble, dan lain sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...