OLEH
Nasrul Azwar
Sekjen Aliansi Komunitas Seni Indonesia
Tanggal 3 Juli dijadikan Hari Sastra Indonesia (Foto http://www.dbkomik.com/site/news.php?detail=580) |
Pada
pengujung 2012, puluhan sastrawan berkumpul di Pekanbaru, Riau,
menetapkan tanggal 26 Juli sebagai “Hari Puisi Indonesia”. Gelaran ini dihadiri
Gubernur Riau. Menurut mereka, pemilihan dan latar belakang penetapan “Hari
Puisi” itu, disesuaikan dengan kelahiran penyair Chairil Anwar pada 26 Juli
1922. Chairil lahir di Medan dari pasangan Tulus dan Saleha, yang berasal dari
Limopuluh Koto.
Tak berapa lama setelah itu, 24 Maret 2013, di Kota
Bukittinggi, puluhan sastrawan yang sebagian besar juga hadir di Pekanbaru, memproklamasikan
3 Juli sebagai “Hari Sastra Indonesia”. Penetapan ini dilegitimasi
pejabat-pejabat negara, antara lain Irman Gusman (Ketua Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), Wiendu Nurhayati (Wakil Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan), Irwan Prayitno (Gubernur Provinsi Sumatera Barat), Ismet
Amzis (Walikota Bukittinggi), dan lain sebagainya. Pengukuhan tanggal 3 Juli itu bersumber dari
kelahiran sastrawan, wartawan, dan politisi Abdoel Moeis pada 3 Juli 1886.
Abdoel Moeis lahir di Solok.
Sebelumnya, pada 22 Februari 2013, simpatisan
Joernal Boemipoetra di Solo telah lebih
dulu mendeklarasikan “Hari Sastra Indonesia” yang digariskan pada 6 Februari
yang berkaitan dengan hari kelahiran Pramoedya Ananta Toer pada 6 Februari
1925. Para deklarator ini jelas-jelas menolak kelahiran Abdoel Moeis digunakan
sebagai acuan “Hari Sastra Indonesia”, karena Abdoel Moeis dinilai “anak
kandung” Balai Pustaka, sebuah institusi penerbitan buku bentukan kolonial
Belanda. Ini bertolak belakang dengan spirit karya-karya sastrawan Pramoedya
Ananta Toer yang kental bermuatan semangat perlawanan dan antikolonialisme.
Selain itu, Pram berkali-kali nomine peraih Nobel Sastra.
Kini, ada banyak “hari” yang akan dirayakan bangsa (sastrawan)
Indonesia setiap tahunnya, an sich.
Untuk “Hari Puisi Indonesia” dan “Hari Sastra Indonesia” versi Taufiq Ismail,
para penggagas berharap kepada pemerintah Indonesia, dan lembaga relevan
mengakomodasinya untuk ditetapkan secara formal dan resmi sebagai peristiwa
yang tak boleh dilupakan pemerintah/negara. Sedangkan, kelompok Joernal Boemipoetra, tak mau berharap kepada
pemerintah dan lebih percaya pada masyarakat sastra dan rakyat Indonesia.
Ketidaknyamanan Psikologis
Melihat
konstelasi dan latar belakang penetapan “hari-hari” ini-itu, dalam perspektif
politik kebudayaan, jelas punya keterkaitan historis dan persoalan psikologis
para penggagasnya. Paling tidak, problem umum yang kasat mata adalah perkara
“ideologi” dan sentimen etnis di antara yang berada di balik kemunculan
“hari-hari” itu.
Semisal,
penetapan “Hari Puisi Indonesia” bukan serta merta berjalan mulus. Beberapa
sastrawan saat musyawarah di Pekanbaru, menentang keras kelahiran Chairil Anwar
dipakai sebagai “Hari Puisi Indonesia”, kendati akhirnya tetap sesuai rencana
pengagas. Konon, sentimen etnis, lebih mengedepan tinimbang fakta sejarah. Dan,
hal yang sama seperti disinggung di atas, pengukuhan “Hari Sastra Indonesia”,
juga memunculkan polemik dan perlawanan.
Dari
sengkarut “hari-hari” yang ditasbihkan itu, tampaknya bukan semata perkara
historisitas sastra, tapi lebih jauh dari itu. Menurut saya, ada soal yang
lebih dalam terpendam di balik semua itu, yakni ketidaknyamanan psikologis bagi
etnis lain dengan penetapan dua orang Minang dalam laku sejarah itu: Chairil
Anwar dan Abdoel Moeis.
Pada
basis ini, sebenarnya saya tidak sedang bersetuju dengan penetapan “hari-hari”
tersebut sekalian terhadap sosok yang dikukuhkan. Tapi, saya sedang tertarik membaca,
baik di balik maupun di depan, fenomena dan sekaligus dampak dari penetapan
“hari-hari” itu.
Konsep etnisitas, menurut (Barth 1969), yang dikutip
Antariksa (Newsletter KUNCI No. 8, September 2000) bersifat relasional yang
berkaitan dengan identifikasi diri dan asal-usul sosial. Apa yang kita pikirkan
sebagai identitas kita tergantung kepada apa yang kita pikirkan sebagai bukan
kita. Orang Minang bukan Padang, Jawa
bukan Madura, Batak dan lain-lain. Konsekuensinya, etnisitas akan lebih baik
dipahami sebagai proses penciptaan batas-batas formasi dan ditegakkan dalam
kondisi sosio-historis yang spesifik.
Etnisitas terbangun dalam relasi kekuasaan antarkelompok.
Ia merupakan sinyal keterpinggiran, sinyal tentang pusat dan pinggiran, dalam
konteks sejarah yang selalu berubah. Di sini, pusat dan pinggiran dibentuk
dalam representasi politik. Adalah penting untuk menjadikan sebuah aksioma
bahwa apa yang direpresentasikan sebagai 'pinggiran' tidaklah sepenuhnya
pinggiran tetapi merupakan efek dari representasi itu sendiri. 'Pusat' tidaklah
lebih pusat daripada pinggiran."
Jika
diidentifikasi lebih lanjut, dari tiga fenomena penetapan Hari Puisi Indonesia
(Ridha K Liamsi dan kawan-kawan), Hari Sastra Indonesia (versi Taufiq Ismail
dan kawan-kawan) dan versi Joernal Boemi Poetra Wowok Hesti Prabowo dan
kawan-kawan), mengesankan masing-masing membawa agenda yang “terselubung”.
Paling
tidak, dalam pembacaan saya, untuk “Hari Puisi Indonesia”, aksentuasinya
ditekankan pada ambisi Riau untuk menjadi pusat kebudayaan Melayu di Asia
Tenggara. Puisi itu sendiri adalah bagian dari kebudayaan Melayu-Riau. Begitu
kata Ridha K Liamsi. Sedangkan bahasa Melayu dianggap sebagai basis bahasa
Indonesia.
Untuk
Hari Sastra Indonesia, seperti disinggung di atas, telah memunculkan dua versi
dengan motif yang saling berpunggungan.
Negara Tanpa Sastra
Untuk pengukuhan Hari Puisi Indonesia dan Hari Sastra
Indonesia versi Taufiq Ismail dan kawan-kawan, sangat mengesankan agar mendapat
legitimasi dari pemerintah, serta mempertegas agar pemerintah memberi apresiasi
yang serius pada kedua hari itu.
Pemerintah Indonesia menjadi titik tumpu agar
sastra diberi perhatian dengan kucuran dana yang memadai. Keterlibatan negara
menjadi keniscayaan. Padahal sesungguhnya, sastra bisa berkembang baik berbanding
lurus dengan kemajuan peradaban sebuah bangsa, dan di sini peran negara bukan
sesuatu yang signifikan. Indonesia sendiri, menurut saya belum menempatkan
negara berperanan penting untuk sastra. Malah, kadang sebaliknya, negaralah
yang sangat diuntungkan dengan kehadiran sastra.
Gramsci yang yang menyebut negara sebagai hegemoni
itu, menilai sastra adalah “musuh” dan sekaligus “punggung” yang dicangkul
terus menerus. Prof Koh Young Hun, pengajar di Departemen of Malay-Indonesien
Studies, Hankuk University of Fereign Studies (HUFS), Seoul, Korea, dalam
bukunya Pramoedya Menggugat: Melacak
Jejak Indonesia (2011), menuliskan, tidak berlebihan kiranya jika dikatakan
Indonesia merasa bangga karena dapat melahirkan seorang sastrawan yang bernama
Pramoedya Ananta Toer yang dulunya dianggap sebagai musuh negara.
Soal Pramoedya Ananta Toer itu, sekadar menyebut
contoh saja, sebagai pembuktian negara (sekali lagi, baca Indonesia), tak cuma
merajam sastrawan berikut karya-karya sastra, tapi menggenapkan untuk
membunuhnya.
Tak terbantahkan, di balik kebesaran nama Pramoedya
Ananta Toer itu, negara telah diuntungkan, paling tidak dalam percaturan
pergaulan dunia. Lalu, negara telah berikan apa buat Pramoedya Ananta Toer?
Omong kosong, malah dia dipenjara bertahun-tahun tanpa melalui proses
pengadilan negara.
Selain itu, sesuatu yang sangat ironis adalah
ketika sastra dan seni-seni lainnya, khususnya seni tradisi, “dijual” negara
atas nama promosi dagang atau pariwisata ke luar negeri, tanpa pernah melihat
bagaimana seni tradisi itu hidup dan tumbuh dengan keprihatinan di pelbagai
pelosok Nusantara.
Dalam
tataran yang lebih luas, pada tingkat pusat, kondisi serupa tak jauh beda dengan
apa yang dialami PDS HB Jassin. Jika diteruskan, pada tingkat provinsi, kota
dan kabupaten, negara semakin melebarkan jarak dengan sastra.
Tersingkapnya
fakta di seputar penelantaran Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin
merupakan bukti hadirnya negara tanpa sastra di Indonesia. Kasus terlantarnya
Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin karena faktor keuangan, memang
memiriskan. Beberapa komunitas berinisiatif mengumpulkan koin agar sumber
penting sejarah sastra itu terselamatkan. Namun, siapa nyana, negara bergeming.
Merentang sejarah sastra—dan seni tentunya secara
umum—sebagai bentuk perlawanan terhadap negara tentu akan sangat panjang
daftarnya. Tapi yang pasti, sastra tetap tak akan pernah mati dan tak pernah
akan surut kendati negara tak pernah menaruh perhatian serius, dan mungkin
memang sastra tak butuh perhatian itu.
Munculnya komunitas-komunitas seni dasawarsa
terakhir di pelbagai pelosok Tanah Air, bagi sebagian orang berpendapat, karena
negara membuka seluasnya ruang-ruang publik untuk mengaktualisasikan diri dan
komunitasnya. Bagi saya, pendapat itu tak betul benar. Yang benar adalah
maraknya komunitas-komunitas itu sebagai representasi perlawanan terhadap
negara dengan segenap “perangkat” di dalamnya. Negara Indonesia hanya bisa melakukan
klaim terhadap keberhasilan sebuah atau lebih karya seni.
Pada
skala yang lebih kecil, taruhlah di Sumatera Barat, kondisinya lebih parah
lagi. Semenjak gubernur sampai wakilnya, sejak bupati dan wakilnya, dari
walikota dan wakilnya, hingga ke tingkat anggota DPRD, seterusnya ke kepala-kepala SKPD, dan terus
lanjut ke hierarki ke bawahnya, jangan tanya seberapa jauh tingkat apresiasi
mereka pada seni? Pasti akan sangat mengecewakan dan malah memedihkan.
Kendati
begitu, ratusan puisi hadir setiap tahun di media cetak, puluhan novel terbit
(sepanjang 2010-2012 sudah hampir belasan novel dan kumpulan cerpen terbit dari
pengarang Sumatera Barat), dan karya seni lainnya tetap hidup di atas panggung
tanpa kehadiran campur tangan negara.
Ketika
masyarakat pada suatu negara terlatih memanusiakan dirinya melalui jalan sastra
atau karya-karya sastra, sesungguhnya sebuah negara memiliki modal kultural
yang tiada tara untuk mengimajinasikan makna dan hakikat hidup adiluhung.
Negara tersebut tidak akan menghadapi kesulitan superpelik tatkala harus masuk
ke dalam agenda peningkatan daya saing ekonomi dan industri, berhadapan dengan
negara-negara lain di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar