OLEH Nasrul Azwar
Sekjen Aliansi Komunitas Seni Indonesi (AKSI)
Pertunjukan Hari Teater se-Dunia di :Padang (foto:inioke.com) |
Dario Fo, yang lahir pada 24 Maret 1926, merupakan seniman
multitalenta: sutradara, penulis naskah drama, satirist, aktor, dan komposer.
Pada 1997, Dario Fo memperoleh penghargaan Nobel Sastra yang bergengsi itu.
Peringatan Hari Teater Sedunia telah mematok satu tradisi yang dirawat dengan baik oleh International Theater Institute (ITI) di bawah UNESCO sejak mulai diperingati pada 27 Maret 1962, saban tahunnya.
Pesan utama yang disampaikan Dario
Fo adalah: sekarang para aktor dan perusahaan-perusahaan teater tengah
menghadapi kesulitan menemukan panggung publik, panggung teater, atau gedung
pertunjukan lain karena krisis. Para penguasa juga tidak lagi peduli dengan
masalah kontrol atas orang-orang yang mengekspresikan diri dengan ironi dan
sarkasme (di jalanan), karena tidak ada lagi tempat bagi para aktor untuk
mengekspresikannya. Sudah saatnya mendorong kalangan anak muda untuk belajar
seni teater. Sudah saatnya menghapus ironi di dunia teater.
Sebelumnya, John Malkovich, tahun
2012, pendiri dari Steppenwolf Theatre Company, dipercaya menyampaikan hal yang
serupa kepada masyarakat teater dunia.
John Malkovich berorasi: “Semoga
karya Anda menarik dan original. Semoga karya Anda mendalam, menyentuh, kontemplatif,
dan unik. Semoga karya Anda membantu kita untuk merenungkan pertanyaan tentang
apa artinya menjadi manusia, dan semoga perenungan itu diberkati dengan hati,
ketulusan, kejujuran, dan karunia. Semoga Anda bisa mengatasi kesulitan,
sensor, kemiskinan dan nihilisme, karena tentu banyak dari Anda berkewajiban
melakukan hal tersebut. Semoga Anda diberkati dengan bakat dan ketelitian untuk
mengajarkan pada kita tentang detak jantung manusia dengan segala
kompleksitasnya, dan kerendahan hati serta rasa ingin tahu terhadap karya
kehidupan Anda. Dan yang terbaik dari Anda,
hanya akan menjadi yang terbaik dari Anda, dan itu pun hanya pada
saat-saat paling langka dan singkat– keberhasilan dalam kerangka pertanyaan yang
paling mendasar ‘bagaimana kita hidup?’ Semoga berhasil.”
Tulisan saya ini memang tidak
sedang berkehendak membincangkan Hari Teater Sedunia yang juga dirayakan cukup
meriah di Kota Padang Panjang dan
Padang, beberapa bulan lalu, tetapi ingin menjelaskan “semangat berteater
anak muda” di Sumatera Barat yang kian membara, dan bagaimana mereka menghidupi
teater itu.
Yang menarik, ternyata, mendorong
kalangan muda agar lebih mengenal teater secara benar, telah jadi wacana publik
teater dunia hingga merambah ke daerah ini dengan ditandai seiring banyaknya
komunitas teater dan seni yang bermunculan.
Lima tahun terakhir, seiring
mudahnya menjalin komunikasi karena dimanjakan teknologi, para muda di Sumatera
Barat—baik yang berlatar mahasiswa atau
telah meninggalkan kampus—bertebaran membentuk kelompok-kelompok yang
berorientasi seni pertunjukan. Ini jelas sesuatu yang sangat positif. Tentu,
besar maknanya bagi kehidupan teater di Sumatera Barat. Ditarik ke belakang,
juga membiak komunitas-komunitas teater.
Pertumbuhan komunitas teater itu,
tampaknya juga diikuti semagat menghadirkan festival atau sejenis silaturahim
yang difasilitasi lembaga-lembaga, seperti Taman Budaya Provinsi Sumatera
Barat. Festival ini memberi ruang ekspresi bagi pegiat teater, tentunya.
Selain itu, hadirnya jurusan
teater di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Padang Panjang, pun memberi warna
kendati belum signifikan, bagi denyut teater di Sumatera Barat.
Tak bisa dipungkiri, sejarah yang
terus berputar di porosnya, seperti siklus. Tentu saja historis teater itu sendiri. Maraknya
kelompok teater saat ini, seperti mengulang kembali “sejarah” di era 80-an di
Sumatera Barat, yang juga merepresentasikan hal serupa.
Kendati begitu, tak bisa dibantah
sejarah juga menunjukkan, kelompok-kelompok atau sekarang lebih enak disebut
komunitas-komunitas teater itu, di suatu masanya nanti, lenyap ditelan dirinya
sendiri. Dan mereka menjadi situs yang berserakan.
Mengapa perjalanan komunitas
teater seperti mata rantai yang hilang? Biasanya, alasan yang telah klasik
tentu berkisar pada frase ini: “Teater tak bisa menghidupi kehidupan pegiatnya.
Pilihan hidup, memaksa untuk membunuh teaternya dalam dirinya.”
Mati dan
Tumbuh
Teater Rakyat (Antara) |
Kelompok itu memang telah sirna,
atau paling tidak, tak terdengar lagi proses dan pementasan yang dilakukan lima
tahun terakhir di Sumatera Barat, namun para pegiatnya tak lenyap pula bersama
komunitas teaternya, hingga hari orang-orangnya masih eksis dengan aktivitas
pribadinya, tentu.
Selepas itu, walau pencatatan di
atas, sebagian besar komunitas teater berasal dari kampus-kampus perguruan
tinggi, jauh sebelum itu, komunitas teater yang berasal luar kampus juga banyak
yang sudah eksis. Misalnya, KSST Noktah Padang, Komunitas Seni Hitam Putih
Padang Panjang, Teater Dayung-Dayung Kayu Tanam, Teater Imaji Padang, Teater
Garak Padang, Komunitas Seni Intro Payakumbuh, Teater Sakata Padang Panjang,
Teater Gaung Ekspose, Old Track Theatre Padang, dan lain sebagainya.
Riuh rendah suara teater di
Sumatera Barat, terus berlanjut dari masa ke masa, dari generasi ke generasi,
dan silih berganti. Tapi, catatan yang membekas, baik secara capaian artistik
panggung, maupun dramaturgi, sulit sekali ditemukan, malah nyaris tak ada sama
sekali. Kedua hal itu, memang masalah lain lagi yang dialami teater di daerah
ini.
Setelah terjadi “kevakuman
program” Dewan Kesenian Sumatera Barat (DKSB), sejak 2008 hingga kini,
para pegiat teater dan para anak muda,
membentuk dan membangun komunitas-komunitas, yang akhirnya, berlanjut mengisi
aktivitas seni di Sumatera Barat.
Motifnya kehadiran
komunitas-komunitas itu, bisa saja karena semangat berseni, memang hanya
pengisi waktu, atau tren dan gaya hidup yang sedang melanda kaum muda ini.
Tapi, lepas dari dugaan motif itu, yang jelas, kehadiran mereka telah menepis
anggapan adanya kekosongan aktivitas teater di ranah Bundo ini.
Dalam catatan saya,
komunitas-komunitas teater yang bergerak lima tahun terakhir itu: Ruang
Kreativitas Serunai Laut Padang, Komunitas Langit Teater Padang, Teater Rumah
Teduh Padang, Teater Seni Nan Tumpah Padang, Teater Ranah Padang, Teater Kamus
Padang, dan lain sebagainya.
Potensi
Besar dan Tantangan
Potensi yang besar dan
manusia-manusia yang mengisi ruang-ruang aktivitas teater tak pernah sepi di
Sumatera Barat. Kendati ranah ini masih mengesankan sebagai salah satu wilayah
kreativitas persinggahan, tapi tak mengendurkan spirit berkesenian mereka.
Pertunjukan teater digelar dengan
cara mereka sendiri. Semenjak menghimpun dana produksi, latihan, dan mengelola
penonton, semua digerakkan dengan kerja patungan, mandiri, serta memaksimalkan
jaringan. Militansi dan mampu menyiasati kondisi minimnya perhatian dan bantuan
dana dari lembaga budaya dan seni pemerintah, tak serta merta membuat mereka
tumpul berkarya.
Amatan sepintas, saya kira pantas
diapresiasi dan respeks ketika Ruang Kreativitas Serunai Laut mementaskan Tumirah Sang Mucikari di Medan Nan Balinduang
Bukittinggi dengan cara swadaya dan swadana beberapa waktu lalu. Penonton cukup
ramai untuk ukuran kota Bukittinggi. Namun aneh sekali, pihak Dinas Parawisata
dan Kebudayaan Kota Bukittinggi, malah memasang harga sewa gedung jika grup
memeroleh dana berlebih. Jelas ini tak masuk akal!
Pada bulan ini, sesuai rencana,
Teater Ranah Padang, akan mementaskan Dua
Senja karya dan sutradara S Metron M. Kelompok ini telah proses tiga bulan
terakhir. Pementasan digelar di Bukittinggi dan Payakumbuh.
Teater Noktah Padang, dalam bulan
ini juga, akan menggelar pementasan teater berjudul Tanah Ibu karya dan sutradara Syuhendri di Taman Budaya Bengkulu.
Selain itu, dalam bincang-bincang saya dengan Mahatma Muhammad dari Teater Seni Nan Tumpah, menyebutkan
Teater Dayung-Dayung akan menggelar pementasan sebagai tribute kepada almarhum A Alin De, pendiri dan juga tokoh teater.
Dan tentu saja tak terhitung
jumlahnya, pertunjukan yang digelar pegiat teater di Padang Panjang, utama di
kampus ISI Padang Panjang.
Konsorsium
Komunitas
Teater jalanan (Antara) |
Tentu, pada wilayah ini, jelas tak
ada masalah bagi komunitas-komunitas teater, malah yang justru jadi masalah besar adalah ketika
komunitas-komunitas teater tak memiliki kekuatan apa-apa untuk menekan penguasa
agar memberi perhatian serius terhadap seni yang satu ini.
Apa yang yang dipesankan Dario Fo,
bahwa para penguasa juga tidak lagi peduli dengan masalah kontrol atas
orang-orang yang mengekspresikan diri dengan ironi dan sarkasme (di jalanan),
karena tidak ada lagi tempat bagi para aktor untuk mengekspresikannya, tentu
menemukan pembenarannya jika melihat minim perhatian penguasa (eksekutif dan
legislatif), terhadap komunitas teater di Sumatera Barat.
Masalah begini memang telah
menjadi abadi, yang berlangsung dari masa ke masa. Sepertinya, sulit sekali
menemukan masa indah antara penguasa dengan seniman. Seniman yang disebut di
sini, tentu saja seniman yang benar-benar menjaga integritas dan harga dirinya.
Bukan seniman yang dengan mudah memasang wajah memelas dan linangan air mata di
depan pejabat agar dibantu dana.
Untuk itu, dari pengalaman dan
merasakan masalah yang dihadapi komunitas-komunitas seni dan juga seniman di
Sumatera Barat selama ini, ada beberapa hal yang perlu dijadikan ini sebagai
masalah bersama. Pertama: masih
lemahnya kebersamaan antarkomunitas, kedua:
seni belum dijadikan isu dan persoalan bersama, dan ketiga: tak adanya lembaga yang bisa menyatukan komunitas-komunitas
ini sehingga menjelma menjadi lembaga yang kuat dan mampu bernegosiasi dengan
penguasa, serta membuka ruang lebih luas dengan lembaga dan jaringan budaya
lainnya.
Penguatan komunitas-komunitas
dengan menyatukannya dalam lembaga katakanlah itu seperti “konsorsium”, bagi
saya saat ini sebagai kebutuhan yang sangat mendesak dan perlu direalisasikan
sesegerakan mungkin. Jikapun ada mencuat sebelumnya “SATE” (salingka teater),
yang di dalamnya ada beberapa komunitas, tentu perlu diseriusi dan diformalkan.
Saya melihat, SATE bisa jadi merupakan cikal bakal menuju penguatan komunitas
yang lebih luas.
Jika telah terbentuk secara
formal, saya kira, jalan akan terbuka sangat luas untuk membentangkan dunia
teater kita. Tentunya, harus dimulai dari sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar