Jumat, 12 Juli 2013

MENJAWAB KEBUNTUAN: Konsorsium Komunitas Seni Sebuah Kebutuhan

OLEH Nasrul Azwar
Sekjen  Aliansi Komunitas Seni Indonesi (AKSI)

Pertunjukan Hari Teater se-Dunia di :Padang (foto:inioke.com)
Pada peringatan Hari Teater Sedunia (World Theatre Day) 27 Maret 2013 lalu, Dario Fo, salah seorang seniman Italia, dipilih untuk menuliskan pesan-pesannya  tentang teater ke seluruh jagad raya ini. Saya menangkap, pesan itu menyiratkan diperlukan pernguatan komunitas-komunitas seni untuk menghadapi penguasa.
Dario Fo, yang lahir  pada 24 Maret 1926, merupakan seniman multitalenta: sutradara, penulis naskah drama, satirist, aktor, dan komposer. Pada 1997, Dario Fo memperoleh penghargaan Nobel Sastra yang bergengsi itu.

Peringatan Hari Teater Sedunia telah mematok satu tradisi yang dirawat dengan baik oleh International Theater Institute (ITI) di bawah UNESCO sejak mulai diperingati pada 27 Maret 1962, saban tahunnya.
Pesan utama yang disampaikan Dario Fo adalah: sekarang para aktor dan perusahaan-perusahaan teater tengah menghadapi kesulitan menemukan panggung publik, panggung teater, atau gedung pertunjukan lain karena krisis. Para penguasa juga tidak lagi peduli dengan masalah kontrol atas orang-orang yang mengekspresikan diri dengan ironi dan sarkasme (di jalanan), karena tidak ada lagi tempat bagi para aktor untuk mengekspresikannya. Sudah saatnya mendorong kalangan anak muda untuk belajar seni teater. Sudah saatnya menghapus ironi di dunia teater.
Sebelumnya, John Malkovich, tahun 2012, pendiri dari Steppenwolf Theatre Company, dipercaya menyampaikan hal yang serupa kepada masyarakat teater dunia.
John Malkovich berorasi: “Semoga karya Anda menarik dan original. Semoga karya Anda mendalam, menyentuh, kontemplatif, dan unik. Semoga karya Anda membantu kita untuk merenungkan pertanyaan tentang apa artinya menjadi manusia, dan semoga perenungan itu diberkati dengan hati, ketulusan, kejujuran, dan karunia. Semoga Anda bisa mengatasi kesulitan, sensor, kemiskinan dan nihilisme, karena tentu banyak dari Anda berkewajiban melakukan hal tersebut. Semoga Anda diberkati dengan bakat dan ketelitian untuk mengajarkan pada kita tentang detak jantung manusia dengan segala kompleksitasnya, dan kerendahan hati serta rasa ingin tahu terhadap karya kehidupan Anda. Dan yang terbaik dari Anda,  hanya akan menjadi yang terbaik dari Anda, dan itu pun hanya pada saat-saat paling langka dan singkat– keberhasilan dalam kerangka pertanyaan yang paling mendasar ‘bagaimana kita hidup?’ Semoga berhasil.”
Tulisan saya ini memang tidak sedang berkehendak membincangkan Hari Teater Sedunia yang juga dirayakan cukup meriah di Kota Padang Panjang dan  Padang, beberapa bulan lalu, tetapi ingin menjelaskan “semangat berteater anak muda” di Sumatera Barat yang kian membara, dan bagaimana mereka menghidupi teater itu.
Yang menarik, ternyata, mendorong kalangan muda agar lebih mengenal teater secara benar, telah jadi wacana publik teater dunia hingga merambah ke daerah ini dengan ditandai seiring banyaknya komunitas teater dan seni yang bermunculan.
Lima tahun terakhir, seiring mudahnya menjalin komunikasi karena dimanjakan teknologi, para muda di Sumatera Barat—baik yang berlatar mahasiswa atau  telah meninggalkan kampus—bertebaran membentuk kelompok-kelompok yang berorientasi seni pertunjukan. Ini jelas sesuatu yang sangat positif. Tentu, besar maknanya bagi kehidupan teater di Sumatera Barat. Ditarik ke belakang, juga membiak komunitas-komunitas teater.
Pertumbuhan komunitas teater itu, tampaknya juga diikuti semagat menghadirkan festival atau sejenis silaturahim yang difasilitasi lembaga-lembaga, seperti Taman Budaya Provinsi Sumatera Barat. Festival ini memberi ruang ekspresi bagi pegiat teater, tentunya. 
Selain itu, hadirnya jurusan teater di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Padang Panjang, pun memberi warna kendati belum signifikan, bagi denyut teater di Sumatera Barat.
Tak bisa dipungkiri, sejarah yang terus berputar di porosnya, seperti siklus. Tentu  saja historis teater itu sendiri. Maraknya kelompok teater saat ini, seperti mengulang kembali “sejarah” di era 80-an di Sumatera Barat, yang juga merepresentasikan hal serupa.  
Kendati begitu, tak bisa dibantah sejarah juga menunjukkan, kelompok-kelompok atau sekarang lebih enak disebut komunitas-komunitas teater itu, di suatu masanya nanti, lenyap ditelan dirinya sendiri. Dan mereka menjadi situs yang berserakan.
Mengapa perjalanan komunitas teater seperti mata rantai yang hilang? Biasanya, alasan yang telah klasik tentu berkisar pada frase ini: “Teater tak bisa menghidupi kehidupan pegiatnya. Pilihan hidup, memaksa untuk membunuh teaternya dalam dirinya.”
Mati dan Tumbuh
Teater Rakyat (Antara)
Pada era 2000, atau setelah reformasi 1998 diikuti dengan bangkitnya kembali DKSB dari mati surinya itu, ada beberapa komunitas teater yang ikut meramaikan pergunjingan di jagat teater Sumatera Barat. Program  Pentas Seni yang pernah dihelat DKSB mengakomodasi mereka. Kini, para pegiatnya, sebagian tak terdengar lagi kiprahnya. Komunitas teater itu adalah antara lain: Teater Akar Padang Panjang (pimpinan Pandu Birowo), Bambu Arts Eksploration Padang Panjang (Sulaiman Juned), Teaterdotcom Padang Panjang (Kurniasih Zaitun), Komunitas Seni Tema STSI Padang Panjang (Wenhendri), Teater Eksperimental KPDTI Fakultas Sastra Unand (Syafril/Prel T), Komunitas Teater Plong Padang Panjang (Dharminta), Teater Sakata Padang Panjang, Teater Katarsis Padang Panjang, Teater IAIN IB Padang, Teater Langkah FIB Unand, dan lain sebagainya.
Kelompok itu memang telah sirna, atau paling tidak, tak terdengar lagi proses dan pementasan yang dilakukan lima tahun terakhir di Sumatera Barat, namun para pegiatnya tak lenyap pula bersama komunitas teaternya, hingga hari orang-orangnya masih eksis dengan aktivitas pribadinya, tentu.
Selepas itu, walau pencatatan di atas, sebagian besar komunitas teater berasal dari kampus-kampus perguruan tinggi, jauh sebelum itu, komunitas teater yang berasal luar kampus juga banyak yang sudah eksis. Misalnya, KSST Noktah Padang, Komunitas Seni Hitam Putih Padang Panjang, Teater Dayung-Dayung Kayu Tanam, Teater Imaji Padang, Teater Garak Padang, Komunitas Seni Intro Payakumbuh, Teater Sakata Padang Panjang, Teater Gaung Ekspose, Old Track Theatre Padang, dan lain sebagainya.
Riuh rendah suara teater di Sumatera Barat, terus berlanjut dari masa ke masa, dari generasi ke generasi, dan silih berganti. Tapi, catatan yang membekas, baik secara capaian artistik panggung, maupun dramaturgi, sulit sekali ditemukan, malah nyaris tak ada sama sekali. Kedua hal itu, memang masalah lain lagi yang dialami teater di daerah ini.      
Setelah terjadi “kevakuman program” Dewan Kesenian Sumatera Barat (DKSB), sejak 2008 hingga kini, para  pegiat teater dan para anak muda, membentuk dan membangun komunitas-komunitas, yang akhirnya, berlanjut mengisi aktivitas seni di Sumatera Barat.
Motifnya kehadiran komunitas-komunitas itu, bisa saja karena semangat berseni, memang hanya pengisi waktu, atau tren dan gaya hidup yang sedang melanda kaum muda ini. Tapi, lepas dari dugaan motif itu, yang jelas, kehadiran mereka telah menepis anggapan adanya kekosongan aktivitas teater di ranah Bundo  ini.
Dalam catatan saya, komunitas-komunitas teater yang bergerak lima tahun terakhir itu: Ruang Kreativitas Serunai Laut Padang, Komunitas Langit Teater Padang, Teater Rumah Teduh Padang, Teater Seni Nan Tumpah Padang, Teater Ranah Padang, Teater Kamus Padang, dan lain sebagainya. 
Potensi Besar dan Tantangan
Potensi yang besar dan manusia-manusia yang mengisi ruang-ruang aktivitas teater tak pernah sepi di Sumatera Barat. Kendati ranah ini masih mengesankan sebagai salah satu wilayah kreativitas persinggahan, tapi tak mengendurkan spirit berkesenian mereka.
Pertunjukan teater digelar dengan cara mereka sendiri. Semenjak menghimpun dana produksi, latihan, dan mengelola penonton, semua digerakkan dengan kerja patungan, mandiri, serta memaksimalkan jaringan. Militansi dan mampu menyiasati kondisi minimnya perhatian dan bantuan dana dari lembaga budaya dan seni pemerintah, tak serta merta membuat mereka tumpul berkarya.
Amatan sepintas, saya kira pantas diapresiasi dan respeks ketika Ruang Kreativitas Serunai Laut mementaskan Tumirah Sang Mucikari di Medan Nan Balinduang Bukittinggi dengan cara swadaya dan swadana beberapa waktu lalu. Penonton cukup ramai untuk ukuran kota Bukittinggi. Namun aneh sekali, pihak Dinas Parawisata dan Kebudayaan Kota Bukittinggi, malah memasang harga sewa gedung jika grup memeroleh dana berlebih. Jelas ini tak masuk akal!
Pada bulan ini, sesuai rencana, Teater Ranah Padang, akan mementaskan Dua Senja karya dan sutradara S Metron M. Kelompok ini telah proses tiga bulan terakhir. Pementasan digelar di Bukittinggi dan Payakumbuh.
Teater Noktah Padang, dalam bulan ini juga, akan menggelar pementasan teater berjudul Tanah Ibu karya dan sutradara Syuhendri di Taman Budaya Bengkulu. Selain itu, dalam bincang-bincang saya dengan Mahatma Muhammad dari Teater Seni Nan Tumpah, menyebutkan Teater Dayung-Dayung akan menggelar pementasan sebagai tribute kepada almarhum A Alin De, pendiri dan juga tokoh teater.
Dan tentu saja tak terhitung jumlahnya, pertunjukan yang digelar pegiat teater di Padang Panjang, utama di kampus ISI Padang Panjang.
Konsorsium Komunitas
Teater jalanan (Antara)
Denyut seni teater memang tak bisa berhenti. Kampus sebagai basis utama teater digerakkan, tampaknya tak bisa dihindarkan. Ini fakta. Selain itu, tersedianya ruang media sosial (Facebook, Twitter, alat komunikasi lainnya), membuat ruang publikasi aktivitas komunitas menjadi sangat mudah diakses siapa saja.
Tentu, pada wilayah ini, jelas tak ada masalah bagi komunitas-komunitas teater, malah yang justru  jadi masalah besar adalah ketika komunitas-komunitas teater tak memiliki kekuatan apa-apa untuk menekan penguasa agar memberi perhatian serius terhadap seni yang satu ini.
Apa yang yang dipesankan Dario Fo, bahwa para penguasa juga tidak lagi peduli dengan masalah kontrol atas orang-orang yang mengekspresikan diri dengan ironi dan sarkasme (di jalanan), karena tidak ada lagi tempat bagi para aktor untuk mengekspresikannya, tentu menemukan pembenarannya jika melihat minim perhatian penguasa (eksekutif dan legislatif), terhadap komunitas teater di Sumatera Barat.
Masalah begini memang telah menjadi abadi, yang berlangsung dari masa ke masa. Sepertinya, sulit sekali menemukan masa indah antara penguasa dengan seniman. Seniman yang disebut di sini, tentu saja seniman yang benar-benar menjaga integritas dan harga dirinya. Bukan seniman yang dengan mudah memasang wajah memelas dan linangan air mata di depan pejabat agar dibantu dana.
Untuk itu, dari pengalaman dan merasakan masalah yang dihadapi komunitas-komunitas seni dan juga seniman di Sumatera Barat selama ini, ada beberapa hal yang perlu dijadikan ini sebagai masalah bersama. Pertama: masih lemahnya kebersamaan antarkomunitas, kedua: seni belum dijadikan isu dan persoalan bersama, dan ketiga: tak adanya lembaga yang bisa menyatukan komunitas-komunitas ini sehingga menjelma menjadi lembaga yang kuat dan mampu bernegosiasi dengan penguasa, serta membuka ruang lebih luas dengan lembaga dan jaringan budaya lainnya.
Penguatan komunitas-komunitas dengan menyatukannya dalam lembaga katakanlah itu seperti “konsorsium”, bagi saya saat ini sebagai kebutuhan yang sangat mendesak dan perlu direalisasikan sesegerakan mungkin. Jikapun ada mencuat sebelumnya “SATE” (salingka teater), yang di dalamnya ada beberapa komunitas, tentu perlu diseriusi dan diformalkan. Saya melihat, SATE bisa jadi merupakan cikal bakal menuju penguatan komunitas yang lebih luas.
Jika telah terbentuk secara formal, saya kira, jalan akan terbuka sangat luas untuk membentangkan dunia teater kita. Tentunya, harus dimulai dari sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...