Selasa, 23 Juli 2013

KESIAPSIAGAAN BENCANA: Pemerintah Kehilangan Sensitivitas


Laporan: Nasrul Azwar  
Pemerintah dinilai kehilangan sensitivitas dalam mengelola isu-isu gempa dan tsunami yang membuat warganya panik. Bahwa Sumatra Barat berada di jalur rawan bencana alam, tak bisa dibantah. Pengetahuan kebencanaan bagi masyarakat menjadi hal yang krusial.
Isu gempa besar bakal terjadi dan memunculkan tsunami, yang berseliweran bebas di “ruang publik” bernama telepon genggam bak “hantu” yang menyeramkan. Warga yang berada di jalur “merah” buncah dibuatnya. Masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir pantai barat Sumatra Barat yang panjangnya lebih kurang 540 km, yang diperkirakan dihuni 2,5 juta jiwa, panik karena sebuah isu yang beredar yang tak jelas sumbernya. Tapi, pemerintah tak pernah secara resmi meminimalisir dampak isu itu, sekaligus “melawan” isu yang sangat cepat berkembang. 

Kota Padang, misalnya, pernah dilanda isu akan muncul gempa besar dan diiringi dengan tsunami. Suasana kota ini seperti diondoh alang. Langang. Ekonomi masyarakat—terutama usaha kecil dan menengah, terutama sektor nonformal seperti rumah makan, pedagang sembako, angkutan kota, untuk beberapa contoh saja, terpukul. Rata-rata penghasilan turun drastis sekitar 50-75 persen. Gempa ekonomi pun dirasakan lebih dulu ketimbang gempa bumi yang sesungguhnya.
Kendati terkesan telat, Pemerintah Provinsi Sumatra Barat bersama Kota Padang dan jajaran kepolisian pun dibuat sibuk dan kalisimpasingan membantatah isu-isu tersebut. Sementara itu, masyarakat yang tinggal di pesisir pantai telah telanjur “eksodus” mencari kawasan yang lebih tinggi dan dirasa aman. Inilah pemandangan yang acap muncul di Kota Padang.

Dalam sebuah diskusi terbatas beberapa waktu lalu, dengan tajuk “Gempa dan Kita”, dengan narasumber utama Prof Dr Badrul Mustafa Kemal, ahli gempa dari Universitas Andalas, meminta agar masyarakat tak percaya dengan isu-isu gempa dan tsunami, kendati Sumatra Barat memang berada dalam jalur rawan gempa bumi.

“Sampai sekarang tidak ada satupun ahli dan alat supercanggih sekalipun yang ada di seluruh dunia yang mampu memperkirakan kecepatan atau kekuatan, lokasi dan kapan persisnya akan terjadi gempa bumi. Maka, masyarakat tak perlu cemas,” kata Badrul Mustafa Kamal.

Ia merinci, dalam sejarahnya, Provinsi Sumatra Barat, malah kawasan pantai barat Sumatra memang rawan bencana gempa dan tsunami.  Ada dua sumber atau blok yang selama ini menjadi sumber gempa besar itu, yaitu blok Sipora Pagai dan Siberut yang keduanya kini berada dalam kawasan Kabupaten Kepulauan Mentawai.

“Keduanya berada di dasar laut. Dalam struktur geologi disebut dengan Patahan Sumatra, Patahan Mentawai, dan Zona Subduksi,” jelasnya.

Namun demikian, Bandrul menjelaskan lagi, sesungguhnya ancaman bencana gempa bumi yang cukup besar, bukan berasal dari laut, tatapi di darat. “Gempa bumi yang berasal dari patahan Singkarak dan Sianok harus diwaspadai. Dalam catatan sejarah, gempa darat ini malah paling banyak mamakan korban karena posisinya episentrum biasanya berada di pemukiman masyarakat.” 

Di Provinsi Sumatra Barat ada 4 gunung berapi yang aktif sekarang ini, yaitu Gunung Marapi dengan tinggi 2891 m, Tandikat (2476 m),  Talang (2597 m),  dan Kerinci (3300 m).

Selain ancaman aktivitas gunung berapi tersebut, karena kondisi geologi, geografi, topografi, iklim, dan demografi yang sangat kompleks, menjadikan wilayah Provinsi Sumatra Barat merupakan daerah rawan berbagai bencana, antara lain banjir, longsor, erosi sungai, gelombang pasang, abrasi pantai, angin puting beliung, kebakaran pemukiman/hutan, dan lain sebagainya.

Untuk itu, Badrul berharap pemerintah juga mesti memikirkan pula potensi bencana alam di wilayah darat.

Pemerintah Belum Siap

Sementara itu, Patra Rina Dewi, Direktur Eksekutif Komunitas Siaga Tsunami Padang dalam diskusi tersebut mengatakan, masyarakat lebih siap menghadapi bencana daripada pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman terjadinya bencana gempa bumi yang malanda Sumatra Barat sebelumnya.
“Saya melihat, ketidaksiapan pemerintah menghadapi kebencanaan. Lembaga BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) tidak bisa diharap banyak. Lembaga ini bekerja setelah terjadi bencana. Belum banyak dilakukan pelatihan standar untuk SDM nya. Dan belum jelas apa yang dilakukan. Bagaimana membangun lembaga itu menjadi lembaga yang terpercaya untuk penanggulangan bencana?” terang Patra Rina Dewi.
Dijelaskannya, untuk program yang komprehensif, seharusnya BPBD menguasai dari pra dan pascabencana. Tapi ternyata kapasitas ini belum sesuai dengan fungsi yang mereka jalankan. Lalu, paradigma juga belum berubah, yaitu masih paradigm Satlak atau Satkorlak.
“Lihat sekarang, apa sih program pra bencana yang telah digulirkan? Paling latihan gladi posko untuk para pelaku tanggap darurat saja. Untuk masyarakatnya? Simulasi? Simulasinya seremonial. Masyarakat kumpul hari itu, larilah. Sirinenya diujicobakan. Harusnya, dilatih langsung dari tempat mereka sendiri,” kata Patra Rina Dewi.
Rusmazar Ruzuar, Dewan Pertimbangan Kadinda Sumatra Barat dan mantan anggota Komnas HAM Daerah menilai, pemerintah tidak memiliki manajemen dan strategi kebencanaan sehingga apa yang dilakukan dalam pra dan setelah bencana, tampak sporadik.
“Kita tak melihat keseriusan pemerintah mengelola kesiapsiagaan bencana. Malah terkesan pembiaran. Buktinya, keresahan masyarakat karena isu-isu teror saat sekarang ini, tak jelas lembaga dan instansi mana yang bertanggung jawab meredakannya. Pembiaran ini tak bisa dibiarkan,” terang Rusmazar Ruzuar.
Khalid Syaifullah, Koordinator Lumbung Derma dan Direktur Walhi Padang, dalam nada yang sama juga mengatakan, untuk kawasan pesisir pantai Sumatra Barat, belum ada koordinasi antarkepala daerah. Ada enam pemerintah daerah, tapi tak jelas koordinasinya menghadapi ancaman bencana gempa bumi dan tsunami.
“Enam daerah kota dan kabupaten yang berada di jalur rawan gempa tsunami yang pesisir pantainya dihuni sekitar 2,5 juta jiwa. Hampir setengah jumlah penduduk Sumatra Barat. Namun kita tak mengetahui bentuk koordinasinya,” kata Khalid.
Zukri Saad, aktivis yang konsens pada lingkungan hidup menyebutkan, pemerintah kehilangan sensitivitas terhadap kegelisahan rakyatnya. Kini, pemerintah lebih mengutamakan citranya daripada memikirkan keselamatan jiwa warganya.
“Kita tak mengerti, langkah dan rencana aksi apa yang akan dilakukan pemerintah untuk menjawab persoalan masyarakat ini. Kini masyarakat panik karena isu-isu gempa itu. Tapi pemerintah belum melukan hal yang konkret agar kondisi bisa tenang. Ekonomi tak terganggu. Untuk Kota Padang, jalan evakuasi belum tersentuh sama sekali. Masih seperti dua tiga tahun lalu,” katanya.
Peserta diskusi juga mendesak agar Pemerintah Kota  Padang dan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat agar sesegera mungkin membangun jalan evakuasi selebar paling kurang 50 meter.
“Jika ada lahan masyarakat terkena, segera beri ganti rugi yang wajar. Dan sebaliknya, jika masih mempertahankan lahannya, diminta pengertiannya. Kalau masih madar, sediakan dana dan taruh di Pengadilan, dan hajar saja agar jalan evakuasi tak terbengkalai,” kata Zukri Saad. “Sekarang dituntut kesiapan pemerintah.”
Selain itu, tingkatkan koordinasi antarkabupaten dan kota yang berada di jalur evakuasi. Badan yang terkait kebencanaan  agar meningkatkan kinerjanya. “Lembaga yang terkait kebencanaan jangan bersikap seperti Dinas Kebakaran saja.” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...