Laporan: Nasrul Azwar
Pemerintah
dinilai kehilangan sensitivitas dalam mengelola isu-isu gempa dan tsunami yang
membuat warganya panik. Bahwa Sumatra Barat berada di jalur rawan bencana alam,
tak bisa dibantah. Pengetahuan kebencanaan bagi masyarakat menjadi hal yang
krusial.
Isu
gempa besar bakal terjadi dan memunculkan tsunami, yang berseliweran bebas di
“ruang publik” bernama telepon genggam bak “hantu” yang menyeramkan. Warga yang
berada di jalur “merah” buncah dibuatnya. Masyarakat yang tinggal di kawasan
pesisir pantai barat Sumatra Barat yang panjangnya lebih kurang 540 km, yang
diperkirakan dihuni 2,5 juta jiwa, panik karena sebuah isu yang beredar yang
tak jelas sumbernya. Tapi, pemerintah tak pernah secara resmi meminimalisir
dampak isu itu, sekaligus “melawan” isu yang sangat cepat berkembang.
Kota Padang, misalnya, pernah dilanda isu akan muncul gempa besar dan diiringi dengan tsunami. Suasana kota ini seperti diondoh alang. Langang. Ekonomi masyarakat—terutama usaha kecil dan menengah, terutama sektor nonformal seperti rumah makan, pedagang sembako, angkutan kota, untuk beberapa contoh saja, terpukul. Rata-rata penghasilan turun drastis sekitar 50-75 persen. Gempa ekonomi pun dirasakan lebih dulu ketimbang gempa bumi yang sesungguhnya.
Kendati
terkesan telat, Pemerintah Provinsi Sumatra Barat bersama Kota Padang dan
jajaran kepolisian pun dibuat sibuk dan kalisimpasingan
membantatah isu-isu tersebut. Sementara itu, masyarakat yang tinggal di pesisir
pantai telah telanjur “eksodus” mencari kawasan yang lebih tinggi dan dirasa
aman. Inilah pemandangan yang acap muncul di Kota Padang.
Dalam sebuah diskusi terbatas beberapa waktu lalu, dengan tajuk “Gempa dan Kita”, dengan narasumber utama Prof Dr Badrul Mustafa Kemal, ahli gempa dari Universitas Andalas, meminta agar masyarakat tak percaya dengan isu-isu gempa dan tsunami, kendati Sumatra Barat memang berada dalam jalur rawan gempa bumi.
“Sampai sekarang tidak ada satupun ahli dan alat supercanggih sekalipun yang ada di seluruh dunia yang mampu memperkirakan kecepatan atau kekuatan, lokasi dan kapan persisnya akan terjadi gempa bumi. Maka, masyarakat tak perlu cemas,” kata Badrul Mustafa Kamal.
Ia merinci, dalam sejarahnya, Provinsi Sumatra Barat, malah kawasan pantai barat Sumatra memang rawan bencana gempa dan tsunami. Ada dua sumber atau blok yang selama ini menjadi sumber gempa besar itu, yaitu blok Sipora Pagai dan Siberut yang keduanya kini berada dalam kawasan Kabupaten Kepulauan Mentawai.
“Keduanya
berada di dasar laut. Dalam struktur geologi disebut dengan Patahan Sumatra,
Patahan Mentawai, dan Zona Subduksi,” jelasnya.
Namun demikian, Bandrul menjelaskan lagi, sesungguhnya ancaman bencana gempa bumi yang cukup besar, bukan berasal dari laut, tatapi di darat. “Gempa bumi yang berasal dari patahan Singkarak dan Sianok harus diwaspadai. Dalam catatan sejarah, gempa darat ini malah paling banyak mamakan korban karena posisinya episentrum biasanya berada di pemukiman masyarakat.”
Di Provinsi Sumatra Barat ada 4 gunung berapi yang aktif sekarang ini, yaitu Gunung Marapi dengan tinggi 2891 m, Tandikat (2476 m), Talang (2597 m), dan Kerinci (3300 m).
Selain ancaman aktivitas gunung berapi tersebut, karena kondisi geologi, geografi, topografi, iklim, dan demografi yang sangat kompleks, menjadikan wilayah Provinsi Sumatra Barat merupakan daerah rawan berbagai bencana, antara lain banjir, longsor, erosi sungai, gelombang pasang, abrasi pantai, angin puting beliung, kebakaran pemukiman/hutan, dan lain sebagainya.
Untuk itu, Badrul berharap pemerintah juga mesti memikirkan pula potensi bencana alam di wilayah darat.
Pemerintah Belum Siap
Sementara
itu, Patra Rina Dewi, Direktur Eksekutif Komunitas Siaga Tsunami Padang dalam
diskusi tersebut mengatakan, masyarakat lebih siap menghadapi bencana daripada
pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman terjadinya bencana gempa bumi
yang malanda Sumatra Barat sebelumnya.
“Saya
melihat, ketidaksiapan pemerintah menghadapi kebencanaan. Lembaga BPBD (Badan
Penanggulangan Bencana Daerah) tidak bisa diharap banyak. Lembaga ini bekerja
setelah terjadi bencana. Belum banyak dilakukan pelatihan standar untuk SDM
nya. Dan belum jelas apa yang dilakukan. Bagaimana membangun lembaga itu
menjadi lembaga yang terpercaya untuk penanggulangan bencana?” terang Patra
Rina Dewi.
Dijelaskannya,
untuk program yang komprehensif, seharusnya BPBD menguasai dari pra dan
pascabencana. Tapi ternyata kapasitas ini belum sesuai dengan fungsi yang
mereka jalankan. Lalu, paradigma juga belum berubah, yaitu masih paradigm
Satlak atau Satkorlak.
“Lihat
sekarang, apa sih program pra bencana yang telah digulirkan? Paling latihan
gladi posko untuk para pelaku tanggap darurat saja. Untuk masyarakatnya?
Simulasi? Simulasinya seremonial. Masyarakat kumpul hari itu, larilah.
Sirinenya diujicobakan. Harusnya, dilatih langsung dari tempat mereka sendiri,”
kata Patra Rina Dewi.
Rusmazar
Ruzuar, Dewan Pertimbangan Kadinda Sumatra Barat dan mantan anggota Komnas HAM
Daerah menilai, pemerintah tidak memiliki manajemen dan strategi kebencanaan
sehingga apa yang dilakukan dalam pra dan setelah bencana, tampak sporadik.
“Kita
tak melihat keseriusan pemerintah mengelola kesiapsiagaan bencana. Malah
terkesan pembiaran. Buktinya, keresahan masyarakat karena isu-isu teror saat
sekarang ini, tak jelas lembaga dan instansi mana yang bertanggung jawab
meredakannya. Pembiaran ini tak bisa dibiarkan,” terang Rusmazar Ruzuar.
Khalid
Syaifullah, Koordinator Lumbung Derma dan Direktur Walhi Padang, dalam nada
yang sama juga mengatakan, untuk kawasan pesisir pantai Sumatra Barat, belum
ada koordinasi antarkepala daerah. Ada enam pemerintah daerah, tapi tak jelas
koordinasinya menghadapi ancaman bencana gempa bumi dan tsunami.
“Enam
daerah kota dan kabupaten yang berada di jalur rawan gempa tsunami yang pesisir
pantainya dihuni sekitar 2,5 juta jiwa. Hampir setengah jumlah penduduk Sumatra
Barat. Namun kita tak mengetahui bentuk koordinasinya,” kata Khalid.
Zukri
Saad, aktivis yang konsens pada lingkungan hidup menyebutkan, pemerintah
kehilangan sensitivitas terhadap kegelisahan rakyatnya. Kini, pemerintah lebih
mengutamakan citranya daripada memikirkan keselamatan jiwa warganya.
“Kita
tak mengerti, langkah dan rencana aksi apa yang akan dilakukan pemerintah untuk
menjawab persoalan masyarakat ini. Kini masyarakat panik karena isu-isu gempa
itu. Tapi pemerintah belum melukan hal yang konkret agar kondisi bisa tenang.
Ekonomi tak terganggu. Untuk Kota Padang, jalan evakuasi belum tersentuh sama
sekali. Masih seperti dua tiga tahun lalu,” katanya.
Peserta
diskusi juga mendesak agar Pemerintah Kota
Padang dan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat agar sesegera mungkin
membangun jalan evakuasi selebar paling kurang 50 meter.
“Jika
ada lahan masyarakat terkena, segera beri ganti rugi yang wajar. Dan
sebaliknya, jika masih mempertahankan lahannya, diminta pengertiannya. Kalau
masih madar, sediakan dana dan taruh di Pengadilan, dan hajar saja agar jalan
evakuasi tak terbengkalai,” kata Zukri Saad. “Sekarang dituntut kesiapan
pemerintah.”
Selain
itu, tingkatkan koordinasi antarkabupaten dan kota yang berada di jalur
evakuasi. Badan yang terkait kebencanaan
agar meningkatkan kinerjanya. “Lembaga yang terkait kebencanaan jangan
bersikap seperti Dinas Kebakaran saja.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar