OLEH Yusriwal
Peneliti dan pengajar di Fakultas Sastra Unand
Imam Maulana Abdul Manaf |
Buya
yang dimaksud bernama Imam Maulana Abdul Manaf. Dia tinggal di sebuah surau
yang terletak bersebelahan dengan Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiah (PMTI).
Dia merupakan sosok yang dermawan. Tanah seluas lebih kurang lima hektare
kepunyaannya disumbangkan untuk pendirian PMTI.
Sejak muda hingga di usia senjanya, dia masih aktif menulis. Puluhan kitab sudah dia tulis, baik tentang biografi (Sejarah Syekh Burhanuddin Ulakan, Sejarah Syekh Abdurrauf Singkel, Sejarah Syekh Pasiban, Sejarah Syekh Surau Baru, dan lain-lain), sejarah (Sejarah Perkembangan Islam di Minangkabau), Ilmu Hisab (Kitab Al Taqwim) maupun ajaran-ajaran tarekat syatariah (Kitab Ziarah Kubur ke Makam Syekh Abdurrauf Singkel, Mizan Qulub, dan lain-lain). Dia menulis tidak menggunakan huruf Latin melainkan huruf Arab. Bukan tidak bisa tulis baca huruf Latin, melainkan karena banyak orang yang meminta tulisannya dengan menggunakan huruf Arab. Naskah yang ditulis beragam, ada naskah hasil penyalinan dari naskah yang telah kuno dan ada juga hasil pikiran dia sendiri.
Seluruh
naskah yang dia salin, tidak lantas disimpan begitu saja. Setiap orang yang datang
kepadanya dengan maksud untuk memiliki naskah yang dia salin, maka dia memberikan
izin untuk memfotokopinya. Akan tetapi, kelonggaran yang dia berikan
dimanfaatkan oleh mereka yang ingin memperoleh keuntungan dari naskah-naskah
tersebut. Mereka yang tidak bertanggung jawab itu memperbanyak naskah-naskah dia
lalu dijual, bahkan hingga ke Malaysia. Penyebaran naskah yang dia salin sampai
ke Negeri Jiran menandakan bahwa naskah-naskah tersebut banyak orang yang
meminatinya.
Hidup
di tengah budaya Minangkabau yang kental dengan tradisi lisan, menjadikan dia
sosok yang langka. Langka karena kesetiaan dia pada dunia kepenulisan Arab
Melayu. Kesetiaan yang terus menulis tanpa memikirkan keuntungan apa yang akan dia
peroleh. Tinggal di sebuah surau yang tidak begitu rapi dan selalu diganggu
oleh deruman suara pesawat terbang yang meninggalkan dan akan mendarat di
Bandara Tabing, tidak membuatnya berhenti untuk menulis.
Berbagai
keunikan dan keistimewaan yang dimiliki oleh Imam Maulana Abdul Manaf tersebut,
maka patut kiranya kita mengetahui riwayatnya.
Riwayat Ringkas
Imam
Maulana Abdul Manaf dilahirkan pada 8 Agustus 1922 di kampung Batang Kabung,
Koto Tangah, Padang. Buah hati pasangan suami istri Amin dan Aminah ini
merupakan seorang sosok yang memiliki semangat dalam menuntut ilmu, terutama
ilmu agama. Hal ini terlihat dari riwayat pendidikannya. Putra Minangkabau yang
bersuku Mansiang ini sudah banyak melanglang buana dalam menempuh pendidikan, baik pendidikan nonformal maupun
formal.
Pertama kali belajar mengaji kepada seorang guru
perempuan yang bernama Sari Makah di Muaro Panjalinan. Saat usianya delapan
tahun memasuki sekolah rakyat di Muaro Panjalinan. Setelah tamat, diteruskan ke
Sekolah Guvernamen di Tabing pada tahun 1935. Kegembiraan karena bisa melanjutkan
ke Sekolah Guvernamen tidak bisa dia rasakan sepenuhnya. Perasaan duka
menyelimuti hatinya karena guru mengajinya meninggal dunia. Akan tetapi, untuk
belajar mengaji tidak lantas ditinggalkan kerena gurunya meninggal. Fakih
Lutan di Batang Kabung merupakan guru mengaji selanjutnya. Menginjak usia empat
belas tahun dia mengaji kitab di Surau Pasiban kepada Hajar Majid, orang Pauah
Kamba. Setahun kemudian memasuki tarekat syatariah kepada Syekh Pasiban. Usia
yang cukup muda bagi seorangyang memasuki ajaran tarekat.
Menginjak usia delapan belas tahun dia pulang dan
berkumpul dengan kaumnya di Batang Kabung. Kealimannya sudah dikenal oleh
banyak orang saat itu. Sehingga pada bulan Ramadan sering diminta menjadi imam
salat Tarawih di Batang Kabung dan sekitarnya seperti Pasir Sebelah dan Koto
Panjang.
Belum cukup tiga tahun, dia kembali meninggalkan kampung
halaman untuk menuntut ilmu. Bertepatan dengan kekalahan Belanda oleh Jepang
pada tahun 1942, dia pergi ke Koto Baru, Padang Panjang, untuk berguru kepada
Syekh Ibrahim. Di sinilah Imam
Maulana Abdul Manaf banyak merekam sejarah
tentang kejamnya pemerintahan Jepang saat itu. Dia melihat secara langsung,
mulai dari kerja paksa hingga pembantaian massal rakyat pribumi yang dilakukan
oleh Jepang.
Setahun kemudian, yakni pada tahun 1943, Imam Maulana Abdul Manaf kembali ke kampung halaman. Kemudian penduduk
Batang Kabung mengangkatnya sebagai khatib. Setelah dilaksanakan ritual khusus
oleh masyarakat Batang Kabung, maka resmilah Imam Maulana Abdul Manaf menjadi
seorang khatib dengan gelar Khatib Mangkuto.
Sebagai seorang khatib, Imam Maulana Abdul Manaf mempunyai tanggung jawab kepada kaumnya untuk
urusan keagamaan. Setiap ada persoalaan muncul, ia adalah orang tempat
bertanya. Imam Maulana Abdul Manaf
merupakan orang yang bertanggung jawab dalam mengemban tugasnya serta berkomitmen
pada ajarannya. Contoh kasus, ketika bangsa ini baru merdeka, Pemerintah
Republik Indonesia menganjurkan agar setiap penduduk masuk partai. Jika tidak masuk
partai, maka akan disebut orang tualang, orang lepas. Dalam situasi seperti
itu, Imam Maulana Abdul Manaf
menyampaikan kepada kaumnya agar jangan salah untuk memilih partai. Dia menganjurkan
agar kaumnya memasuki partai Islam. Kasus lain, ketika ada anjuran pemerintah
agar pidato Jumat menggunakan bahasa Indonesia, dia dengan maksud untuk
mempertahankan ajarannya, yakni pidato Jumat menggunakan bahasa Arab, menemui
petinggi pemerintah di Padang untuk jangan memaksakan hal-hal yang berkenaan
dengan urusan ibadah. Usahanya ini berhasil. Hingga akhir hayatnya, dia masih
menjadi tempat untuk bertanya bagi kaumnya. Pada tahun 2006, Imam
Maulana Abdul Manaf meninggal dunia. Kepergiannya, meninggalkan puluhan naskah
dan manuskirip, yang jadi sumber ilmu bagi orang lain.*
Pernah dimuat di Majalah
Analisis dan Pemikiran SAGA, Nomor 3 Agustu 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar