OLEH Nasrul Azwar
Sekjen Aliansi Komunitas
Seni Indonesia (AKSI)
Pementasan "Segera" Teater Payung Hitam Bandung (Foto Ganda) |
Kendati saya menyerap ada tiga letupan teater dengan garapan yang berbeda itu, namun tulisanini tak dikesankan sebagai komparatif ketiga pertunjukan tersebut. Ia lebih tertarik pada pencatatan biasa pada masing-masing peristiwa teater yang telah dilangsungkan. Selain itu, tiga pementasan teater itu, kendati mungkin ada juga yang luput dari amatan saya, telah berhasil menguak kebuntuan pertunjukan teater di Sumatera Barat.
Tentu saja, pada aspek
kuantitas, masyarakat dan pelaku seni pertunjukan Sumatera Barat pantas
merayakan dan bangga karena maraknya digelar pertunjukan seni sepanjang
semester pertama 2013 ini. Kini, cuma tinggal bagaimana mengelolanya menjadi
sebuah agenda seni yang tertata dan tertib.
Kembali pada tiga teater
yang saya nikmati itu. Secara kasat mata—ini di luar teks teater, tapi cukup
signifikan—ada benang merah yang saya jumpai menyatukan ketiga teater itu,
yakni basis pendukung dan pemain pada mahasiswa. Jelas cukup menarik. Bisa
jadi, ternyata sejarah teater di Indonesia, diwarnai kehadiran mahasiswa. Tentu
ini satu satu soal lagi yang bisa diperbincangkan lebih lanjut.
Peristiwa teater adalah
sesaat yang mahapenting itu. Ia tak akan pernah terulang dalam perspektif yang
sama persis di lain waktu. Peristiwa teater dalam “Segera” yang dipentaskan di
Jakarta akan “berbeda rasa” dengan yang dipentaskan di Padang, Pekanbaru, dan
Jambi. Demikian juga dengan pertunjukan “Tanah Ibu” dan “Dua Senja”.
Sebuah peristiwa teater di atas panggung,
tentu, seperti dikatakan Nicole Savaresse dalam Anatomie de L’Acteur (1985), yang diterjemahkan Yudiarni,
mengatakan, mencipta kehidupan pentas tidak hanya berarti menjalin laku dan
ketegangannya tetapi juga penyutradaraan perhatian penonton tanpa memaksakan
sebuah penafsiran. Perhatian penonton
harus mampu hidup ruang dan dimensi. Dan saat itu dialektika penonton bermain.
Maka dengan demikian,
terasa sulit jika kita ingin membandingkan tiga peristiwa teater itu, yang
memang ruang, laku, dan dimensinya, serta dialektikanya berbeda-beda. “Segera”
memaksimalkan tubuh dan benda-benda di atas pentas menjadi “kata ucap” itu sendiri, sementara “Tanah
Ibu” dan “Dua Senja” memainkan kata-kata secara linguistis digunakan dalam
kehidupan sehari-harinya.
Tubuh-Benda
Payung Hitam
Sebelas tubuh silih
berganti di atas panggung, berdialog. Bermonolog. Tubuh-tubuh yang tak rata
ukurannya, merekonstruksi tubuh-benda secara semiotif. Teater membangun
pengertian dengan makna yang subjektivitas-objektivitas.
Setiap liukan tubuh
adalah teks-teks yang memuat dan menjejalkan makna-makna dalam kepala penonton.
Teater bersama dengan tubuh-benda direpresentasikan sebagai “bahasa” yang tak
lagi mengenal arbiter. Di atas panggung, bahasa memilih posisinya dalam
kungkungan yang tak lazim, kendati bukan sesuatu yang baru.
“Segera” merupakan garapan
dan pengalaman ke 11 Teater Payung Hitam dalam pementasan teater bertema
lingkungan.
Kota Padang merupakan
kota ketiga yang disinggahi “Segera” yang sebelumnya dipertunjukkan di STSI
Bandung dan Gedung Kesenian Jakarta, dari rangkaian pementasan keliling program
Kelola. Setelah di Padang, “Segera” juga dapat ditontonkan di Kota Pekanbaru
dan Jambi.
Galibnya pertunjukan
Teater Payung Hitam, benda-benda yang sehari-hari akrab dengan kehidupan
manusia, kerap memenuhi panggung. Tak ada ruang yang tersisa. Dari penelusuran
informasi, pada 1996, Teater Payung Hitam mengangkat “Teater Musik Kaleng” di
TIM, juga menjejalkan besi-besi, seng, drum dan sejenis benda keras lainnya, ke
atas pentas. Ruang panggung sesak seolah
penonton tak mendapat ruang imajinatif, yang sesungguhnya ruang itu buat penonton
kian luas dan kaya.
“Dinding ruang penonton
berusaha dipenuhi berbagai lembaran seng penyok-penyok. Panggung tak kalah
sesaknya. Drum penuh coretan, dan boneka-boneka yang digantung di atas pentas.
Semua sudut dipenuhi sorot lampu warna merah maksimal,” tulis Afrizal Malna,
dalam bukunya Perjalanan Teater Kedua,
Antologi Tubuh dan Kata, (2010) tentang pertunjukan “Teater Musik Kaleng” itu.
Pertunjukan “Segera” juga tak beranjak dari benda-benda
seperti itu. Kali ini, Rachman Sabur mengusung limbah plastik, yang ia sebut,
dampak negatifnya tak sebesar fungsinya. “Dibutuhkan 1000 tahun agar plastik
terurai oleh tanah.
Jika terurai ataupun
dibakar, dampaknya bagi lingkungan dan kesehatan, berpotensi memicu penyakit
kanker, hepatitis, dan lain sebagainya bagi makluh hidup,” kata Rachman Sabur.
Memasuki Teater Utama
Taman Budaya Sumbar, tampak panggung dipenuhi gubuk-gubuk bak pemukiman kumuh di
bantaran sungai kota-kota besar, yang terbuat dari plastik. Tepat pukul 20.00,
panggung dihidupkan. Dua perempuan bergerak dan keluar dari gubuk-gubuk
berbentuk kubus itu. Tubuh-tubuhnya menceritakan kepedihan. Kesumpekan hidup.
Lingkungan sekitar dipenuhi barang-barang berbahan plastik.
Tak berapa lama, seorang
lelaki berjalan semponyongan. Kakinya terikat beban plastik. Setiap tarikan
langkahnya, ia tersiksa. Plastik itu membuat ia tak leluasa lagi menjalani
hidup.
Kemana pun lelaki itu
melangkah, tumpukan benda-benda berbahan plastik bagai benda yang mengerikan.
Manusia ditimbun plastik gelas minuman
mineral, bola-plastik, jeriken, kursi, keresek, galon, dan lain-lain. Lelaki
itu pun terlempar kian kemari. Gubuk-gubuk roboh. Tak lama kemudian, bak usus
besar manusia, plastik diameter setengah meter, membelah pentas seiring dengan
bunyian alat-alat berat pabrik. Pentas kian terasa mencekam.
Seiring dengan itu, suasana
panggung berubah. Fungsionalisasi properti menentukan dirinya. Setiap perubahan
menceritakan dirinya sendiri. Bahasa formal adalah tanpa bahasa itu sendiri.
Aktor merepresentasikan dirinya dari benda-benda sekitar. Inilah upaya keras
Rachman Sabur mendedahkan bahaya plastik yang jumlahnya bisa membungkus Bumi
ini lewat tubuh aktor dan benda.
“Segera” adalah aktor tanpa lakon. Lakon,
seperti layaknya teater konvensional yang mengusung naskah, tak membuka
kemungkinan untuk diidentifikasi dengan karakter, dramatikal, dan perangkat
vokal serta artikulatif. Tubuh aktor di panggung adalah “diolog” dan “konflik”
itu sendiri.
Bagi yang tak terbiasa
menyaksikan pertunjukan seperti yang disuguhkan “Segera”, memang membingungkan.
Tapi itu wajar dan tak salah. Karena selama ini, yang ia saksikan adalah teater
cepat saji, yang jauh dari proses.
Peristiwa teater seperti yang disajikan Teater Payung Hitam, bukan saja
menuntut kecerdasan akal bagi yang menonton, tapi juga kepekaan dan
sensitivitas saraf-saraf motoriknya. “Segera” memuat durasi yang agak panjang
menyelaminya dan menghendaki wawasan yang lumayan luas, kendati banyak
pengulangan gerak dan laku di panggung.
Tanah
Ibu Bernoktah
“Tanah Ibu” hingga kini telah
tiga kali diangkat Teater Noktah dengan personil atau pemain yang berbeda: Pada
2010 dipentaskan di Jakarta dan Padang; 2012 di Padang, dan 2013 di Bengkulu. Semuanya
disutradarai Syuhendri.
Teater Noktah yang sejak mementaskan teater pertama pada
1994 hingga kini masih konsisten mempertahankan konsep garapan pada naskah.
Naskah dan teater bagi grup yang didirikan pada 1994 oleh sekelompok orang muda
yang gelisah minimnya ruang dialog budaya saat itu, tampaknya sesuatu yang inheren,
tak dapat dipisahkan, dan keniscayaan.
“Tanah Ibu” dibuka dengan panggung kosong. Lalu,
lapat-lapat, seolah dikejauhan, terdengar saluang dan dendang dengan irama
merintih, lalu disertai dengan suara sekelompok orang (perempuan) manggaro
burung saat padi menguning.
Suara manggaro ini telah membawa kita pada suasana
perkampungan yang dipenuni padi siap panen. Ibu-ibu atau amai-amai biasa
menghalau burung pipit saat padi siap disabit. Biasanya disertai dengan
bunyi-bunyian kaleng dan goyangan
urang-urang sawah. Dalam tradisi di nagari-nagari Minangkabau, ini disebut manggaro.
Setelah manggaro, tak berapa lama, padi yang menguning itu
disabit. Menyabit padi, saat kebersamaan di nagari masih kuat, dilakukan dengan
pola gotong-royong. Tapi kini telah banyak diupahkan. Setelah padi disabit,
disusun di tengah sawah dengan sangat rapi. Susunan batang padi itu disebut lampok. Besar-kecilnya lampok,
tergantung pada subur tidaknya sawah itu. Lampok ini diperanginkan paling lama
seminggu. Setelah itu, juga dengan bergotong-royong, diiriak bersama-sama. Paling sering, maiiriak ini dilakukan sejak
sore hingga malam. Pada beberapa daerah tertentu, ada yang dilakukan dengan malambuik. Maknanya sama: melepaskan
butiran padi dari batangnya. Kalau maiiriak dilakukan dengan memijak dan
melumat batang padi itu, sedangkan malambuik,
memukulkan batang padi ke satu wadah
penampung. Setelah magrib, dilakukan makan balanjuang bersama-sama. Suasana
canda-ria kental terasa kebersamaannya. Kini, tentu saja, hal seperti sulit
ditemukan, malah, mungkin tak ada lagi. Ada yang hilang dalam kehidupan
sosial-budaya Minangkabau: kebersamaan dan rasa memiliki.
Inilah sesungguhnya poin penting yang dikatakan dalam
pertunjukan “Tanah Ibu”. Modernisasi telah merenggutkan milik komunal dengan
apa yang disebut harga diri nagari dan pemiliknya. Modernisasi yang diagungkan
akan membawa kehidupan masyarakat ke arah yang lebih membahagiakan, ternyata
menjelma jadi derita panjang.
Sekelompok kaum
perempuan dalam “Tanah Ibu” datang mengusung karung padi, menampi, lalu
menumpahkannya, menyiratkan perlawanan keras terhadap kaum lelaki yang hanya
bisa merantau tanpa memberi makna bagi kampungnya, tanah asalnya. Kaum lelaki
hanya bisa mengubar janji.
Akhirnya, memang
terbukti, kaum lelaki yang pernah berikhtiar untuk membangun tanah asalnya,
saat pulang kampung, menjadi momok bagi segenap lapisan masyarakat. Momok itu
bernama moderinisasi. Secara semiotif, dalam “Tanah Ibu” digambarkan di atas
panggung dengan boneka-boneka yang bisa diatur sesuka hati.
Moderinisasi yang dibawa
kaum lelaki, mendapat kutukan dari kaum perempuan, yang sebelumnya, telah
menanti cukup lama pulang dari perantauan, ternyata buahnya pengkhianatan
kultural.
Pertunjukan “Tanah Ibu”
di Bengkulu ini, yang sebagian aktornya terdiri siswa, mahasiswa, aktivis
budaya, dan guru ini, tentu punya “beban” berat mengusung naskah yang cukup
sarat konflik kultural ini. Namun, tampaknya, di atas panggung, semua terasa
mengalir dan komunikatif. Aktor tak terlihat dibenani.
Ranah
Tiga Konflik
Pada awalnya “Dua Senja”
ini, saya tidak membayangkan teater ini dipentaskan di ruang terbuka. Dua
teater di atas, dipanggungkan di teater tertutup. Saya berharap, “Dua Senja”
dimainkan di ruang tertutup.
Pementasan di ru
ang
terbuka (out door) jelas sangat
berisiko. Risikonya: bocornya teks teater ke luar panggung. Sebaliknya, yang
bukan teks teater, yang berada di luar panggung
juga merembes ke dalam panggung. Enam puluh lima menit pertunjukan,
suasana teks panggung mewarnai jalan cerita. Paling tidak, bunyi suara
kendaraan dan gema obrolan penonton, terasa menimpali setiap adegan dan laku
aktor. Ke depan, tentu saja manajemen Ranah Teater harus mempertimbangkan
pertunjukan “Dua Senja” ini digelar di ruang tertutup.
Pementasan "Dua Senja" Ranah Teater Padang (Foto Ganda Cipta) |
“Dua Senja” mengangkat latar
sejarah buram di Minangkabau dalam periodisasi 1821-1837 M, yang saat itu,
orang Minangkabau menyebut “Perang Tuak”.
Dalam buku Direktori Minangkabau
(2012), disebutkan perang antara orang Belanda dengan orang Minangkabau dalam
periode 1821-1837 M dinamai oleh orang Minangkabau sebagai “Perang Tuak”. Latar
belakangnya adalah, menurut adat Minangkabau memakai tuak, candu dan judi
adalah haram. Karena kedatangan Belanda ke pantai barat Minangkabau berdagang
candu, tuak, santo (tembakau), dan judi, maka ulama Minangkabau menyatakan,
perang melawan Belanda dan antek-anteknya merupakan perang suci, perang di
jalan Allah.
Saat itu, bala tentara
dan ulama Minangkabau memakai pakaian serba putih. Belanda saat itu menyebut
dengan istilah “Perang Paderi”. Belanda sudah sangat bertekat menumpas kaum
paderi ini dengan jalan peperangan. Belanda memasukkan pengaruh ke orang
Minangkabau yang mereka fasilitasi dalam berusaha dagang, kelak kelompok ini
disebut Kaum Adat, yang bersama Belanda
memerangi Kaum Paderi.
Pada 1819, Inggris
menyerahkan Minangkabau kepada Belanda. Saat itu, Sutan Bagagarsyah, Raja
Pagaruyung, meminta bantuan Belanda agar menumpas kaum pemberontak (kaum
paderi). Bagi Belanda, permintaan ini seperti pucuk dicinta ulam tiba. Maka,
terjadilah apa yang disebut dalam sejarah kita sebagai perang saudara di
Minangkabau.
Cerita di atas itu
menurut buku sejarah. Tapi tidak demikian menurut S Metron M sebagai penulis
naskah “Dua Senja”. Teater yang memang ditakdirkan sebagai wujud perlawanan,
maka “Dua Senja” pun melakukan hal itu. Tafsir sejarah memang bermain di sini.
Menafikan peran Belanda dalam kemelut perang saudara yang pernah terjadi
ratusan tahun lalu di Minangkabau, seperti diangkat “Dua Senja” tentu, tentu S Metron M punya alasan kuat. Selain
itu, memasukkan unsur konflik keluarga di saat perang berkecamuk, tentu membuat
naskah ini jadi fiktif belaka.
Terlepas dari semua itu,
mungkin tugas berat sutradara adalah memaksimalkan pemahaman anggotanya tentang
elemen dan teknis teater. Potensi besar, sentuhan teknis minim.
Catatan tiga pementasan
teater ini, barangkali bagian terkecil dari luas peristiwa teater tersebut.
Hanya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar